Pendidikan pada Zaman Penjajahan Belanda
Tujuan Kedatangan Belanda ke Indonesia
Paling kurang ada tiga macam tujuan datangnya Belanda ke Indonesia.
Pertama, tujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomis; kedua, tujuan
untuk mendapatkan kekuasaan politik, yaitu menguasai wilayah Indonesia; dan ketiga,
tujuan untuk menyebarkan ideology dan keagamaan .
Tujuan yang bersifat ekonomi dari kedatangan Belanda ke Indonesia
dimulai pada tahun 1595, yaitu berupa
armada kapal dagang yang diutus oleh Perseroan Amsterdam. Setelah itu kemudian
menyusulah angkatan kedua tahun 1598 dibawah pimpinan van Nede, van Hemskerck
dan van Warwijck. Selain dari Amsterdam datang juga beberapa kapal dari
berbagai kota Belanda. Angkatan ketiga berangkat tahun 1599 di bawah pimpinan
Van Der Hagen, dan angkatan keempat tahun 1600 dibawah pimpinan van Neck.
Setelah diketahui bahwa hasil yang diperoleh perseroan Amsterdam
tersebut cukup besar, maka banyak perseroan lain berdiri yang juga ingin berdagang
dan berlayar ke Indonesia. Dalam upaya lebih memperkuat usaha perseroan
tersebut, maka pada tahun 1602, perseroan tersebut bergabung dan disahkan
oleh Staten-General Republik dengan satu
piagam yang memberi hak khusus kepada perseroan gabungan tersebut untuk
berdagang, berlayar, dan memegang
kekuasaan antara Tanjung Harapan dan Kepulauan Solomon, termasuk Kepulauan
Nusantara. Perseroan tersebut bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).
Dalam waktu singkat VOC sudah menguasai perdagangan di Indonesia, khususnya
wilayah Banten, Maluku, Selat Bali, Ambon dan Tidore.
Dalam usaha mengembangkan perdagangannya, VOC tampak ingin
melakukan monopoli. Oleh sebab itu, aktivitas VOC dalam bidang perdagangan
tersebut menghadapi perlawanan pedagang-pedagang pribumi yang merasa
kepentingannya terancam. System monopoli itu bertentangan yang dianut
masyarakat. Sikap Belanda yang memaksakan kehendak dengan kekerasan makin
memeperkuat sikap permusuhan pribumi tersebut. Namun demikian, secara politis
VOC dapat menguasai sebagian besar wilayah Indonesia dalam waktu yang cepat.
Selanjutnya pada tahun 1798, VOC dibubarkan dengan saldo kerugian
sebesar 134,7 juta gulden. Sebelumnya pada tahun 1795 izin operasinya dicabut.
Kemunduran, kebangkrutan, dan dibubarkannya VOC disebabkan oleh berbagai
factor, antara lain perlakuan yang curang, pegawai yang tidak cakap dan korup,
utang besar, system monopoli dan system paksa dalam pengumpulan
bahan-bahan/hasil tanaman penduduk yang menimbulkan kemerosotan moril baik para
penguasa maupun penduduk yang sangat menderita.
Adapun tujuan ekonomi dan politik terjadi setelah dibubarkannya VOC
pada pergantian abad ke-18, dan secara resmi Indonesia pindah ke tangan
pemerintah Belanda. Pemerintahan Belanda berlangsung sampai tahun 1942 dan hanya
diselingi beberapa tahun oleh pemerintah Inggris , yaitu pada tahun 1811-1816,
dan sampai pada tahun 1811 pemerintahan Belanada tidak mengadakan perubahan
yang berarti. Pada tahun 1816, Belanda malah memanfaatkan daerah jajahannya
untuk memberi keuntungan sebanyak-banyaknya kepada negeri induk, guna
menaggulangi masalah ekonomi Belanda yang yang sedang mengalami kebangkrutan
akibat perang. Pada tahun 1830, pemerintah Belanda menjalankan system tanam
paksa. Dan setelah Terusan Suez dibuka dan industry di negeri Belanda sudah
berkembang, pemerintah menerapkan politik liberal di Indonesia. Perusahaan dan
modal swasta dibuka seluas-luasnya. Meskipun dalam politik liberal itu
kepentingan dan hak pribumi mendapat perhatian, tetapi pada dasarnya tidak
mengalami perubahan yang berarti. Baru pada tahun 1901 Belanda menerapkan
politik balas budi. Dengan demikian beralihnya kekuasaan dari VOC ke pemerintah
Belanda, menunjukkan bahwa Belanda tidak hanya ingin memperoleh keuntungan
secara ekonomi, melainkan juga keuntungan secara politik sangat mendukung
kelancaran pencapaian tujuan yang bersifat ekonomi; sebaliknya dengan
tercapainya tujuan ekonomi, juga mendukung tercapainya yang bersifat politik,
karena untuk mencapai tujuan politik ini sangat membutuhkan ekonomi.
Selanjutnya tujuan ekonomi, politik, ideology, dan keagamaan
terjadi setelah Belanda secara ekonomi dan politik benar-benar telah mencapai
tujuannya. Tujuan ini ditambah dengan tujuan yang bersifat ideology dan
keagamaan, yaitu tujuan untuk menanamkan budaya dan agama yang berkembang di
Belanda dan Indonesia. Budaya hidup berfoya-foya, dansa-dansa, berpakaian, cara
berfikir, cara berbuat, dan sikap tidak peduli pada masa depan Indonesia sangat
ditanamkan oleh pemerintah Belanda melalui berbagai cara, antara lain melalui
kegiatan pendidikan. Demikian pula agama yang mereka anut, yaitu Kristen
Katolik mereka sebarluaskan di Indonesia dengan cara mengirim para misionaris
ke berbagai daerah di Indonesia yang didukung dengan dana dan fasilitas yang
memadai, dengan mendirikan gereja, dan membatasi kegiatan keagamaan Islam yang
telah berkembang sebelumnya di Indonesia.
Ketiga tujuan kedatangan
pemerintah Belanda ke Indonesia itu sering diungkapkan dengan istilah tri G,
yaitu Gold, Glory, dan Gospel. Gold yang secara harfiah berarti
emas, berkaitan dengan tujuan ekonomi. Gospel yang secara harfiah
berarti injil atau kitab suci adalah berkaitan dengan misi penyebaran agama
kristiani, dan Glory yang berarti kejayaan adalah berkaitan dengan
penguasaan dalam bidang politik dan kekuasaan, yakni bahwa Indonesia termasuk
ke dalam wilayah kekuasaan pemerintah Belanda yang berpusat di New Derland.
Kebenaran misi ini dapat dilihat dari pernyataan yang terdapat dalam dokumen
VOC yang menyatakan: “Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu
boleh berperang, serta harus memerhatikan penyebaran agama islam dengan
mendirikan sekolah.” Sehubungan dengan ketentuan ini, Gubernur Van den Cappelen
pada tahun 1819M, merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi pribumi agar dapat
membantu pemerintah Belanda. Dalam surat edarannya yang disampaikan kepada para
bupati ia menyatakan, bahwa : ‘’dianggap penting untuk secepat mungkin
mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan
menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah untuk dapat menaati
undang-undang dan hokum Negara.‘’
Jiwa dari edaran diatas menggambarkan tujuan didirikannya sekolah
dasar pada zaman itu, yaitu disamping untuk menyebarkan agama Kristen, juga
agar bangsa Indonesia dapat membaca sehingga dapat mematuhi undang-undang dan
peraturan yang dibuat oleh pemerintah Belanda. Semenatara itu, pendidikan agama
islam baik yang dilaksanakan di mushala, masjid, pesantren, dan madrasah
dianggap tidak ada gunanya, karena sama sekali tidak membantu pemerintah
Belanda, serta tidak ada kaitannya sama sekali dengan kemajuan pembangunan,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Lebih dari itu, Belanda menganggap
bahwa agama islam justru sebagai factor penghambat dan penghalang bagi kemajuan
dan kepentingan Belanda.
Selanjutnya colonial Belanda memperlakukan umat islam sejajar
dengan kaum pribumi. Sekolah untuk mereka terbatas hanya untuk sekolah desa dan
vervlog. Padahal islam adalah mayoritas penduduk pribumi. Sedangkan penduduk
beragama selain islam, khususnya Kristen (Protestan dan Katolik) diperlakukan sama dengan bangsa Eropa.
Keadaan ini membekas dalam hati umat islam. Keadaan yang dialami penduduk
pribumi pada dasarnya adalah keadaan umat islam. Disamping itu, colonial
Belanda selalu menempatkan islam sebagai musuh untuk kolonialisme maupun untuk
usaha menyebarkan agama Nasrani.
B.
Kebijakan Belanda dalam Bidang Pendidikan
Sikap
kolonial Belanda terhadap pendidikan Islam bisa dilihat lebih lanjut dari
kebijakannya yang sangat diskriminatif, baik secara sosial, ras, anggaran,
maupun kepemelukan terhadap agama. Sikap diskriminatif tersebut secara lebih
lanjut bisa dijelaskan sebagai berikut.
Diskriminasi
sosial ini misalnya terlihat pada didirikannya sekolah yang membedakan antara
sekolah yang diperuntukan khusus untuk kaum bangsawan dengan sekolah yang
khusus untuk rakyat biasa. Untuk kaum bangsawan/anak-anak raja, bupati dan
tokoh-tokoh terkemuka didirikan sekolah raja (Hoofdenschool) pada tahun
1865 dan 1872 di Tondano. Kemudian pada tahun 1878 didirikan pula Hoofdenschool
di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Selain itu, belanda juga mendirikan
sekolah angka satu (de Schoolen de Eeerste Klasse) untuk anak-anak dari
pemuka-pemuka, tokoh-tokoh terkemuka, dan orang-orang terhormat bumi putra.
Adapun untuk rakyat pribumi biasa didirikan sekolah dasar kelas dua (De
Schoolen de Tweede Klasse) atau yang sering dikenal dengan istilah sekolah
ongko loro.
Selanjutnya
diskriminasi ras terlihat dengan jelas pada klasifikasi sekolah di Indonesia.
Pada tingkat dasar pemerintah membuka sekolah-sekolah yang dibedakan menurut
ras dan keturunan seperti Europeeche Lagere School (ELS) untuk anak-anak
Eropa, Hollandsh Chinese School untuk anak-anak Cina dan keturunan Asia
Timur, Holandsch School yang kemudian disebut sekolah bumiputra untuk
anak-anak pribumi dari kalangan ningrat, dan terakhir adalah Inlandsch
School yang disediakan untuk anak-anak pribumi pada umumnya.
Dalam
pada itu diskriminasi anggaran terlihat pada pemberian anggaran yang lebih
besar kepada sekolah untuk anak-anak Eropa, padahal jumlah siswa pada sekolah
bumiputra jauh lebih banyak. Sebuah laporan pada tahun 1909 misalnya
menyatakan, bahwa pada sekolah bumiputra terdapat 162.000 siswa. Adapun pada
sekolah Eropa hanya 25.000 siswa. Tetapi sangat ironis, anggaran yang
dialokasikan pada sekolah Eropa ternyata 2 kali lipat daripada anggaran yang
diberikan untuk sekolah bumiputra. Yaitu, jika anggaran untuk sekolah bumiputra
hanya ƒ 1.359.000, sementara anggaran yang diberikan untuk sekolah anak-anak
Eropa sebesar ƒ 2.677.000. Selanjutnya pada tahun 1915, ketika siswa di sekolah
bumiputra sudah mencapai 321.000 namun anggaran yang diberikan hanya ƒ
1.493.000. Sementara untuk sekolah anak-anak Eropa yang siswanya hanya 32.000,
namun anggarannya mencapai ƒ 6.600.000. Keadaan ini memperlihatkan sebuah
perbandingan yang amat tidak seimbang dan terus berlanjut, sehingga tidaklah
mengherankan apabila terdapat pernyataan bahwa Belanda memelihara dan
membiarkan strata dan kesenangan terus berlangsung dalam ketidakberdayaan.
Selanjutnya
tentang diskriminasi dalam hal kepemelukan agama antara lain terlihat pada
kebijakan pemerintah Belanda yang mengonsentrasikan di wilayah mana terdapat
sejumlah besar penduduk yang beragama Kristen, seperti Batak, Manado, dan
Kalimantan. Pesantren yang menjadi basis pendidikan agama masyarakat Muslim
tidak mendapatkan perhatian sama sekali, bahkan cenderung dimusuhi. Dalam hal
ini, Belanda tampak memiliki keberpihakan kepada agama Kristen, walaupun dalam
berbagai dokumen dinyatakan, bahwa dalam hal agama bersifat netral, namun dalam
praktiknya ia lebih berpihak kepada agama Kristen.
Berbagai
kebijakan pemerintah Belanda yang diskriminatif itu sejalan pula dengan
prinsip-prinsip kolonial sebagai berikut:
1.
Pemerintah kolonial berusaha tidak memihak salah satu agama
tertentu.
2.
Pendidikan diarahkan agar para tamatannya menjadi pencari kerja,
terutama demi kepentingan kaum penjajah.
3.
Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang
ada dalam masyarakat.
4.
Pendidikan diarahkan untuk membentuk golongan elite sosial Belanda.
5.
Dasar pendidikannya adalah pendidikan Barat yang berorientasi pada
pengetahuan dan kebudayaan Barat.
Sehubungan
dengan berbagai kebijakan tersebut, S. Nasution menyatakan, bahwa politik
kolonial erat hubungannya dengan kepentingan mereka pada umumnya, suatu politik
yang didominasi oleh golongan yang berkuasa dan tidak didorong oleh nilai-nilai
etis dengan maksud untuk membina kematangan politik dan kemerdekaan tanah
jajahannya. Menurut Nasution, ciri politik dan praktik pendidikan kaum
kolonialis, khususnya Belanda adalah sebagai berikut: (a) diskriminasi yang
luar biasa dalam penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia; (b)
diskriminasi dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam antara
pendidikan Belanda dengan pendidikan pribumi; (c) kontrol sosial yang kuat; (d)
keterbatasan tujuan sekolah pribumi dan peranan sekolah dalam menghasilkan
pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan; (e) prinsip
konkordansi yang menyebabkan sekolah di Indonesia sama dengan di negeri
Belanda; (f) tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk
pendidikan anak pribumi.
Kebijakan
diskriminatif yang ditempuh Belanda terhadap masyarakat pribumi memang
dilakukan dengan amat ektrem. Yaitu, dengan mengusahakan pendidikan rendah yang
sesederhana mungkin bagi anak Indonesia dan memperlambat lahirnya sekolah yang
setaraf dengan sekolah untuk anak-anak Eropa. Hal ini berbeda dengan kebijakan penjajah
lain seperti Spanyol yang telah memandirikan universitas di Filipina pada
permulaan abad ke-16 untuk masyarakat pribumi. Demikian pula Inggris telah
membuka universitas di India pada abad ke-17, sedangkan Belanda baru mendirikan
sekolah tinggi pada dekade ke-2 abad ke-20. Itu pun terjadi atas tekanan
keadaan darurat yang disebabkan oleh Perang Dunia I.
Selain
itu, pemerintah Belanda juga menanamkan diskriminasi dalam pendidikan untuk
anak-anak Belanda dengan pendidikan untuk anak-anak pribumi. Selain itu, ada
pula perbedaan antara sekolah anak yang mampu dan anak yang kurang mampu, serta
sekolah yang memberi kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
dengan sekolah yang tidak memberi kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang
pendidikan selanjutnya. Singkatnya, pendidikan yang diberikan oleh kolonial
Belanda hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan diskriminasi sosial,
dan bukan ditujukan agar tejadi proses mobilisasi sosial baik secara horizontal
maupun vertikal.
Selanjutnya
Belanda juga menerapkan pengawasan dan kontrol yang sangat ketat dan kaku
terhadap pendidikan. Kontrol yang ketat ini dijadikan alat politik untuk
menghambat, bahkan menghalang-halangi, pelaksanaan pendidikan Islam. Tidak
hanya itu, Pemerintah Belanda juga menerapkan prinsip konkordansi, yaitu
prinsip yang memaksa sekolah agar berorientasi ke Barat dan menghalangi adanya
konsep pendidikan yang berbasis pada budaya bangsa Indonesia. Dengan demikian,
setiap sekolah dipaksa untuk menjadi agen kebudayaan Barat dan dijadikan
sebagai alat untuk misionaris Kristen. Memang betul bahwa kolonial Belanda
mempekerjakan tamatan pendidikan. Tetapi pekerjaan yang diberikan kepada
tamatan pribumi hanyalah pekerja rendahan atau pegawai kasar, seperti jongos,
tukang kebersihan, tukang kebun, dan pekerja lainnya yang menggambarkan sebagai
budak yang harus mengabdi kepada tuannya.
Kebijakan
tersebut ditempuh dengan berpegang pada prinsip, bahwa mereka tidak ingin
masyarakat pribumi menjadi cerdas dan pandai yang akan membahayakan
kelangsungan kaum penjajah. Dengan kebijakan tersebut mereka tidak ingin umat
Islam menjadi maju. Karena jika masyarakat Islam cerdas dan pandai,
dikhawatirkan akan mengancam kekuasaan mereka yang selanjutnya bisa mengancam
kelangsungan perdagangan mereka dan terancam pula misi mereka dalam usaha
menyebarkan dan mengkristenkan seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana yang
direncanakan oleh Snouck Hurgronye.
Sejalan
dengan misi Belanda yang tidak senang melihat Islam di Indonesia mengalami
kemajuan, maka pemerintah Belanda mengeluarkan serangkaian peraturan dan
kebijakan guna menghalangi kemajuan dan perkembangan agama Islam. Di antara
kebijakan itu sebagai berikut:
1.
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus
yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang mereka
sebut dengan nama Priesterrden. Dari nasihat badan inilah pada tahun 1905
pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan baru yang dikenal dengan nama
Ordonansi Guru.
2.
Tahun 1925 pemerintah Belanda mengeluarkan Ordonansi Guru yang
kedua, yang isinya mewajibkan bagi setiap guru agama untuk melaporkan diri pada
pemerintah secara berkala. Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagai media
pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar
dan penganjur agama Islam di negara ini.
3.
Pada 1932 pemerintah Belanda mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar (Wilde
School Ordonansi). Ordonansi ini berisi kewenangan untuk memberantas dan
menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau sekolah yang memberikan
pelajaran yang tidak disukai oleh Belanda.
Dalam
realisasinya, peraturan ordonansi tersebut digunakan untuk menekan agama Islam,
karena dikaitkan dengan ketertiban dan keamanan. Misalnya ketika terjadi
persaingan ketat antara Islam dan Kristen di tanak Batak, Lulofs selaku
pensihat urusan luar Jawa menetapkan suatu garis perbatasan antara Islam dan
Kristen. Orang Islam tidak dibenarkan tinggal di daerah Kristen lebih dari 24
jam. Dapat dipastikan, bahwa hal semacam ini dimaksudkan agar umat Islam tidak
secara leluasa berada dan bergaul di tengah komunitas Kristen karena
dikhawatirkan dapat mengajak dan memengaruhi kekristenan yang ada di daerah
tersebut.
Latar
belakang munculnya ordonansi tersebut di atas sepenuhnya bersifat politis,
yakni untuk menekan pendidikan Islam sedemikian rupa, sehingga pendidikan agama
tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pengalaman
penjajah yang direpotkan oleh perlawanan rakyat Cilegon tahun 1888, misalnya,
merupakan pelajaran serius bagi pemerintah Hindia-Belanda untuk menerbitkan
ordonansi tersebut. Kebijakan pemerintah Hindia-Belanda yang bersifat
diskriminatif dan menekan pendidikan Islam ini pada dasarnya disebabkan karena
kekhawatiran timbulnya militansi kaum Muslim terpelajar.
Berkaitan
dengan ordonansi tersebut, umat Islam menilai sebagai kebijakan yang tidak saja
membatasi perkembangan pendidikan Islam, tetapi sekaligus menghapus peran
penting umat Islam di Indonesia. Dengan ordonansi ini para guru dan penganjur
agama Islam tidak lagi memiliki keleluasaan dalam bergerak, karena sangat
dibatasi dengan ketat, dan selalu dicurigai. Demikian halnya dengan adanya
ketidaklengkapan laporan sebuah lembaga pendidikan Islam sering dijadikan
alasan untuk menutup kegiatan pendidikan di kalangan umat Islam. Dengan alasan
ini, maka kegiatan dan penyelenggaraan pendidikan yang bersifat nonformal
banyak yang dibubarkan.
Keberlanjutan
penjajahan tentu saja merupakan hal yang didambakan oleh kolonial Belanda.
Dalam upaya mewujudkan keadaan yang demikian itu, maka umat Islam sering
ditempatkan sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan Barat dalam hal ini
diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di
Indonesia. Pada akhir abad ke-19, Snouck Hurgronye begitu optimis bahwa Islam
tidak sanggup bersaing dengan pendidikan Barat. Agama ini dinilai beku dan
menghalangi kemajuan, sehingga harus diimbangi dengan meningkatkan taraf
kemajuan pribumi.
Namun
demikian, perkiraan dan ramalan Snouck Hurgronye agaknya kurang memperhitungkan
kemampuan umat Islam untuk mempertahankan diri di negeri ini yang sudah
terbiasa hidup sederhana dan tahan penderitaan. Selain itu, kolonial Belanda
juga kurang memperhitungkan faktor kesanggupan Islam yang mampu menyerap
kekuatan dari luar untuk meningkatkan diri. Memang cukup beralasan untuk merasa
optimis. Kondisi objektif pendidikan Islam pada waktu itu memang sedemikian
rupa dan tidak sebanding dengan kemajuan yang dialami oleh Kristen (Barat),
sehingga diperkirakan tidak akan mampu menghadapi superioritas Barat, tidak
sanggup melawan pendidikan Kristen yang lebih maju dalam segala aspeknya, dan
tidak akan bisa berhadapan dengan sikap diskriminatif kolonial. Namun demikian,
ternyata pendidikan Islam dapat berkembang sedemikian rupa, sehingga optimisme
dan ramalan bahwa Islam bakal sirna tidak dapat dibuktikan. Islam sebagai agama
yang mutlak benar dan diturunkan oleh Allah SWT, maka sudah pasti akan dibela
dan dilindungi oleh-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar