A.
Masuk
dan Berkembangnya Islam di Indonesia
1.
Masa
masuk dan berkembangnya islam
a.
Akselerasi
perkembangan Islam pada umumnya.
Sejarah telah mecatat bahwa semua agama baik agama samawi atau
agama wad’i disiarkan dan dikembangkan oleh para pembawanya yang disebut utusan
Tuhan dan oleh para pengikutnya. Mereka yakin utusan Tuhan dan para
pengikutnya. Mereka yakin bahwa kebenaran dari Tuhan itu harus disampaikan
kepada umat manusia untuk menjadi pedoman hidup. Para penyebar agama banyak
yang menempuh perjalanan jarak jauh dari tempat kelahirannya sendiri demi untuk
menyampaikan ajarannya. Missal Nabi Ibrahimberhijrah dari daerah Babylonia
menuju Palestina Mesir dan Mekah. Nabi Musa ke Yerusalem, dan Nabi Muhammad
hijrah dari Makkah ke Madinah. Para pemeluk agama menyebarkannya lagi ke
tempat-tempat yang lebih jauh secara langsung atau secara bernting (estafet),
sehingga agama-agama sekarang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia.
Diantara agama-agama besar di dunia ini adalah Yahudi, Nasrani,
Islam, Hindu dan Budha, tetapi yang paing luas dan paling banyak pengikutnya
ialah Nasrani dan Islam. Hal tersebut tentu berhubungan dengan usaha
penyiarannya oleh para pemeluknya.
Usaha penyiaran agama pasti menghadapi rintangan, hambatan,
gangguan bahkan ancaman yang berat. Itulah sebabnya maka kadang-kadang
penyiaran suatu agama berjalan dengan lancer, kadang-kadang tersendat-sendat,
kadang-kadang mengalami kemacetan walaupun tidak total.
Pengembangan dan penyiaran agama Islam termasuk paling dinamis dan
cepat dibandingkan dengan agama-agama lainnya. Hal tersebut diukur dengan kurun
waktu yang sebanding dengan sikon, alat komunikasi dan transportasi yang
sepadan. Catatan sejarah telah membuktikan bahwa Islam dalam waktu 23 tahun
dari kelahirannya sudah menjadi tuan di negerinya sendiri., yaitu Jazirah
Arabia. Pada zaman khalifah Umar bin Khattab Islam telah masuk secara
peotensial di Syam Palestina, Mesir dan Iraq. Pada zaman Usman bin Affan, Islam
telah masuk di negeri-negeri bagian timur sampai ke Tiongkok dibawa oleh para
pedagang zaman dinasti Tang. Kesimpulannya ialah, bahwa dalam kurun waktu
kurang dari satu abad dari kelahirannya, Islam telah tersebar jauh smpai ke
Tiongkok, ke Afrika bagian Utara, ke Asia Kecil dan Asia bagian Utara (lembah
sungai Everat dan Tigris). Sedangkan agama-agama lain memerlukan beberapa abad
untuk dapat menyebar ke luar negerinya dalam jarak yang jauh dan daerah yang
luas atau untuk menjadi tuan di negerinya sendiri.
Akselerasinya dan dinamika penyebaran Islam tersebut disebabkan
adanya faktor-faktor khusus yang dimiliki oleh Islam pada periode permulaanya.
Faktor-faktor positifitu antara lain ialah:
1)
Faktor
ajaran Islam itu sendri. Ajaran Islam, baik akidah, syariah dan akhlaknya sudah
mudah dimengerti oleh semua lapisan masyarakat, dapat diamalkan secara luwes
dan ringan, selalu memberikan jalan keluar dari kesulitan.
2)
Faktor
tempat kelahiran Islam, yaitu Jazirah Arabia.
a)
Jazirah
Arabia lokasinya sangat strategis yaitu di tengah persimpangan antara
benua-benua Afrika, Eropa, Asia bagian Utara dan Asia bagian Timur.
Bangsa-bangsa yang berada disekitar Jazirah Arabia itu sudah terkenal memiliki
kebudayaan yang amaju, misalnya bangsa Mesir, Ethiopia, Syiria, Romawi Timur,
Persia, India dan lain sebagainya. Dengan demikian maka Negara-negara pada
empat penjuru angina itu terasa sama dekatnya dan penyebaran Islam dengan mudah
sampai kepada mereka. Seandainya Islam itu lahir di ujung selatan benua Afrika
atau ujung selatan benua Amerika, maka jalannya penyebaran agama tersebut tidak
akan cepat dan mudah.
b)
Arabia
itu disebut Jazirah (pulau) karena hamper seluruh tanahnya dikelilingi oleh
perairan secara langsung. Yaitu oleh Laut Tengah, Laut Merah, Samudra India,
Teluk Parsi (Teluk Arab) dan sungai besar yaitu Everat dan Tigris. Walaupun
demikian Jazirah Arabia mempunyai hubungan darat dengan benua-benua sekitarnya.
Dengan demikian maka hubungan antara Arabia dengan dunia luar dapat ditempuh
dengan jalan laut dan darat. Sejak zaman dahulu kafilah Arab melalui darat dan
melalui laut sudah termasyuhur. Diriwayatkan bahwa pada zaman Nbi Sulaiman dan
Iskandar Zulkarnain, orang Arab banyak yang dijadikan awak kapal mengarungi
lautan yang luas. Dan kafilah Arab melintasi jalan raya darat yang tertua yaitu
Khaibar Pass yang menghubungkan Timur Tengah dengan Tiongkok. Pada hal menurut
L.Stoddard bahwa orang-orang Eropa sampai abad pertengahan belum memahami arti
yang sebenarnya dari lautan dan pelayaran di samudra luas. Faktor demikian ini
ikut memberikan akselerasi dan dinamika bagi penyebaran Islam pada periode
permulaannya.
c)
Arabia
terdiri dari daerah padang pasir dan gunung-gunung batu yang tandus. Hanya
sebagian kevil saja daerah yang subur. Keadaan yang demikian itu, memaksa
kepada penduduknya untuk mencari penghidupan dengan jalan perdagangan.
Pertanian dan peternakan tidak dapat mencukupi kebutuhan minimal dari
penduduknya. Sejak dahulu orang Arab sudah biasa melakukan perjalanan ke luar
negerinya untuk kepentingan perdagangan. Nabi Muhammad pada waktu masih muda
pernah pergi ke luar negeri dua kali ( ke negeri Syam) untuk berdagang.
Perdagangan dikuasai oleh bangsawan suku Quraisy yang berkuasa di bidang
politik dan ekonomi. Al-Qur’an surat Quraisy memberikan makna yang berlatar
belakang kehidupan perdagangan penduduk Makkah pada zaman itu. Hijrah yang
pertama kali dilakukan oleh umat Islam ialah ke negeri Habasyah (Ethiopia) di
Afrika. Negeri Habasyah sudah dikenal oleh orang Arab karena termasuk tujuan
perdagangan. Begitu juga Nabi Muhammad menyebut negeri Tiongkok dalam
hubungannya dengan kewajiban menuntut ilmu pengetahuan, ada hubungannya dengan
perdagangan yang sudah terjalin antara Tiongkok dengan negeri Timur Tengah.
Bersamaan dengan perjalanan dagang yang dilakukan oleh orang Arab itulah gama
Islam ikut tersiar keluar daerah Makkah. Kaum pedagang adalah yang paling
sering berhubungan dengan orang atau bangsa-bangsa lain. Mereka pada umumnya
mempunyai sikap yang ramah tamah dan dinamis. Faktor positif demikian itu ikut
mempercepat tersiarnya agama Islam. Seandainya Islam yang pertama itu turun
pada kaum petani ditanah yang subur, maka perkembangan Islam tidak akan secepat
itu. Kaum petani di daerah itu yang dengan sendirinya sifatnya menetap akan
mengakibatkan perkembangan Islam tidak akan secepat itu. Kaum petani di daerah
subur mempunyai keenderungan tidak banyak merantau dan tidak sering berhubungan
dengan bangsa-bangsa asing.
d)
Ikllim
Jazirah Arabia pada umumnya panas dan kering. Pada waktu musim panas suhu udara
di siang hari mencapai 50˚C atau lebih. Perbedaan antara suhu udara siang
dengan suhu udara malam agak besar. Oleh karena itu bangsa Arab di Jazirah
Arabia sudah terbiasa hidup di dalam suhu udara yang bermacam-macam, baik udara
panas, sedang dan udara dingin. Kondisi seperti tersebut sangat besar artinya
bagi para mubaligh Islam angkatan pertama itu. Mereka apabila dikirim ke luar
daerah atau ke luar negeri tidak akan mengalami kesulitan tentang iklim,
sehingga mereka tidak terganggu kesehatan rohani dan jasmaninya. Mereka dapat
bertahan dan mudah menyesuaikan diri dengan iklim di daerah baru tempat mereka
menyiarkan agama Islam.
b.
Masuk
dan berkembangnya Islam di Indonesia
Ada dua faktor
utama yang menyebabkan Indonesia mudah dikenal oleh bangsa-bangsa lain,
khususnya oleh bangsa-bangsa di Timur Tengah dan Timur Jauh sejak dahulu kala,
yaitu:
1)
Faktor
letak geografisnya yang strategis, Indonesia berada dipersimpangan jalan raya
Internasional dari jurusan Timur Tengah menuju Tiongkok, melalui lautan dan
jalan menuju benua Amerika dan Australia.
2)
Faktor
kesuburan tanahnya yang menghasilkan bahan-bahan keperuan hidup yang dibutuhkan
bangsa-bangsa lain, misalnya: rempah-rempah.
Oleh karena itulah maka tidak mengherankan
jika masuknya Islam di Indonesia ini terjadi tidak terlalu jauh dari zaman
kelahiranmya. Harus dibedakan antara datangnya
orang Islam yang pertama di Indonesia dengan permulaan penyiaran Islam di
Indonesia. Suatu contoh: sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu orang Yahudi yang
menetap dan berdagang di kota-kota besar di Indonesia. Tetapi sampai sekarang
tidak pernah ada gerakan penyiaran agama Yahudi di Indonesia. Sehingga orang
menganggap bahwa agama Yahudi belum masuk ke Indonesia.
Jika agama Islam dalam arti para pedang Islam
telah masuk di Tiongkok pada zaman Khalifah Usman bin Affan, maka tidak
mustahil ada pedagang Islam yang mampir atau menetap di Indonesia sekitar zaman
itu., mengingat letak Indonesia dilalui oleh mereka yang akan pergi ke Tiongkok
lewat lautan. Tetapi ilmu sejarah tidak cukup
hanya berdasarkan perkiraan atau hipotesa belaka. Ilmu sejarah memerlukan
bukti-bukti yang otentik tentang permulaan masuknya Islam di Indonesia,
sehingga sampai sekarang masih mengalami kesulitan-kesulitan yang prinsip,
antara lain:
a)
Buku-buku
sejarah Indonesia banyak yang ditulis oleh orang-orang Belanda pada zaman
pemerintahan Belanda menjajah Indonesia. Ada dua macam keberatan terhadap
buku-buku tersebut. Pertama, penulisnya adalah orang-orang yang tidak senang
kepada Islam dan kepada bangsa Indonesia. Kedua, masa penyelidikannya sudah
lama sehingga sudah ketinggalan waktu, yakni sudah ada bukti-bukti lain yang
dikemukakan oleh penulis Belanda. Namun demikian kita tidak boleh aprori
menolak semua pendapat dari mereka.
b)
Buku-buku
sejarah yang ada sering mengemukakan bukti berupa cerita rakyat yang hidup dan
dipercayai oleh orang banyak sejak dahulu hingga sekarang. Ibarat Hadist Nabi
Muhammad SAW yang nilainya masyhur atau mutawattir dapat dijadikan dalil atau
bukti. Padahal diantara cerita rakyat yang sudah masyhur itu kadang-kadang tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Beberapa pendapat tentang permulaan Islam di Indonesia antara lain
sebagai berikut: Bahwa kedatangan Islam pertama di Indonesia tidak identic
dengan berdirinya kerajaan Islam pertam di Indonesia. Mengingat bahwa pembawa
Islam ke Indonesia adalah para pedagang, bukan missi tentara dan bukan pelarian
politik. Mereka tidak ambisi langsung mendirikan kerajaan Islam. Lagipula di
Indonesia pada zaman itu sudah ada kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang banyak
jumlahnya dan berkekuatan besar. Jadi masa tenggang antara kedatangan orang
Islam pertama di Indonesia dengan berdirinya kerajaan Islam pertama adalah
sangat lama.
Orang Islam dimanakah yang pertama datang dan berdakwah Islam di
Indonesia? Dan pada abad berapa?
Ada beberapa teori untuk menjawab pertanyaan tersebut, antara lain
sebagai berikut:
1)
Yang
datang pertama kali ialah mubaligh dari Persi (Iran), pada pertengahan abad 12
M. Alasannya karena kerajaan Islam pertama di Indonesia bernama Pasa (Pasai)
berasal dari Persi. Di tambah dengan kenyataan bahwa orang Islam Indonesia
sangat hormat kepada keturuana sayid atau habib yaitu keturuana Hsan dan Husen
putera Ali bin Abi Thalib.
2)
Yang
datang pertama kali ialah mubaligh dari India Barat, tanah Gujarat. Alasannya,
karena ada persamaan bentuk nisan dan gelar nama dari mubaligh yang oleh
Belanda dianggap sebagai kuburan orang-orang Islam yang pertama di Indonesia.
Dua macam pendapat diatas
sekarang sudah dianggap lemah. Kelemahan pendapat pertama ialah: Kata Pase
(Pasai) bukan dari kata Persi, tetapi kata Pasir. Karena di daerah tersebut
tanahnya bercampur dengan pasir. Orang Aceh menyebut kata pasir dengan ucapan
Pase. Adapun kehormatan yang diberikan kepada para sayid oleh orang Islam
Indonesia itu bukan pengaruh madzhab Syiah. Dalam madzhab Sunny (Ahli Sunnah
Wal Jama’ah) juga ada ajaran tentang penghormatan kepada keluarga Nabi Muhammad
SAW yang disebut Ahlul Bait. Umat Islam Indonesia menghormati semua khalifah
termasuk Ali bin Abi Thalib. Sedangkan orang Syiah tidak menghormati kecuali
Ali bin Abi Thalib saja. Ditinjau dari letak geografisnya, Persi dengan
Indonesia tidak mempunyai hubungan yang langsung dan ramai dibandingkan dengan
Arab, India dan Indonesia.
Kelemahan
pendapat yang kedua yang mengatakan bahwa mubaligh pertama datang dari Gujarat
terletak pada ketermukannya bukti-bukti baru yang lebih kuat yang menyatakan
bahwa mubaligh pertama dalah orang-orang Arab. Thomas
W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam mengatakan bahwa pada
abad ke 7 M di pantai baratpulau Sumatra sudah dipadati suatu kelompok
perkampungan orang-orang Arab. Telah terbukti pula adanya kuburan orang Arab di
Baros, terletak antara Tapanuli dan Aceh. Adapun kerajaan Pase di Aceh menurut
pendapat sarjana Belanda bernama “Mosens”, bahwa daerah itu sudah merupakan
pusat perniagaan yang ramai antara India dan Tiongkok sejak abad ke 5 M. Jadi,
bukan tempat baru yang muncul secara mendadak mejadi kerajaan Islam. Orang
Islam pertama tinggal di Pase. Jika kita menghubungkan dengan sejarah masuknya
Islam di Tiongkok, yaitu pada zaman Khalifah Usman bin Affan pada zaman dinasti
Tang dan pedagang Islam bangsa Tiongkok sendiri sudah dominan di daerah Canton
pada abad ke 2 H/ 8 M dan para ulam Islam bangsa Tiongkok pada zaman itu sudah
menjadi khotib dan imam jum’at, maka tidak mustahil jika pada abad ke 7 M/ 1 H
sudah ada orang Arab Islam yang masuk di Indonesia mengingat letak geografis
Indonesia berada di tengah perjalanan antara Timur Tengah dengan Tiongkok.
Sedangkan hubungan dagang antara Arab-Tiongkok sudah berjalan ramai sejak
berbad-abad sebelum datangnya Islam.
Seminar masuknya agama Islam di Indonesia yang di selenggarakan di
Medan pada tahun1963 menyimpulkan sebagai berikut:
1)
Menurut
sumber bukti yang terbaru, Islam pertama kali datang di Indonesia pada abad ke
7 M/ 1 H dibawa oleh pedagang dan mubaligh dari negeri Arab.
2)
Daerah
yang pertama dimasuki ialah pantai barat pulau Sumatra yaitu daerah Baros,
tempat kelahiran ulama besar bernama ialah di Pase.
3)
Dalam
proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Islam bangsa Indonesia ikut aktif
mengambil bagian yang berperan, dan proses itu berjalan secara damai.
4)
Kedatangan
Islam di Indonesia ikut mencerdaskankan rakyat dan membina karakter bangsa.
Karakter tersebut dapat dibuktikan pada perlawanan rakyat melawan penjajahan
bangsa asing dan daya tahannya mempertahankan karakter tersebut selama dalam
zaman penjajahan Barat dalam waktu 350 tahun.
Jika termasuk orang Islam yang pertama di Indonesia itu ditetapkan
pada abad ke 1 H, maka mereka itu dalam pengamalan agamanya beraliran Al-Salaf
al Saleh (Golongan angkatan pertama = terdahulu yang saleh). Pada abadke 1 H
belum dikenal adanya madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali.
Dapatlah di bayangkan bagaimana sikap kepribadian para penyiar
Islam yang pertama di Indonesia itu dengan mengingat tiga hal yaitu:
a)
Mereka
adalah angkatan umat Islam ke 1 H Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa : sebaik-baik
abad adalah abad saya, kemudian abad berikutnya.
b)
Mereka
pada umumnya adlaah para pedagang dan perantau. Pada umumnya pedagang perantau bersikap ramah, ulet bekerja dan
sederhana.
c)
Mereka
datang sebagai golongan minoritas yang tidak bersenjata
Faktor tersebut menunjang keberhasilan dan kecepatan pengembangan
Islam periode pertama itu. Dengan modal kepribadian tersebut para mubaligh
Islam itu berdakwah kepada rakyat awam dan kepada para penguasa pemerintahan
sekaligus, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad sendiri. Nabi Muhammad
mengajarkan agama Islam kepada kaum awam yang lemah, kepada kaum bangsawan
kabilah dan kepada raja-raja. Ia mengajarkan agama Islam dimana saja dan kapan
saja, tidak terikat oleh formalitas waktu dan tempat tertentu. Materi
pelajarannya mula-mula sekali ialah kalimat Syahadat. Barangsiapa sudah
bersyahadat berarti ia sudah menjadi warga Islam. Demikianlah gambaran dari
aktivitas mubaligh pertama di Indonesia.
Proses pembentukan dan pengembangan masyarakat Islam yang pertama
melalui bermacam-macam kontak, misalnya: kontak jual beli, kontak perkawinan
dan kontak dakwah langsung, baik secara individual maupun kolektif.
B.
Berdirinya
Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara
1.
Zaman
Kerajaan Islam di Aceh
Ada dua faktor
penting yang menyebabkan masyarakat Islam mudah berkembang di Aceh, yaitu:
a. Letaknya yang strategis dalam hubungan dengan jalur Timur Tengah Tiongkok.
b. Pengaruh Hindu-Budha dari kerajaan Sriwijaya di Palembang tidak bergitu
berakar kuat dikalangan rakyat Aceh, karena jarak antara Palembang dan Aceh
cukup jauh.
Proses antara
masyarakat Islam menjadi kerajaan Islam yang berkuasa secara politis menempuh
masa dan waktu yang lama. Hal ini dibuktikan bahwa masuknya Islam yang petama
pada abad ke-7 M. Sedangkan kerjaan Islam yang pertama baru berdiri pada abad
ke-10 M. Rupanya masyarakat Islam tidak begitu ambisi untuk merebut kekuasaan
politik sehingga penyiaran Islam berjalan dengan damai dan wajar.
Kerajaan Islam
pertama di Indonesia adalah Pase atau kerajaan Samudera di daerah Aceh yang
berdiri pada abad ke-10 M dengan rajanya yang pertama Al Malik Ibrahim bin
Mahdum, yang kedua Al Malik Al Shaleh dan yang terakhir Al Malik Sabar Syah
(tahun 1444 M/abad ke-15 H).
Pada tahun 1345
M Ibnu Batutah dari Maroko, mengelilingi dunia dan singgah di kerajaan Pase
pada zaman Al Malik Al Zahir, keadaan di kerajaan Pase itu, dimana rajanya
sangat alim dalam ilmu agama dan mazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai
waktu Asar serta fasih berbahasa Arab. Cara hidupnya sederhana.
Keterangan Ibnu
Batutah tersebut dapat ditarik kepada sistem pendidikan yang berlaku di
kerajaan Pase sebagai berikut:
a. Materi pendidikan dan pengajaran di bidang syariat ialah Fiqh Mazhab
Syafi’i.
b. Sistem pendidikannya secara formal berupa majelis taklim dan halaqah.
c. Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh ulama.
d. Biaya pendidikan agama bersumber dari negara.
Kerajaan Islam
yang kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama adalah
Sultan Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pase dan Perlak terjalin
kerja sama yang baik sehingga seorang raja Pase kawin dengan puteri raja
Perlak.
Marco Polo
warga Italia mengelilingi dunia, pernah singgah di Perlak tahun 1292 M. Ia
melaporkan bahwa ibu kota Perlak ramai dikunjungi pedagang Islam dari Tiimur
Tengah, Persia dan India.
Raja yang
keenam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin, adalah seorang ulama yang
mendirikan Perguruan Tinggi Islam. Suatu lembaga majlis taklim tinggi dihadiri
khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut mengajarkan dan
membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi. Misalnya Kitab
Al-Um karangan Imam Syafi’i, dan lain-lain.
Dari Pase dan
Perlak ini, dakwah Islam disebarkan ke negeri Malaka, Sumatera Barat dan Jawa
Timur.
Seorang raja
Malaka bernama Pramasywara diambil menjadi menantu oleh raja Pase. Dialah raja
Malaka yang pertama beragama Islam dan bermazhab Syafi’i, dan berganti nama
Sultan Iskandar Syah. Oleh karena itu raja sudah beragama Islam, maka
berbondong-bondonglah rakyat mengikuti jejak sang raja. Kebijakan raja Pase
tersebut pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad yang pernah memperistri keluarga
dari suatu kafilah yang berpengaruh untuk maksud dakwah Islam. Masuknya Islam
ke Malaka mempunyai arti yang penting sehubungan dengan fungsi Malaka sebagai
pusat perdagangan internasional terbesar di daerah Asia Tenggara. Dari Malaka, Islam
dapat tersebar ke daerah lain melalui perdagangan. Antara lain masuk ke Jawa.
Jadi Islam di Jawa dibawa oleh muballig dari Aceh dan dari Malaka.
Islam untuk
pertama kali masuk ke Jawa pada abad 14 M, (tahun 1399 M) dibawa oleh Maulana
Malik Ibrahim dengan keponakannya bernama Mahdum Ishaq yang menetap di Gresik.
Beliau adalah orang Arab dan pernah tinggal di Gujarat. Pada zaman itu yang
berkuasa di Jawa adalah kerajaan Majapahit. Salah seorang raja Majapahit
bernama Sri Kertabumi mempunyai isteri yang beragama Islam bernama puteri
Cempa. Kejadian tersebut sangat berfaedah bagi dakwah Islam. Ternyata Puteri
Cempa itu melahirkan putera bernama Raden Fatah yang menjadi raja Islam yang
pertama di Jawa (Demak). Munculnya kerajaan Islam yang pertama itu bukan
disebabkan agresi agama Islam terhadap agama Hindu yang dipeluk oleh Kerajaan
Majapahit, tetapi disebabkan kelemahan dan kehancuran Majapahit dari dalam
setelah wafatnya Gajah Mada dan raja Hayam Wuruk.
Prof. M. Yamin
dan Prof. N. J. Krom melukiskan keruntuhan Majapahit itu sebagai berikut:
“Keruntuhan Majapahit didahului oleh kelemahan pemerintah pusatnya yang disusul
oleh perang saudara di antara yang disusul perang saudara diantara ahli
warisnya. Misalnya: Perang antara Bre Wirabumi dengan puteri mahkota
Kusumawardhani. Perang saudara di Majapahit berkepanjangan selama 30 tahun
melibatkan 6 orang ahli waris dari Hayam Wuruk. Keruntuhan itu bukan disebabkan
oleh agama Islam lawan agama Hindu. Kehadiran kerajaan Islam Demak dipandang
oleh rakyat Majapahit sebagai cahaya baru yang membawa harapan. Kerajaan Islam
itu diharapkan sebagai kekuatan baru yang akan mehalau segala bentuk
penderitaan lahir dan batin dan akan mendatangkan kesejahteraan. Rakyat
Majapahit sudah mengenal agama Islam jauh sebelum kerajaan Demak berdiri.
Bahkan kerajaan Brawijaya sendiri kenal agama Islam melalui puteri Cemapa yang
selalu bersikap ramah dan damai.
Raden Fatah
bergelar Sultan Alamsyah Akbar, pada dasarnya melanjutkan warisan ayahnya
Kertabumi dan menyelamatkannya dari kehancuran total karena perang saudara yang
berkepanjangan. Kertabumi tidak dibunuh tetapi diboyong ke Demak.
Dakwah di Jawa
makin memperoleh bentuknya yang lebih mantap dengan adanya pimpinan yang
disebut Walisongo (sembilan tokoh pemimpin dakwah Islam di Jawa).
2. Tentang Walisongo
Adanya hubungan
timbal balik antara peranan Walisongo dengan kerajaan Demak dibidang dakwah
Islam, yakni berdirinya kerajaan para wali. Raden Fatah menjadi Raja adalah
atas keputusan para wali juga. Pada tahun 1476 Raden Fatah mendirikan pondok
pesantren Gelagah Arum yang menjadi Kota Bintoro serta mendirikan organisasi
dakwah bernama Bayangkari Islam. Diantara kitab agama peninggalan zaman itu
ialah usul 6 Bis (Bismillah) Peimbon, Suluk Sunan Bonang, Suluk Sunan Kalijaga
dan Wasito Jati Sunan Geseng. Sebaliknya kerjaan Demak memberikan bantuan yang
besar kepada dakwah Islam yang dilakukan oleh para wali.
Kata wali
berasal dari bahasa Arab = kekasih, = penguasa. Dalam Al-Qur’an banyak terdapat
kata walli yang berarti kekasih. Misalnya surat Yunus ayat 62-63, Al-Baqarah
ayat 257, Ali Imron ayat 68, Al-Jatsiyah ayat 19, As-Sajadah ayat 4, Asy-Syura
ayat 9 dan lain sebagainya. Ayat-ayat tersebut menggambarkan tentang adanya
orang-orang yang sangat taat beribadah kepada Allah, sehingga mereka disebut
kekasih Allah. Kita dapat membayangkan bagaimana hubungan antara pihak kekasih
dengan yang mengasihi.
Para Walisongo
ditinjau dari kepribadian dan perjuangan dakwahya termasuk kekasih Allah.
Ditinjau dari tugas dan fungsinya dalam kerajaan Demak, mereka adalah para
penguasa pemerintah. Oleh karena itu mereka mendapat gelar susuhunan (Sunan),
yaitu sebagai penasihat atau pembantu raja. Dengan demikian maka sasaran
pendidikan dan dakwah Islam meliputi rakyat umum dan kalangan pemerintah.
Adapun
Walisongo itu adalah:
a) Maulana Malik Ibrahim = Maulana
Syekh Magribi.
b) Sunan Ampel = Raden Rahmat.
c) Sunan Bonang = Maulana Ibrahim.
d) Sunan Derajat = Raden Qasim.
e) Sunan Giri = Raden Paku = R. Ainulyaqin.
f) Sunan Kudus = R Amin Haji = Ja’far Sidiq
g) Sunan Muria = Prawoto =R. Said.
h) Sunan Kallijaga = R. Syahid.
i)
Sunan Gunung Djati = R. Abd. Qadir = Syarif
Hidayatullah = Falatehan = Fatahillah.
Maulana Malik
Ibrahim berhasil mencetak kader muballig selama 20 tahun. Wali-wali lainnya
adalah murid dari Maulana Malik Ibrahim yang di gembleng dengan pendidikan
pondok pesantren. Antara Malik Ibrahim dengan para wali yang lain atau antara
para wali itu sendiri selain diikat oleh hubungan pendidikan juga diikat oleh
hubungan kekeluargaan, yaitu dengan cara menjadi besan, menantu atau ipar.
Sistem seperti ini juga pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sunan Ampel
mewarisi pondok pesantren ayahnya yaitu Malik Ibrahim. Sunan Ampel diambil
menantu oleh penguasa Tuban bernama Ario Tejo. Disini dapat disimpulkan adanya
hubungan mesra antara ulama dengan umara. Hubungan itu dijalin dengan dakwah.
Selain daripada itu Ario Tejo membutuhkan bantuan R. Rahmat yang besar
wibawanya yang dapat mengamankan daerah Tuban, Gresik dan Surabaya, sebagai
daerah kunci kemakmuran negara. Diantar murid Sunan Ampel ialah R. Fatah putra
raja Majapahit terakhir. Sunan Ampel ikut mensponsori dan mendesain berdirinya
kerajaan Islam yang pertama di Demak.
Sunan Bonang
adalah putra Sunan Ampel. Sunan Bonang menaruh perhatian yang besar pada bidang
kebudayaan dan kesenian. Daerah operasinya ialah antara Surabaya dan Rembang.
Beliau mengarang lagu-lagu Gending Jawa yang berisi tentang keislaman, antara
lain tembang Mocopat.
Sunan Derajat
alias R. Qasim alias Syarifuddin adalah putra Sunan Ampel, adik Sunan Bonang
menjadi penasihat dan pembantu R. Fatah dalam pemerintahan. Perhatiannya secara
khusus ditujukan kepada kesejahteraan sosial dari para fakir miskin,
mengorganisir amil, zakat, dan infak. Beliau menganjurkan hidup sederhana dan
selalu tirakat, baik kepada santrinya, kepada rakyat, dan kepada para pembesar
negara Demak.
Sunan Giri
alias R. Paku, yang dari nama gelarnya, Paku, dapat dimengerti tentang
kepribadiannya sebagai stabilisator. Namanya yang lain Ainulyaqin. Ia adalah
saudara sepupu Sunan Ampel. Ayahnya berdarah ulama (Maulana Ishaq) dan ibunya
berdarah bangsawan (Putri Belambangan). Beliau diambil menantu oleh Sunan
Ampel.
Sunan Giri
menitikberatkan kegiatannya di bidang pendidikan. Dalam hal susunan materi
pengajaran ia mengadakan kontak dengan kerajaan Pase di Aceh yang berhaluan
ahlisunnah mazhab Syafi’i. Ke pondok pesantrennya berdatangan santri-santri
dari daerah Indonesia bagian Timur dan Kalimantan. Dengan demikian maka Sunan
Giri berfungsi sebagai pemersatu Indonesia di bidang pendidikan Islam. Ia
menjadi utusan para wali menghadapi Syekh Siti (Sidi) Jenar yang mengajarkan
ilmu tasawuf kepada orang-orang yang masih awam. Kesimpulan pendapat Sunan Giri
ialah bahwa Syekh Siti Jenar adalah kafir bagi manusia dan mukmin bagi Allah.
Pendapat seperti tersebut seolah-olah menjadi paku yang menstabilkan kekisruhan
pada waktu itu.
Sunan Kudus
alias R. Amin Haji menantu Sunan Bonang (namanya lainnya Syekh Jafar Al-Sadiq)
mendalami ilmu syariat. Tugasnya menjadi hakim tinggi di Demak dan menjadi
pangliima militer bidang hukum syariat yang mendapat perhatian lebih khusus
adalah bidang muamalat.
Sunan Muria
alias R. Prawoto alias R. Said menjadi ipar Sunan Kudus. Ia terkenal zuhud dan menjadi
guru tasawuf yang terkenal pendiam, tapi pandangan dan fatwanya sangat tajam.
Tempat tinggalnya terpencil di kaki gunung Muria, sunyi dan jauh dari
keramaian. Tempat seperti itu memang disenangi oleh orang sufi yang menjalankan
tariqat.
Sunan Kalijaga
alias R. Syahid, ipar dari Sunan Ampel, beristerikan saudara Sunan Giri. Jadi,
tiga orang wali itu dijalin dalam satu guru dan bersaudara ipar. Sejak kecilnya
ia hidup dikalangan keluarga di Istana Temanggung. Ario Tejo alias Adipati
Wilwatikto di Tuban. Ia dididik dalam bidang pemerintahan dan kemiliteran,
khususnya di bidang angkatan laut. Ia ahli di bidang pembuatan kapal laut yang
dibuat dari kayu jati. Ia membuat salah satu tiang pokok masjid Demak dari
potongan-potongan kayu jati yang disusun rapi dan kuat.
Dakwah Sunan Kalijaga terutama ditujukan kepada golongan tani dan buruh. Dalam susunan
pemerintahan Demak, susunan ini diserahi bidang penerangan dan pemerintahan
dalam negeri. Pola tata kota diseragamkan, dengan pusat kota sebuah lapangan
yang disebut aloon-aloon. Kediaman kepala pemerintahan (bupati) mengahap ke
aloon-aloon. Begitu juga masjid jami’nya. Hal itu melambangkan perpaduan antara
rakyat (aloon-aloon) dengan pemerintah dan alim ulama. Hubungan antara ulama
dan umara itu dirumuskan oleh Sunan Kalijaga dengan kalimat Sabdo Pandito
Ratu.
Sunan Kalijaga
mengadakan perjalanan turba dikalangan rakyat di daerah-daerah di luar ibu kota
kerajaan Demak. Ia berdakwah dengan sarana pertunjukan wayang kulit. Anak wayang kulit bukan lukisan manusia yang
sebenarnya. Karena perbuatan menggambar (melukis) manusia pada zaman itu tidak
di sukai oleh ulama Islam (lihatlah roman muka, ukuran tangan dari pada anak
wayang kulit itu). Cerita wayang berasal dari buku Mahabarata yang oleh Sunan
Kalijaga dimasukan nafas Islam. Misalnya Pandawa lima hubungannya dengan rukun
Islam yang lima dan shalat lima waktu.
Sunan Gunung
Djati alias R. Abdul Qadir alias Syarifhidayatullah atau Fatahillah atau Falatehan
(Fatahillah = Fatehullah = mendapat kemenangan dari Allah) telah mendapat
kemenangan dalam merebut kota Jakarta dari tangan Portugis pada tahun 1527 M.
Ia adalah putra Maulana Ishaq dan adik Sunan Giri, lain ibu. Ibunya berasal
dari Arab suku Quraisy. Ia menjadi menantu dari Sultan Demak dan diangkat
menjadi penguasa Jawa Barat yang berkedudukan di Cirebon. Ia adalah tokoh
politik, militer dan ulama dan menjadi raja muda Cirebon dan Banten di bawah
lindungan Demak. Pada usianya yang sudah mulai lanjut, Sunan Gunung Djati
memimpin pondok pesantren di Cirebon. Bidang pemerintahan diserahkannya kepada
putranya Sultan Hasanuddin yang berkedudukan di Banten. Pangeran Jayakarta
saudara Sultan Hasanuddin serahi wilayah Jakarta sekarang.
Jadi Walisongo
adalah orang-orang shaleh yang ditingkat takwanya pada Allah sangat tinggi,
pejuang dakwah Islam dengan keahlian yang berbeda. Ada yang ilmu tasawufnya,
ada seni budayanya, ada yang memegang pemerintahan dan militer secara langsung.
Semuanya diabdikan untuk pendidikan dan dakwah Islam.
3. Kerajaan Islam di Maluku
Islam masuk di
Maluku dibawa oleh muballig dari Jawa sejak zaman Sunan Giri dan dari Malaka.
Raja Maluku yang pertama masuk Islam adalah Sultan Ternate bernama Marhum pada
tahun 1465-1486 M. Atas pengaruh Maulana Husain, saudagar dari Jawa. Raja
Maluku yang terkenal di bidang pendidikan dan dakwah Islam ialah Sultan Zainul
Abidin, tahun 1486-1500 M. Dakwah Islam di Maluku mengahadapi dua tantangan,
yaitu yang datang dari orang-orang yang masih animis dan dari orang-orang
Portugis yang mengkristenkan penduduk Maluku. Sultan Sairun adalah tokoh yang
palingkeras melawan orang Portugis dan usaha kristenisasi di Maluku. Tokoh
missi Katolik yang pertama di Maluku ialah Fransiscus Zaverius tahun 1546 M. Ia
berhasil mengkatolikkan sebagian dari penduduk Maluku.
Ketika bangsa
Belanda yang beragama Kristen Protestan datang di Indonesia, mulai pula usaha
memprotestankan penduduk Indonesia pada awal abad 17 M (tahun 1600 M). Orang
Portugis terdesak oleh Belanda tetapi missi Katolik Portugis masih tetap
berjalan. Agama Protestan berjalan didukung sepenuhnya oleh pemerintah Belanda,
sedangkan Katolik didukung oleh missi Portugis dan dilanjutkan oleh Roma.
Dua golongan
Nasrani itu dapat bersatu di Indonesia, hanya untuk menghadapi Islam. Sedangkan
di Eropa, pada zaman itu, terjadi peperangan hebat yang cukup lama antara
Belanda melawan Spanyol dan Portugis. Pemerintah Belanda berhasil
memprotestankan rakyat Indonesia secara masal di daerah Batak, Manado dan
Ambon. Sedangkan Katolik berhasil di daerah Nusa Tenggara Timur yang mendapat
pengaruh dari Portugis di Timor Timur.
4. Kerajaan Islam di Kalimantan
Islam mulai
masuk di Kalimantan pada abad ke-15 M dengan cara damai, dibawa oleh muballig
dari Jawa. Sunan Bonang dan Sunan Giri mempunyai santri-santri dari Kalimantan,
Sulawesi dan Maluku. Sunan Giri, ketika berumur 23 tahun, pergi ke Kalimantan
bersama saudagar Kamboja bernama Abu Hurairah. Gubahan Sunan Giri bernama Kalam
Muyang dan gubahan Sunan Bonang bernama Sumur Serumbung menjadi buah
mulut di Kalimantan. Muballig lainnya dari Jawa adalah Sayid Ngabdul Rahman
alias Khotib Daiyan dari Kediri.
Perkembangan
Islam mulai mantap setelah berdirinya kerajaan Islam di Bandar Masih di bawah
pimpinan Sultan Surian Syah tahun 1540 M bergelar Pangeran Samudera dan dibantu
oleh Patih Masih.
Pada tahun 1710
di Kalimantan terdapat seorang ulama besar bernama Syekh Arsyad Al-Banjari dari
desa Kalampayan yang terkenal sebagai pendidik dan muballig besar. Pengaruhnya
meliputi seluruh Kalimantan (Selatan, Timur dan Barat). Ia menulis kitab-kitab
agama diantaranya yang terkenal:
a. Sabilul Muhtadin (dipelajari di hampir seluruh Indonesia sampai yang paling
Barat, Aceh).
b. Syarah Fathul Jawad.
c. Tahfatur Ragibin (terkenal di Sumatra Utara dan Aceh).
d. Ushuluddin.
e. Tasawuf.
f. Al-Nikah.
g. Al-Faraid.
Pada waktu
kecil ia diasuh dan diangkat oleh Sultan Tahmilillah dan dikirim untuk belajar
ke Makkah dan Madinah selama 30 tahun. Ia wafat pada zaman Sultan Sulaiman.
Kawan-kawan
seangkatannya antara lain: Abdul Rahman Masri Jakarta, Abdul Samad Palembang,
Abd. Wahab Pangkajene Sulawesi Selatan.
Guru-guru di
Makkah Syekh Attaillah di Madinah Iman Al-Haramain dan Syekh Sulaiman Al-Kurdi
Al-Misri. Pada waktu akan pulang ke Indonesia ia belajar ilmu tasawuf kepada
Syekh Abd. Karim Samman Al-Madany. Sultan Tahmiddillah mengangkat Syekh Arsyad
sebagai mufti kerajaan Banjar. Ia mendirikan pondok pesantren di kampung dalam
Pagar. Putrinya bernama Syekh Sihabddin juga keluaran Makkah dan pernah menjadi
muballigh di kerajaan Riau. Dua orang cucunya juga menjadi ulama terkenal
adalah Tuan Guru Muhammad As’ad dan Ustaz Fatimah yang mengarang kitab Parukunan
dalam bahasa Melayu (dipelajari dihampir seluruh Indonesia).
Sistem
pengajian kitab agama di pesantren Kalimantan sama dengan sistem pengajian
kitab di pondok pesantren di Jawa, terutama cara-cara menerjemahkannya ke dalam
bahasa daerah. Salah seorang tokoh Islam yang masuk di Kalimantan Barat ialah
Syarif Abdurrahman Al-Kadri dari Hadramaut pada tahun 1735 M dan kawin dengan
putra Dayak yang akhirnya mewarisi kerajaan di Kalimantan Barat Pontianak.
Salah seorang
pejuang Islam lain dari Kalimantan Selatan ialah Pangeran Antasari lahir pada
tahun 1790 M – 1862 M, cucu dari Pangeran Amir, putra Sultan Tahmidillah I.
Pangeran Antasari melawan Belanda untuk membela agama Islam dan tanah air. Ia
diberi gelar oleh rakyat Khalifah Amirul Mukminin.
5. Kerajaan Islam di Sulawesi
Kerajaan yang
mula-mula berdasarkan Islam adalah kerajaan Kembar Gowa Tallo tahun 1605 M. Rajanya bernama I. Mallingkaang
Daeng Manyonri yang kemudian brganti nama dengan Sultan Abdullah Awwalul Islam.
Menyusul di belakangnya raja Gowa bernama Sultan Aluddin. Dalam waktu dua tahun
seluruh rakyatnya telah memeluk Islam. Muballig Islam yang berjasa disana ialah
Abdul Qadir Khatib Tunggal gelar Dato Ri Bandang berasal dari Minangkabau,
murid Sunan Giri. Seorang Portugis bernama Pinto pada tahun 1544 M menyatakan
telah mengunjungi Sulawesi dan berjumpa dengan pedagang-pedagang (muballig)
Islam dari Malaka dan Patani (Thailand).
Pengaruh raja
Gowa dan Tallo dalam dakwah Islam sangan besar terhadap raja-raja kecil
lainnya. Diantara raja-raja itu sudah ada perjanjian yang berbunyi sebagai
berikut: “Barang siapa yang menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji
akan memberitahukan kepada raja-raja yang menjadi sekutunya”. Jalan disini
berarti jalan hidup atau agama. Dengan demikian maka Islam ikut mempersatukan
kerajaan-kerajaan yang semula selalu berperang itu. Beberapa ulama besar yang
membantu Dato’ Ri Bandang ialah Dato’ Sulaiman alias Dato’ Pattimang, dan Dato’
Ri Tirto alias Khatib Bungsu diperkirakan bahwa mereka itu juga berasal dari
Minangkabau.
Diantara ulama
besar kelahiran Sulawesi sendiri ialah Syekh Maulana Yusuf yang belajar di
Makkah pada tahun 1644 M. Ia pulang ke Indonesia dan menetap di Banten. Banyak
santrinya datang dari Makasar, kemudian karena memberontak, dibuang oleh
Belanda ke Sri Langka dan wafat di Afrika Selatan. Jenazahnya dipulangkan ke
Makasar dan di kubur di sana. Ia mengarang kitab Tasawuf dalam bahasa Arab,
Bugis, Melayu dan Jawa.
Dari Sulawesi
Selatan, agama Islam mengembang ke Sulawesi Tengah dan Utara. Islam masuk
daerah Manado pada zaman Sultan Hasanuddin, ke daerah Bolaang Mangondow di
Sulawesi Utara pada tahun 1560 M, ke Gorontalo tahun 1612 M. Buku-buku lama di
Gorontalo ditulis dengan huruf Arab.
Agama Islam
yang telah kuat di Sulawesi Selatan itu menjalar masuk di Kepulauan Nusa
Tenggara, yaitu ke Bima (Sumbawa) dan Lombok, dibawa oleh pedagang-pedagang
Bugis. Sumbawa dikuasai kerajaan Gowa pada tahun 1616 M.
PENDIDIKAN PADA ZAMAN KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA (Buku 2 hal. 235-260)
A. Berdirinya Kerajaan Islam
Indonesia adalah negara kepulauan yang luasnya termasuk urutan ke-4 setelah Cina, India dan Amerika. Setelah
melewati masa prasejarah, primitif dan masa kerajaan Hindu dan Buddha, di
Indonesia terdapat sejumlah kerajaan Islam. Kerajaan Islam ini lahir selain
sebagai konsekuensi logis dari tuntutan untuk memberikan kesempatan bagi Islam
untuk merealisasikan cita-cita ajarannya, juga dalam rangka menyebarkan ajaran
Islam itu sendiri.
Dilihat dari segi wilayahnya, kerajaan Islam tersebut ada yang berdiri di
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Maluku dan Sulawesi. Kerajaan Islam yang ada di Sumatera,
adalah Kerajaan Samudra Pasai, dan Kerajaan Aceh Darussalam. Adapun kerajaan
Islam di Jawa adalah Kerajaan Demak, Pajang, Mataram, Cirebon dan Banten.
Sedangkan kerajaan Islam di Kalimantan adalah Kerajaan Banjar di Kalimantan
Selatan, Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Selanjutnya di Maluku terdapat
Kerajaan Islam Ternate, dan di Sulawesi Selatan terdapat kerajaan islam
Gowa-Talo, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Beberapa kerajaan ini dapat
dikemukakan secara singkat sebagai berikut.
1.
Kerajaan Islam Pertama di Sumatera
Kerajaan Islam Samudra Pasai diperkirakan berdiri pada awal atau
pertengahan abad ke-13 M, yaitu sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah pantai yang disinggahi pedagang Muslim sejak abad ke-17,
ke-18, dan seterusnya. Para ahli sejarah umumnya berpendapat bahwa Malik
al-Saleh merupakan pendiri Kerajaan Samudra Pasai. Hal yang demikian dapat
diketahui melalui tradisi Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Melayu, dan juga
hasil penelitian atas beberapa sumber yang dilakukan sarjana-sarjana Barat,
khususnya para sarjana Belanda, seperti Snouck Hurgronye, J.P. Molquette, J.L.
Moens, J.Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K. Cowan, dan lain-lain. Sebelum masuk
Islam, Malik al-Saleh bergelar Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam
berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang utusan Syarif Mekkah, yang
kemudian memberinya gelar Sultan Malik al-Saleh. Nisan kubur itu didapatkan di
Gampong Samudera bekas Kerajaan Samudra Pasai tersebut.
Sejarah mencatat bahwa Kerajaan Samudra Pasai ini pernah mengalami kemajuan
dalam seluruh bidang kehidupan, yakni kemajuan dalam bidang perekonomian yang
berbasis perdanganan dan pelayaran yang memperoleh keuntungan dan pajak yang
besar, yakni 6% dari total barang yang dijual. Hal ini terhadi, karena Samudra
Pasai dilihat dari segi geografis dan sosial ekonomi, memang merupakan suatu
daerah yang penting sebagai penghubung antara pusat-pusat perdagangan yang terdapat
di Kepulauan Indonesia, Cina dan Arab. Kemajuan dalam bidang perekonomian dan
perdagangan ini diperkuat dengan adanya mata uang dirham dari Samudra Pasai
tersebut pernah diteliti oleh H.K.J. Cowan untuk menunjukkan butki-bukti
sejarah raja-raja Pasai. Mata uang tersebut menggunakan nama Sultan Alauddin,
Sultan Manshur Malik al-Zahir, Sultan Abu Zaid, dan Abdullah. Pada tahun 1973,
ditemukan lagi 11 mata uang dirham yang diantaranya bertuliskan nama Sultan
Muhammad Malik al-Zahir, dan Sultan Ahmad dan Sultan Abdullah, yang kesemuanya
adalah raja-raja Samudra Pasai pada abad ke-14 dan 15 M. Atas dasar mata uang
emas yang ditemukan itu, maka nama-nama raja Samudra Pasai dan utusannya dapat
diketahui jelas. Mereka adalah Sultan Malik al-Saleh (berkuasa hingga tahun
1207 M), Muhammad Malik al-Zahir (1297-1326 M), Mahmud Malik al-Jahir
(1316-1345 M), Manshur Malik al-Zahir (1946-1383 M), Zain al-Abidin Malik
al-Zahir (1983-1405 M), Nahrasiyah (1420-1428 M), Abu Zaid Malik al-Zahir (1455
M), Mahmud Malik al-Zahir (1455-1477 M), Zain al-Abidin (1477-1500 M), Abdullah
Malik al-Zahir (1501-1513 M), dan sultannya yang terakhir adalah Zain al-Abidin
(1513-1524 M).
Kerajaan Samudra Pasai ini berlangsung sampai dengan tahun 1524 M, karena
pada tahun 1521 M. kerajaan ini ditaklukan oleh Portugis yang mendudukinya
selama tiga tahun, pada tahun 1524 M. kerajaan tersebut dianeksasi oleh Raja
Aceh, Ali Mughayat Syah. Selanjutnya, Kerajaan Samudra Pasai ini berada di
bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.
Kerajaan Aceh Darussalam didirikan di atas puing- puing Kerajaan Lamuri
pada abad ke-15 M oleh Mudzaffar Syah (1467-1497 M). Sebuah sumber lain
menyebutkan, bahwa Kerajaan Aceh Darussalam merupakan penyatuan dari dua
kerajaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Dar al-Kamal dengan rajanya yang pertama
Ali Mughayat Syah. Sebagai akibat penaklukkan Malaka oleh Portugis pada tahun
1511 M, jalan dagang yang semula dari Laut Jawa ke utara melalui Selat Karimata
terus ke Malaka, pindah ke Selat Sunda dan menyusur pantai Barat Sumatera,
terus ke Aceh. Dengan demikian, Aceh menjadi ramai dikunjungi oleh para
saudagar dari berbagai negeri.
Selanjutnya Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah
Pidie yang bekerja sama dengan Portugis, kemudian ke Pasai 1524 M. Dengan
kemenangan terhadap dua kerajaan Aceh tersebut, Aceh dengan mudah melebarkan
kekuasaannya ke Sumatera Timur, dan untuk keperluan ini, ia mengirim
panglima-panglimanya, yang salah satunya adalah Gocak, pahlawan yang menurunkan
sultan-sultan Deli dan Serdang.
Adapun peletak dasar kebesaran Kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat
Syah yang bergelar al-Qahar. Dalam menghadapi bala tentara Portugis, ia
menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Usmani di Turki dan
negara-negara Islam yang lain di Indonesia. Dengan bantuan Turki Usmani
tersebut, Aceh dapat membentuk angkatan perangnya dengan baik. Pada waktu itu,
Aceh yang mengakui Kerajaan Turki Usmani sebagai pemegang kedaulatan dan
kekhalifahan dalam Islam.
Puncak kesuksesan Kerajaan Aceh
Darussalam terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1637 M). Pada masanya Aceh menguasai seluruh
pelabuhan di pesisir timur dan barat Sumatera. Dari Aceh, Tanah Gayo yang
berbatasan diislamkan, juga Minangkabau. Hanya orang-orang kafir Batak yang
berusaha menagkis kekuatan Islam yang datang, bahkan mereka melangkah begitu
jauh sampai minta bantuan Portugis. Sultan Iskandar tidak terlalu bergantung
kepada bantuan kepada Turki Usmani yang jaraknya amat jauh. Untuk mengalahkan
Portugis, Sultan kemudian berkerja sama dengan musuh Portugis, yaitu Belanda
dan Inggris.
Dalam perkembangan selanjutnya, Iskandar Muda diganti oleh Iskandar Tsani
yang lebih bersifat liberal, lembut dan adil. Pada masanya, Aceh terus
berkembang untuk masa beberapa tahun. Pengetahuan agama mengalami kemajuan
dengan pesat. Namun kematiannya diikuti oleh masa-masa bencana. Tatkala beberapa
sultan perempuan menduduki singgasana pada tahun 1641-1699 beberapa wilayah
taklukannya lepas, dan beberapa kesultanan menjadi terpecah belah. Setelah itu
pemulihan kesultanan tidak banyak pengaruhnya, sehingga menjelang abad ke-18 M,
kesultanan Aceh merupakan bayangan belaka dari masa silam dirinya, tanpa
kepemimpinan dan kacau balau.
2. Kerajaan Islam di Jawa
Kerajaan Islam di Jawa meliputi Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam
Pajang, Kerajaan Islam Mataram, Kerajaan Islam Cirebon, dan Kerajaan Islam
Banten. Beberapa Kerajaan Islam di Jawa ini dapat dikemukakan sebagai berikut.
a. Kerajaan Islam Demak
Kerajaan Islam Demak berdiri di penghujung
masa berakhirnya masa Kerajaan Majapahit. Para ahli sejarah pada umumnya
mengatakan, bahwa perkembangan Islam di Jawa bersamaan dengan waktunya dengan
masa melemahnya Kerajaan Majapahit. Keadaan ini memberi peluang kepada para
penguasa Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang
independen. Di bawah pimpinan Sunan Ampel Denta, Wali Songo bersepakat untuk
mengangkat Raden Fatah untuk menjadi raja pertama Kerajaan Demak, dan sekaligus
Kerajaan Islam pertama di Jawa, dengan gelar Senopati Jimbun Ngabdurrahman
Panembahan Palembang Sayidina Panatagama. Dalam menjalankan pemerintahannya ini
Raden Fatah dibantu oleh para ulama yang tergabung dalam Wali Songo, terutama
dalam hal yang berkaitan dengan urusan agama, dengan berpusat di Demak yang
sebelumnya bernama Bintoro yang merupakan daerah Majapahit yang diberikan
kepada Raden Fatah. Pemerintahan Raden Fatah ini berlangsung antara akhir abad
ke-15 dan awal abad ke-17. Dialah seorang raja Islam anak raja Majapahit dari
seorang ibu Muslim keturunan Campa. Selanjutnya ia digantikan oleh anaknya,
Sabrang Lor yang dikenal dengan nama Pati Unus yang naik tahta usia 17 tahun.
Setelah itu ia digantikan oleh Trenggono yang dilantik sebagai Sultan oleh
Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin dan memerintah pada tahu
1524-1546. Pada masa pemerintahannya inilah Islam berkembang pesat ke seluruh
tanah Jawa, bahkan sampai ke Kalimantan Selatan. Demikian pula penaklukan Sunda
Kelapa yang berakhir tahun 1527 dan dilakukan oleh pasukan gabungan Demak dan
Cirebon dibawah pimpinan Fadhilah Khan. Pada masa itu pula Majapahit dan Tuban
jatuh di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Selanjutnya pada tahun 1529, Demak
berhasil menundukkan Madiun, Blora (1530), Surabaya (1531), Pasuruan (1535),
Lamongan, Blitar, Wirasaba dan Kediri. Selain itu, Palembang dan Banjarmasin
juga mengakui kekuasaan Demak. Demikian pula daerah Jawa Tengah bagian selatan
sekitar Gunung Merapi, Pengging, dan Pajang berhasil dikuasai berkat penguasa
Islam, Syeh Siti Jenar dan Sultan Tembayat. Sultan Trenggono meninggal tahun
1946 karena terbunuh ketika melakukan penyerbuan ke Blambangan. Selanjutnya ia
digantikan oleh Prawoto, dan Prawoto juga meninggal karena dibunuh oleh Aria
Panangsang dari Jipang pada 1549. Kerajaan Demak berakhir ketika Aria
Panangsang dibunuh oleh Jaka Tingkir yang selanjutnya mendirikan Kerajaan
Pajang. Dengan demikia raja-raja Kerajaan Demak ada lima orang, yaitu: (1)
Raden Fatah, (2) Pati Unus (3) Trenggono (terbunuh) (4) Prawoto (terbunuh), (5)
Aria Panangsang (dibunuh Jaka Tingkir).
b. Kerajaan Islam Pajang
Kerajaan Pajang yang letaknya di daerah Kartasura adalah kerajaan Islam
pertama yang berada di daerah pedalaman Pulau Jawa. Sultan atau rajanya adalah
Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging di lereng Gunung Merapi. Jaka Tingkir
naik menjadi raja Kerajaan Pajang pada saat terjadi kekacauan di ibu kota.
Konon Jaka Tingkir yang menjadi yang telah menjadi penguasa Pajang itu dengan
segera mengambil alih kekuasaan, karena anak sulung Sultan Trenggono yang
pewaris tahta kesultanan, susuhunan Prawoto, dibunuh oleh kemenakannya, Aria
Panangsang yang waktu itu menjadi penguasa di Jipang (Bojonegoro sekarang).
Jaka Tingkir selaku raja pertama Kerajaan Pajang kemudian bergelar Sultan Adiwijaya, dan ia memerintahkan agar
semua benda pusaka Demak dipindahkan ke Pajang, dan memindahkan pusat kekuasaan
di pesisir (Demak) kepedalaman. Peralihan pusat kekuasaan ini membawa pengaruh
cukup besar dalam perkembangan peradaban Islam di Jawa. Selanjutnya Adiwijaya
memperluas kekuasaannya di tanah pedalaman ke arah timur sampai daerah Madiun,
yaitu dialiran anak Sungai Bengawan Solo yang terbesar. Setelah itu, secara
berturut-turut ia dapat menguasai Blora (1554), dan Kediri (1577), dan pada
1581 ia berhasil mendapatkan pengakuan sebagai Sultan Islam dari raja-raja
terpenting di Jawa Timur, sehingga hubungan di antara mereka berjalan baik dan
harmonis.
Pada masa pemerintahan Sultan Adiwijaya ini, kesusastraan dan kesenian
keraton yang sudah maju di Demak dan Jepara mulai masuk dan dikenal di
pedalaman Jawa. Demikian pula pengaruh agama Islam yang kuat di pesisir mulai
menjalar dan tersebar ke daerah pedalaman.
Setelah Adiwijaya meninggal, ia digantikan oleh menantunya, Aria Pangiri
yang merupakan anak susuhunan Prawoto. Ketikan Aria Pangiri menetap di keraton
Pajang, ia dikelilingi oleh pejabat yang dibawanya dari Demak. Dan dalam pada
itu, anak Sultan Adiwijaya yang bernama Pangeran Benawa diangkat menjadi
penguasa di Jipang.
Karena tidak puas dengan nasibnya di tengah-tengah lingkungan yang masih
asing baginya, maka Pangeran Benawa ini meminta bantuan kepada Senopati, penguasa
Mataram, untuk mengusir Raja Pajang yang
baru itu (Prawoto). Pada tahun 1588, usahanya berhasil. Sebagai rasa
terimakasih Pangeran Benawa menyerahkan hak atas warisan ayahnya kepada
Senopati. Namun Senopati masih ingin menetap di Mataram, dan ia hanya minta
pusaka-pusaka Pajang. Mataram kerajaan yang besar. Selanjutnya Pangeran Benawa
dikukuhkan sebagai Raja Pajang atas perlindungan Raja Mataram. Kerajaan Pajang
ini berakhir pada saat memberontak terhadap Mataram yang ketika itu berada di
bawah kekuasaan Sultan Agung. Pajang dihancurkan dan rajanya melarikan diri ke
Giri dan Surabaya. Dengan demikian orang yang pernah berkuasa sebagai Raja
Pajang adalah: (1) Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Adiwijaya, (2) Aria
Pangiri (anak susuhunan Prawoto), dan (3) Pangeran Benawa (anak Sultan
Adiwijaya).
c. Kerajaan Islam Mataram
Berdirinya Kerajaan Islam Mataram berawal dari usaha Sultan Adiwijaya dari
Pajang yang meminta bantuan Ki Gede Pamanahan yang berasal dari daerah
pedalaman untuk menghadapi dan menumpas pemberontakan Aria Penangsang. Sebagai
hadiah atasnya, Sultan kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki
Pamanahan yang selanjutnya menurunkan raja-raja Islam.
Seingin dengan tugas dan kedudukannya, maka pada tahun 1577 M Ki Gede
Pamanahan menempati istana barunya di Mataram. Digantikan oleh putranya, Senopati,
pada 1584 dan selanjutnya dikukuhkan oleh Sultan Pajang. Senopati inilah yang
dianggap sebagai Sultan Mataram pertama, setelah Pangeran Benawa menawarkan
kekuasaan atas Pajang kepada Senopati.
Selanjutnya, Senopati berkeinginan untuk menguasai semua raja yang berada
di bawah kekuasaan Pajang, namun ia tidak mendapatkan pengakuan dari para
penguasa Jawa Timur sebagai pengganti Raja Demak dan Pajang. Setelah melalui
perjuangan yang diwarnai dengan perang demi perang, barulah ia berhasil
menguasai sebagian dari padanya.
Senopati meninggal dunia pada tahun 1601 M, dan digantikan oleh putranya
Seda Ing Krapyak yang memeritah hingga 1613 M. Seda Ing Krapyak diganti oleh
putranya, Sultan Agung, yang melanjutkan usaha ayahnya. Pada 1619 seluruh Jawa
Timur praktis berada di bawah kekuasaannya. Dan di masa Sultan Agung inilah
kontak senjata antara Kerajaan Mataram dengan VOC mulai terjadi. Pada tahun
1630 M, Sultan Agung menetapkan Amangkurat I sebagai putra mahkota, dan setelah
Sultan Agung meninggal pada tahun 1646. Pada masa pemerintahan Amangkurat I ini
tidak pernah reda dari konflik, dan dalam setiap konflik yang tampil sebagai
lawan adalah mereka yang didukung oleh para ulama yang prihatin atas masalah
agama. Sehubungan dengan itu, tindakan pertama pemerintahan adalah menumpas
pendukung Pangeran Alit dengan membunuh banyak para ulama yang dicurigai. Ia
yakin, bahwa ulama dan santri adalah bahaya bagi tahtanya. Sekitar 5000-6000
ulama beserta keluarganya dibunuh. Lebih dari itu, Amangkurat I merasa tidak
memerlukan lagi titel “Sultan”. Pada tahun 1677 dan 1678 M pemberontakan
pemberotakan para ulama muncul lagi dengan tokoh spiritual Raden Kejoran.
Pemberontakan yang seperti itulah yang mengakibatkan runtuhnya Keraton Mataram.
d. Kerajaan Islam Cirebon
Kerajaan Islam Cirebon yang mengambil bentuk
kesultanan, dan didirikan oleh Sunan Gunung Jati, adalah kerajaan Islam pertama
di Jawa Barat. Daerah ini pada mulanya berada di daerah kekuasaan Pakuan
Pajajaran yang menempatkan seorang juru labuhan yang bernama Wilangsungsang,
yaitu seorang tokoh yang memiliki hubungan darah dengan Raja Pajajaran. Pada
saat mengembangkan kota Cirebon, ia sudah menganut agama Islam. Namun yang
meningkatkan status Cirebon sebagai kerajaan adalah Syarif Hidayat yang
selanjutnya dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati yang merupakan pengganti dan
keponakan Pangeran Wilangsungsang. Syarif Hidayat inilah sebagai pendiri
dinasti raja-raja Cirebon dan juga Banten.
Sebagai keponakan dari Pangeran
Wilangsungsang, Sunan Gunung Jati memiliki hubungan darah dengan Raja
Pajajaran, yaitu Prabu Siliwangi, Raja Sunda yang berkedudukan di Pakuan
Pajajaran, yang menikah dengan Nyai Subang Larang pada tahun 1422. Dari
pernikahannya inilah lahir tiga orang putra, yaitu Raden Wilangsungsang, Nyai
Lara Santang, dan Raja Sengara. Sunan Gunung Jati adalah putra Nyai Lara
Santang dari perkawinannya dengan Maulana Sultan Mahmud alias Syarif Abdullah
dari Bani Hasyim, ketika Nyai itu naik haji.
Sunan Gunung Jati yang merupakan anak dari
Nyai Lara Santang, lahir pada tahun 1448 M dan wafat pada 1568 dalam usia 120
tahun. Karena kedudukannya sebagai seorang Wali Songo, ia mendapatkan
kehormatan dari raja-raja lain di Jawa, seperti Demak dan Pajang. Setelah
Cirebon resmiberdiri sebagai sebuah kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan
Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha meruntuhkan Kerajaan Pajajaran yang masih
belum menganut Islam.
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan
Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali
(Galuh), Sunda Kelapa dan Banten. Dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan
kaum Muslimin di Banten di bangun oleh Sunan Gunung Jati tahun 1524 atau 1525
M. Dan ketika ia kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya yang
bernama Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin inilah yang selanjutnya menurunkan
raja-raja Banten. Di tangan raja-raja Banten tersebut, akhirnya kerajaan
Pajajaran dikalahkan. Dan atas prakarsa Sunan Gunung Jati ini pula penyerangan
kepada Sunda Kelapa pada tahun 1527 dilakukan. Penyerangan ini dipimpin oleh
Falatehan dengan bantuan tentara Demak.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, ia diganti
oleh cicitnya yang bergelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Setelah
Panembahan Ratu ini meninggal ia
digantikan oleh puteranya yang bergelar Panembahan Girilaya.
Keberlangsungan Cirebon sebagai sebuah
kerajaan berakhir sampai dengan Pangeran Girilaya itu. Sepeninggalan Pangeran
Girilaya, sesuai dengan kehendaknya sendiri, Cirebon diperintah oleh dua
putranya, yaitu Martawijaya atau Panembahan Sepuh dan Kartawijaya atau
Panembahan Anom. Panembahan Sepuh memimpin kesultanan Kasepuhan sebagai rajanya
yang pertama dengan gelar Samsudin, sementara Panembahan Anom memimpin
kesultanan Kanoman dengan gelar Badruddin.
e. Kerajaan Islam Banten
Sebelum zaman Islam, yakni ketika masih berada dibawah kekuasaan raja-raja
Sunda (dari Pajajaran, atau mungkin sebelumnya), Banten sudah menjadi kota yang
berarti. Berdirinya kerajaan Islam Banten ini bermula dari upaya Sunan Gunung
Jati dari Cirebon pada tahun 1524 atau 1525 yang meletakan dasar bagi
pengembangan agama dan kerajaan Islam serta bagi perdagangan orang-orang Islam
disana. Menurut sumber tradisional, bahwa penguasa Pajajaran di Banten menerima
Sunan Gunung Jati dengan ramah tamah dan tertarik masuk Islam. Ia meratakan
jalan bagi kegiatan pengislaman disana. Atas dasar dukungan ini, maka dengan
segera ia menjadi orang yang berkuasa atas kota itu dengan bantuan tentara Jawa
yang memang dimintanya.
Untuk menyebarkan Islam di Jawa, langkah Sunan Gunung Jati selanjutnya
adalah menguasai Pelabuhan Sunda yang sudah tua kira-kira tahun 1527. Selain
itu ia memperluas kekuasaannya terhadap kota-kota pelabuhan Jawa Barat yang
sebelumnya termasuk wilayah kekuasaan Pajajaran.
Setelah Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon, ia menyerahkan kekuasaannya
atas Banten kepada putranya yang bernama Hasanuddin. Setelah Hasanuddin menikah
dengan putri Demak maka ia dinobatkan menjadi Panembahan Banten pada 1552. Ia
meneruskan usaha-usaha ayahnya dalam meluaskan daerah Islam, yaitu ke Lampung
dan sekitarnya di Sumatra Selatan.
Selanjutnya pada saat kekuasaan Demak beralih ke Pajang pada tahun 1568,
maka Hasanuddin memerdekakan Banten sebagai sebuah kerajaan yang berdiri
sendiri, dan tidak lagi menjadi bagian dari kerajaan Demak atau lainnya. Atas
dasar ini, maka dalam tradisi Hasanuddin dianggap sebagai raja Islam pertama di
Banten. Setelah Hasanuddin meninggal pada 1570, kekuasaan atas Banten
diserahkan kepada anaknya yang bernama Yusuf. Setelah sembilan tahun Yusuf
memegang kekuasaan, tahun1579, Yusuf menaklukan Pakuan yang belum Islam pada
waktu itu dan masih menguasai sebagaian besar daerah pedalaman Jawa Barat.
Sesudah ibu kota kerajaan itu jatuh dan raja beserta keluarganya menghilang,
golongan bangsawan Sunda masuk Islam. Mereka diperbolehkan tetap menyandang
pangkat dan gelarnya.
Setelah Yusuf wafat pada tahun 1580 M, ia digantikan oleh putranya Muhammad
yang masih muda belia. Dan, selama Sultan Muhammad masih dibawah umur,
kekuasaan pemerintahan dipegang oleh Kali (Qadli, Jaksa Agung) yang dibantu
empat pembesar lainnya. Raja Banten yang dikenal saleh itu melanjutkan
penyiaran Islam dan perluasan wilayahnya terhadap raja Palembang, dan dalam
usia 25 tahun ia gugur pada tahun 1596, dengan meninggalkan seorang anak yang
berusia lima bulan, yang bernama Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdulkadir.
Sebelum memegang pemerintahan secara langsung, Sultan berturut-turut berada
dibawah empat orang wali laki-laki dan seorang wali wanita. Ia baru aktif
memegang kekuasaan tahun 1626 M, dan pada tahun 1638 ia mendapat gelar Sultan
dari Mekkah. Dialah raja Banten pertama yang mendapat gelar Sultan yang sebenarnya.
Ia meninggal tahun 1651 dan digantikan oleh cucunya yang bernama Sultan Abul
Fath Abdulfath.
Pada masa Sultan Abul Fath Abdulfath ini terjadi beberapa kali peperangan
antara Banten dan VOC yang berakhir dengan disetujuinya perjanjian perdamaian
pada tahun 1659 M.
3. Kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan
Mengingat daerah Kalimantan amat luas, maka ia menerima Islam dari berbagai
daerah lain. Daerah barat laut Kalimantan menerima Islam dari Malaya, sedangkan
daerah timur dari Makassar, dan wilayah selatan dari Jawa. Beberapa kerajaan
Islam yang pernah ada di Kalimantan dapat dikemukakan sebagai berikut.
a. Kerajaan Islam Banjar di Kalimantan Selatan
Berbagai tulisan dan kajian yang membicarakan masuknya Islam di Kalimantan
Selatan selalu mengidentikkan dengan berdirinya Kerajaan Banjarmasin. Kerajaan
Banjar merupakan kelanjutan dari Kerajaan Daha yang beragama Hindu. Berdirinya
kerajaan Islam Banjar ini ada hubungannya dengan pertentangan dalam keluarga
Istana, antara Pangeran Samudera sebagai pewaris sah Kerajaan Daha dan pamannya
Pangeran Tumenggung. Dalam hikayat Banjar diceritakan bahwa ketika Raja
Sukarama merasa sudah hampir tiba ajalnya, ia berwasiat agar yang
menggantikannya nanti adalah cucunya Pangeran Samudera. Wasiat ini tentu saja
tidak diterima oleh keempat orang putranya, lebih-lebih Pangeran Tumenggung
yang sangat ambisi. Setelah Sukarama wafat, jabatan raja dipegang oleh anak
tertua, Pangeran Mangkubumi. Pada waktu itu, Pangeran Samudera baru berumur
tujuh tahun. Pangeran Mangkubumi tidak terlalu lama berkuasa. Ia terbunuh oleh
seorang pegawai istana yang berhasil dihasut oleh Pangeran Tumenggung. Dengan
meninggalnya Pangeran Mangkubumi, maka Pangeran Tumenggunglah yang tambil
menjadi Raja Daha.
Dalam keadaan istana yang demikian itu, Pangeran Samudera berkelana ke
wilayah muara. Ia kemudian diasuh oleh Patih Masih. Atas bantuannya, Pangeran
Samudera dapat menghimpun kekuatan perlawanan. Dalam serangan pertamanya
Pangeran Samudera berhasi menguasai Muara Bahan, sebuah pelabuhan strategis yang
sering di kunjungi para pedagang luar, seperti dari pesisir utara Jawa,
Gujarat, dan Malaka.
Peperangan terus berlangsung dengan sengit. Dalam keadaan demikian, Patih
Masih mengusulkan kepada Pangeran Samudera untuk meminta bantuan kepada
Kerajaan Demak. Sultan Demak bersedia memberikan bantuan dengan syarat,
Pangeran Samudera mau masuk Islam. Setelah Pangeran Samudera menyetujui
persyaratan tersebut, maka Sultan Demak kemudian mengirim bantuan 1000 orang
tentara beserta seorang penghulu bernama Khatib Dayan untuk mengislamkan orang
Banjar. Dalam peperangan tersebut, Pangeran Samudera memperoleh kemenangan, dan
sesuai dengan janjinya, ia beserta seluruh kerabat keraton dan penduduk Banjar
menyatakan diri masuk Islam. Dan, setelah Pangeran Samudera masuk Islam, maka
namanya diganti menjadi Sultan Suryanullah atau Suryansyah, yang dikukuhkan
sebagai raja pertama kerajaan Islam Banjar. Peristiwa yang terjadi pada tahun
1526 ini berlangsung saat Kerajaan Demak dipegang oleh Trenggono. Ketika
Suryanullah naik tahta, beberapa daerah sekitarnya sudah mengakui kekuasaannya,
yakni Sambas, Batanglawai, Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Medawi, dan
Sambangan.
Selanjutnya Sultan Suryanullah diganti oleh
putra tertuanya yang bergelar Sultan Rahmatullah. Raja-raja Banjar berikutnya
adalah Sultan Hidayatullah (putra Sultan Rahmatullah) dan Marhum Panambahan
yang dikenal dengan nama Sultan Musta’inullah. Pada masa Marhum Panambahan, ibu
kota kerajaan dipindahkan beberapa kali. Pertama pindah ke Amuntai, kemudian ke
Tambangan, dan Batang Banju, dan akhirnya kembali ke Amuntai. Perpindahan ibu
kota kerajaan itu terjadi akibat datangnya pihak Belanda ke Banjar dan
menimbulkan huru hara.
b. Kerajaan Islam Kutai di Kalimantan Timur
Berdirinya Kerajaan Islam Kutai bermula dari adanya dua orang penyebar
Islam yang tiba di Kutai pada masa pemerintahan Raja Mahkota. Salah seorang
diantara penyebar Islam itu adalah Tuang di Bandang yang selanjutnya dikenal
dengan nama Dato’ Ri Bandang dari Makassar, sedangkan yang satunya lagi adalah
Tuan Tunggang Parangan. Setelah pengislaman itu, Daro’ Ri Bandang kembali ke
Makassar, sementara Tuan Tunggang Parangan tetap di Kutai. Melalui yang
terakhir inilah Raja Mahkota masuk Islam. Seiring dengan itu, segeralah
dibangun Masjid dan kegiatan pengajaran agama. Orang yang pertama mengikuti
pengajaran itu adalah Raja Mahkota sendiri, kemudian Pangeran, para meteri,
panglima dan hulubalang, kemudian rakyat pada umumnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, yakni setelah Islam dirasakan manfaatnya,
maka Raja Mahkota berusaha keras menyebarkan Islam. Proses pengislaman di Kutai
dan daerah sekitarnya ini diperkirakan terjadi pada tahun 1575. Penyebaran
lebih jauh kedaerah-daerah pedalaman dilakukan terutama pada waktu putranya,
Aji di Langgar dan penggantinya, melanjutkan perang ke daerah Muara Kaman.
4. Kerajaan Islam di Maluku dan Ambon
Islam memasuki Maluku pada pertengahan akhir abad ke 15. Sekitar tahun 1460
Raja Ternate memeluk agama Islam. Nama raja itu adalah Vongi Tidore. Ia
mengambil seornag istri keturunan ningrat dari Jawa. Sementara, H.J. de Graaf
berpendapat, bahwa raja Muslim yang pertama adalah Zayn al-Abidin (1486-1500
M). Pada masa itu, gelombang perdagangan Muslim terus meningkat, sehingga raja
menyerah kepada tekanan pedagang Muslim itu dan memutuskan untuk memperlajari
tentang Islam pada madrasah Giri. Di Giri ia dikenal dengan nama Raja Bulawa
atau Raja Cengkeh, karena diduga ia membawa cengkeh ke daerah tersebut sebagai
hadiah. Setelah ia kembali dari Jawa, ia mengajak Tuhu Bahahul kedaerahnya, dan
yang terakhir inilah kemudian dikenal sebagai penyebar utama Islam di Kepulauan
Maluku.
Mengingat masa pengislaman di daerah Maluku itu baru saja terjadi, dan
belum benar-benar tertanam kuat di hati masyarakat, maka pada 1522 M Potugis
memasuki daerah tersebut dan berusaha menggeser pengaruh Islam seraya
menggantinya dengan agama Kristen. Namun usaha Portugis ini tidak berhasil
sebagai mana yang diharapkan. Usaha mereka hanya mendatangkan hasil yang
sedikit.
Adapun yang berkaitan dengan Ambon, satu-satunya sejarahwan Ambon yang
bernama Rijali, menceritakan bahwa Perdana Jamilu dari Hitu (salah satu
Semenanjung Ambon) menemani penguasa Ternate, Zayn al-Abidin dalam
perjalanannya ke Giri. Menurut de Graaf, pernyataan ini hanya menunjukkan bahwa
hubungan antara Hitu dna Ternate memang sangat dekat. Menurut de Graaf, bahwa
tersebarnya Islam di Hitu lebih disebabkan karena datangnya seorang kadi,
Ibrahim, yang menjadi kadi di Ambon dan memberikan kepada seluruh Guru Agama
Islam di Pulau ini. Seiring dengan itu, Ambon mendirikan masjid yang bergonjong
tujuh sebagai peringatan kepada Giri, yaitu bangunan yang didirikan dalam
bentuk yang sama dengan yang ada di Giri. Riwayat daerah setempat juga
menguatkan pendapat ini, yakni bahwa sumber Islam di Ambon adalah Jawa disamping
Pasai dan Mekkah yang terkadang juga disebuut-sebut. Dalam riwayat ini
disebutkan, bahwa pendiri sebuah kampung di Kailolo adalah Usman yang
mendapatkan ajaran Islam dari seorang guru agama dari Jawa, yang mengadakan
perjalanan dari Mekkah ke Gresik. Komunikasi antara Maluku dan Giri memang
masih ebrtahan sampai abad ke 17. Bahkan Demak dan Jepara merupakan
sekutu-sekutu Hitu dalam peperangan melawan Portugis yang menempatkan diri di
Leitimur, Semenanjung Ambon yang penduduknya masih menyembah berhala. Di daerah
inilah Portugis berhasil memperkenalkan Kristen kepada penganut agama berhala
itu.
5. Kerajaan Islam di Sulawesi
Kerajaan Islam di Sulawesi meliputi kerajaan Islam di Gowa-Tallo, Bone,
Wajo, Sopeng, dan Luwu.
Kerajaan Gowa-Tallo, adalah kerajaan kembar yang saling berbatasan, yang
biasanya disebut kerjaan Makassar. Kerajaan ini terletak di Semanjung barat
daya Pulau Sulawesi yang merupakan daerah transit yang sangat stategis.
Ketika Gowa-Tallo berperan sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini
memilliki hubungan yang erat dengan Ternate yang telah lebih dahulu masuk Islam
melalui Gresik atau Giri. Dibawah kepemimpinan Babullah, Ternate mengadakan
perjanjian persahabatan dengan Gowa-Tallo. Pada masa itulah Raja Ternate
berusaha mengajak penguasa Gowa-Tallo untuk menganut agama Islam, namun tidak
berhasil. Pengislaman baru terjadi pada saat Dato’ Ri Bandang datang ke
kerajaan Gowa-Tallo, agama Islam mulai masuk ke kerajaan ini, dengan Alauddin
(1591-163) sebagai Sultan pertama yang menganut agama Islam, pada tahun 1605.
Setelah itu penyebaran Islam berlangsung sesuai dengan tradisi yang telah
lama diterima para raja keturunan To Manurung. Di dalam tradisi ini ada
ketentuan yang mengharuskan agar seorang raja memberitahukan hal-hal yang baik
kepada orang lalin. Oleh karena itu, kerajaan Gowa-Tallo menyampaikan pesan
Islam kepada kerajaan lain seperti Luwu yang lebih tua, Wajo Sopeng dan Bone.
Raja Luwu segera menerima pesan Islam itu. Sementara tiga kerajaan lainnya,
yakni Wajo, Sopeng, dan Bone yang terikan dengan aliansi Tallumpeco (tiga
kerajaan) dalam perebutan hegemoni dengan Gowa-Tallo, menerima Islam setelah
melalui peperangan. Wajo menerima Islam pada 10 Mei 1610. Adapun Bone sebagai
sainagn Gowa sejak pertengahan abad ke-16, menerima Islam pada 23 November
1611. Raja Bone pertama yang masuk Islam dikenal dengan gelar Sultan Adam.
Namun, walaupun sudah masuk Islam, pertikaian dan pertempuran antara dua
kerajaan yang bersaing itu pada masa selanjutnya masih kerap terjadi dan bahkan
melibatkan Belanda untuk mengambil keuntungan politik dari keadaan tersebut.
Dari uraian tentang berdiri, tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan
Islam sebagaimana tersebut diatas, terdapat sejumlah pelajaran berharga yang
patut direnungkan sebagai berikut.
Pertama, pelajaran yang baik tentang adanya hubungan
yang akrab antar kerajaan Islam ini didasarkan kepada kepentingan untuk
memajukan agama Islam. Hubungan tersebut antara lain terlihat dalam bentuk
kegiatan dakwah Islamiyah. Untuk kepentingan dakwah Islamiyah ini terlihat
jelas antara satu kerajaan Islam dengan kerajaan Islam lainnya sangat akrab dan
saling bantu membantu sebagai contoh dalam hal ini dapat dilihat dari hubungan
Giri dengan daerah-daerah Islam di Indonesia Timur, terutama Maluku. Dan dalam
konteks hubungan dakwah Islamiyah ini pula Fadhilah Khan dari Pasai datang ke
Demak.
Kedua, pelajaran yang baik tentang adanya hubungan
yang akrab antara satu kerajaan Islam dengan kerajaan Islam lainya dalam
menghadapi pihak-pihak lain yang secara politik dan ekonomi dapat merugikan
kerajaan. Dalam bidang politik terkadang agama digunakan untuk memperkuat diri
dalam menghadapi pihak-pihak lain atau kerajaan lain yang bukan Islam, terutama
yang mengancam kehidupan politik dan ekonomi. Persekutuan antara Demak dan
Cirebon dalam menaklukan Banten dan Sunda Kelapa misalnya dapat dijadikan
contoh tentang kuatnya pengaruh kesamaan agama dalam rangka kepentingan politik
dan ekonomi. contoh lainnya dalam hal ini adalah persekutuan dan hubungan yang
akrab antara Kerajaan Islam dalam mengadapi Portugis dan Kompeni Belanda yang
berusaha memonopoli pelayaran dan perdagangan.
Ketiga, pelajaran yang kurang baik tentang adanya
hubungan yang tidak harmonis, bahwa konfik antara kerajaan Islam yang satu
dengan kerajaan Islam lainnya yang disebabkan adanya ancaman dalam bidang
politik dan ekonomi. Dengan kata lain, kalau kepentingan politik dan ekonomi
antar kerajaan Islam itu sendiri terancam, maka persamaan agama tidak menjamin
terjadinya persatuan atau tidak menajmin tidak adanya permusuhan. Peperangan
antar kerajaan Islam sering terjadi yang disebabkan karena kepentingan politik
dan ekonomi. peperangan antara Pajang dan Demak, Ternate dan Tidore, Gowa-Tallo
dan Bone yang sama-sama kerajaan Islam terjadi karena perbedaan kepentingan
politik dan ekonomi kerajaan Islam tersebut. Selain itu, adanya perbedaan
kepentingan politik dan ekonomi itu, sering pula menjadi sebab adanya satu
kerajaan Islam yang merasa kurang percaya diri dalam menghadapi permusuhan
dengan kerajaan Islam lainnya, meminta bantuan kepada pihak lain yang sekalipun
tidak seagama bahkan dengan orang kafir yang menjadi musuh bersama, seperti
meminta bantuan kepada Kompeni Belanda. Dan ini pula yang menjadi sebab Kompeni
Belanda dapat masuk dan menguasai kerajaan Islam tertentu yang selanjutnya
menguasai dan menjajah Indonesia secara keseluruhan.
Keempat, pengajaran yang baik tentang adanya hubungan
yang akrab antara kerajaan Islam yang satu dengan kerajaan Islam lainnya yang
ditujukan untuk memajukan bidang kebudayaan dan keagamaan. Kerajaan Islam
Samudra Pasai dan kemudian menjadi Kerajaan Islam Darussalam yang dikenal
dengan serambi Mekkah pernah menjadi pusat pendidikan dan pengajaran Islam.
Melalui Aceh inilah kerajaan Islam tersebar ke seluruh pelosok Nusantara melaui
karya-karya ulama dan murid-muridnya yang menuntut ilmu disana. Demikian pula
halnya dengan Giri di Jawa Timur terhadap daerah bagian Timur. Karya-karya
sastra dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam.
Dengan latar belakang yang demikian itu, maka tema dan isi karya-karya antara
satu kerjaan dengan kerajaan lain terjadi kesamaan atau kemiripan. Dengan
demikian, kerajaan-kerajaan Islam tersebut telah mempelopori terjadinya
idiom-idiom kultural yang sama, yaitu Islam. Hal ini menjadi pendorong
terjadinya interaksi budaya yang makin erat.
Kelima, pelajaran yang baik tentang kemampuan Islam
dalam beradaptasi dengan lingkungan sosial dengan cara yang amat bijaksana,
adil, akomodatif, bahkan partisipatif. Adanaya perbedaan budaya, tradisi adat
istiadat dan lain yang terdapat pada suatu daerah telah direspon oleh Islam
dengan cara yang bijaksana. Islam dalam hal ini tak ubahnya seperti benih yang
pertumbuhan dan perkembangannya akan berbeda ketika ditanam ditanah yang
berbeda pula. Islam yang berkembang di Kerajaan Samudra Pasai dan Aceh
Darussalam, dengan Islam yang berkembang di Kerajaan Demak, Pajang dan Mataram
di Jawa, dan Islam yang berkembang di Kerajaan Islam di Maluku, Ternate dan
Sulawesi disamping memiliki persamaan dari segi fisik, misi dan tujuanya, namun
berbeda dalam hal pendekatan dan realitas format budayanya. Dalam kaitan ini,
maka Islam yang berkembang pada kerajaan tersebut dapat diidentifikasi melalui
tiga pola sebagai berikut.
1. Pola integrated centralistic. Pola ini diperlihatkan oleh kerajaan
Islam Samudra Pasai dan Aceh Darussalam. Lahirnya kerajaan Samudra Pasai
berlangsung melalui perubahan dari negara yang segmenter ke negara yang
terpusat sejak awak perkembangannya, Samudra Pasai menunjukkan banyak pertanda
dari pembentukan suatu negara baru. Kerajaan ini tidak saja berhadapan dengan
golongan yang belum di tundukkan dan di Islamkan dari wilayah pedalaman,
melainkan harus menyelesaikan pertentangan politik serta pertentangan keluarga
yang berkepanjangan. Dalam proses perkembangannya menjadi negara terpusat,
Samudra Pasai juga menjadi pusat pengajaran agama. Reputasinya sebagai pusat
agama terus berlanjut walaupun kemudian kedudukan ekonomi dan politiknya
menyusut. Dengan pola tersebut, Samudra Pasai memiliki kebebasan budaya untuk
memformulasikan struktur dan sistem kekuasaan yang mencerminkan jati dirinya
yang spesifik. Pola yang sama juga dapat dilihat dari proses pembentukan
kerajaan Aceh Darussalam. Di kerajaan Islam Aceh Darussalam, Sultan Iskandar
Muda disamping membangun masjid Baitur Rahman dan beberapa masjid di daerah lain
juga memerintahkan rakyat sembahyang lima waktu, puasa Ramadhan, dan puasa
sunnah serta menjauhkan diri dari minum arak dan bermain judi. Aceh di zaman
Sultan Iskandar Muda mengonsolidasikan dirinya sebagai Serambi Mekkah. Pada
masa itu pula dirumuskannya hukum dan adat yang diibaratkan seperti kuku dan
daging. Ulama dalam sejarah Aceh menjadi perumus realitas dan pengesah
kekuasaan.
2. Pola negara supradesa serta dilema kultural dari orang baru di dalam
bangunan politik yang lama. Pola ini selanjutnya dapat disebut pola kultural
involutif dan integralistik. Pola ini dijumpai pada kerajaan-kerajaan Islam di
Jawa yakni Demak, Pajang, dan Mataram. Di Jawa Islam menjumpai suatu sistem
politik dan sturktur kekuasaan yang sudah lama mapan yang berpusat di Keraton Majapahit.
Sejarah mencatat adanya komunitas pedagang muslim yang mendapat tempat
pusat-pusat politik pada abad ke-11. Komunitas itu makin membesar pada abad
ke-14. Selanjutnya ketika kekuasaan Majapahit melemah, para saudagar kaya di
berbagai Kadipaten di wilayah pesisir mendapat peluang untuk menjauhkan diri
dari kekuasaan raja. Mereka kemudian tidak hanya masuk Islam tetapi juga
membangun pusat-pusat politik yang independen. Setelah keraton pusat menjadi
goyah, keraton-keratin kecil mulai bersaing untuk menggantikan kedudukannya.
Demak akhirnya berhasil menggantikan Majapahit. Dengan posisi baru ini, Demak
tidak hanya menjadi pemegang hegemoni politik, tetapi juga menjadi “jembatan
penyebrangan” Islam yang paling penting di Jawa. Walaupun mencapai keberhasilan
politik dengan cepat, Demak tidak saja harus menghadapi masalah legitimasi
politik, tetapi juga panggilan kultural untuk kontinuitas.
3. Pola konversi keraton atau pusat kekuasaan. Dalam pola ini proses
Islamisasi berlangsung dalam suatu struktur negara yang telah memiliki basis
legitimasi geneologis. Dalam sejarah Islam di Asia Tengga, pola ini di dahului
oleh berdirinya Kerajaan Islam Malak. Konversi agama menunjukkan kemampuan
raja. Penguasa terhindar dari penghinaan rakyatnya dalam masalah kenegaraan. Pola
Islamisasi melalui konversi keraton atau pusat kekuasaan seperti itu, terjadi
juga di Sulawesi Selatan, Maluku, dan Banjarmasin. Tidak seperti yang terjadi
di Samudra Pasai, Islamisasi di Gowa-Tallo, Ternate dan Banjarmasin yang memiliki
pola yang sama tidak memiliki landasan untuk pembentukkan negara. Islam tidak
mengubah desa menjadi suatu bentuk baru dari organisasi kekuasaan, seperti yang
terjadi di Samudra Pasai. Pada pola yang ketiga yang terjadi di Sulawesi
Selatan ini, konversi agama dijalankan, tetapi pusat kekuasaan telah ada lebih
dahulu.
0 komentar:
Posting Komentar