Peran Kerajaan Islam Dalam Proses Islamisasi ~ Sejarah Islam

Peran Kerajaan Islam Dalam Proses Islamisasi



Masing-masing kerajaan Islam tersebut disamping memiliki keunggulan, juga memiliki kesamaan dalam menggunakan pendidikan dalam arti yang luas untuk kepentingan menyiarkan ajaran Islam. Masuknya Islam ke daerah di Indonesia tidak dalam waktu yang bersamaan. Di samping itu, kedaan politik dan sosial budaya daerah-daerah ketika didatangi Islam juga berlainan. Berdasarkan pada keadaan ini, maka sejarah mencatat tentang adanya berbagai saluran yang digunakan dalam menyebarkan ajaran Islam sebagai berikut.
Pertama, melalui jalur perdagangan. Meningkatnya aktivitas dalam bidang perdaganagan pada abad ke-7 hingga 16 M, membuat pedagang Muslim yang berasal dari Arab, Persia, dan India turut ambil bagian. Mereka melakukan perdagangan pada negeri-negeri bagian barat, tenggara, dan timur Benua Asia. Saluran islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahwa mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Dalam kegiatan ini, para pedagang Muslim banyak yang bermukim di pesisir Pulau Jawa yang penduduknya ketika itu masih kafir. Mereka berhasil mendirikan masjid-masjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar, sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan karenanya anak-anak Muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya raya. Di beberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa yang menjabat sebagai bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan hanya karena faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi terutama karena faktor hubungan ekonomi dengan pedagang Muslim. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di tempat tinggalnya.
Kedua, melalui jalur pernikahan. Karena secara ekonomi para pedagang Muslim memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, maka banyak penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar tersebut. Sebelum menikah, wanita-wanita tersebut diislamkan terlebih dahulu. Dan setelah mereka memperoleh keturunan, lingkungan merekan makin luas. Dengan demikian timbullah perkampungan, daerah, dan kerajaan Muslim. Dalam perkembangan selanjutnya terdapat pula wanita Muslim yang dinikahi pria keturunan bangsawan, tentu saja setelah si wanita itu lebih dahulu masuk Islam. Islamisasi melalui jalur pernikahan ini dianggap menguntungkan, terutama apabila terjadi antara saudagar Muslim dan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati. Melalui dukungan raja, adipati atau bangsawan itu semua, proses islmisasi semakin berjalan dengan lancar dan efektif. Kedaan ini dapat dicontohkan dengan adanya perkawinan antara Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dan puteri Kawunganten, serta Brawijaya dan puteri Campa yang menurunkan Raden Patah (raja pertama Demak), dan lain-lain.[1]
Ketiga, melalui saluran tasawuf. Di antara para penyiar Islam dari luar yang datang ke Indonesia ada yang mengajarkan teosofi yang sudah bercampur denga ajaran lokal yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Para guru teosofi itu memiliki kemahiran dalam hal-hal yang berkaitan dengan magis dan memiliki kekuatan yang berhubungan dengan penyembuhan berbagai macam penyakit. Para guru tasawuf tersebut ada yang menikahi putra-putri bangsawan setempat. Di antara mereka ada yang mempunyai persamaan dengan alam pikiran para penganut agama sebelumnya, yaitu Hindu. Dengan cara demikian, agama Islam yang dibawa para ahli tasawuf itu mudah diterima masyarakat. Diantara para ahli-ahli tasawuf yang memberikan pelajaran teosofi yang demikian itu adalah Hamzah Fansuri di Kerajaan Islam Darussalam Aceh, Syekh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa.
Keempat, melalui saluran pendidikan. Islamisasi yang dilakukan melalui pendidikan ini adalah yang paling efektif, terprogram, dan berlanjut sampai sekarang. Pesantren maupun pondok yang didirikan dan diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, serta ulama-ulama merupakan salah satu saluran bagi terjadinya proses islamisasi. Di pesantren atau pondok itulah calon ulama, guru agama, dan kiai mendapatkan pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing atau berdakwah ke tempat tertentu untuk mengajarkan agama Islam. Di Ampel Denta Surabaya misalnya terdapat pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel), dan di Giri juga terdapat pesantren yang didirikan oleh Sunan Giri. Para alumni pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam. Selanjutnya di Aceh, proses islamisasi menggunaka meunasah (berasal dari kata Madrasah), dayah (berasal dari kata Zawiah), dan rangkang. Demikian pula di Sumatera Barat dijumpai adanya surau yang digunakan sebagai tempat menyalurkan ajaran Islam.
Kelima, melalui saluran kesenian. Di antara saluran kesenian yang banyak digunakan untuk proses islamisasi ini adalah wayang. Sejarah misalnya mencatat, bahwa Sunan Kalijaga termasuk tokoh yang mahir melakukan pertunjukkan wayang. Dalam setiap pertunjukannya itu ia tidak pernah meminta upah berupa materi, melainkan meminta para penontonnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai pertanda awal proses masuknya Islam. Selain itu, sebagian besar cerita wayang yang masih dipetik dari kisah Mahabarata dan Ramayana telah disisipkan ajaran Islam dan nama pahlawan Islam. Kesenian lain yang digunakan bagi proses islamisasi ini adalah sastra berupa hikayat dan babad, serta seni bangunan dan seni ukir.
Keenam, melalui saluran politik. Proses islamisasi melalui politik terjadi setelah raja-raja yang ada di daerah itu terlebih dahulu memeluk Islam. Kemudian, dengan Islamnya raja dan kebijakan yang dikeluarkannya tentang agama yang dianutnya ini menjadi daya tarik bagi para pengikutnya untuk memeluk Islam. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di sampin itu, baik di Sumatera dan Jawa, maupun di Indonesia bagian timur, terdapat kerajaan Islam yang memerangi raja-raja non-Muslim, demi kepentingan politik dakwah Islamiah. Kemenangan kerajaan Islam secara politik banyak menarik penduduk kerajaan non-Islam itu masuk Islam.
Adanya berbagai saluran proses islamisasi sebagaimana tersebut di atas memperlihatkan dengan jelas, bahwa penyebaran dan pengembangan ajaran Islam membutuhkan semua lapisan masyarakat dan semua bidang keahlian. Selain membutuhkan para ahli dakwah dan pendidikan, proses islamisasi juga membutuhkan dukungan para ekonom, pedagang, budayawan, seniman, politikus, pejabat pemerintah, dan masyarakat pada umumnya. Selain itu, kenyataan tersebut juga menunjukkan, bahwa Islam adalah sebuah agama yang dapat beradaptasi dan berinteraksi merupakan seluruh aspek kehidupan dalam masyarakat. Dengan dasar ini, maka kerja sama yang erat antara berbagai komponen dan keahlian dalam masyarakat dalam rangka memajukan Islam merupakan hal yang perlu dilakukan.

C.    Kondisi Pendidikan pada Kerajaan Islam
1.    Pendidikan Islam pada Kerajaan Samudra Pasai dan Aceh Darussalam
Menurut Mahmud Yunus, bahwa pada setiap kerajaan Islam tersebut terdapat masa-masa kemajuan pendidikan Islam. Pada zaman Kerajaan Islam Samudra Pasai dan Kerajaan Islam Aceh Darussalam sebagaimana telah disebutkan di atas, terdapat kemajuan dalam bidang pendidikan Islam. Sejak mulai masuk Islam ke tanah Aceh (tahun 1290 M), pendidikan dan pengajaran Islam mulai lahir dan tumbuh dengan amat suburnya, terutama setelah berdirinya kerajaan Islam di Aceh. Pada waktu itu banyaklah ulama di Pasai yang membangun pesantren, seperti Teungku di Geureundong, Teungku Cot Mamplam, dan lain-lain. Berkat bantuan pemerintah Islam dan masyarakat, maka pesantren, surau, dan langgar tersebar dari kota-kota sampai ke dusun-dusun.
Selanjutnya pada zaman Iskandar Muda Mahkota Alam Sultan Aceh pada awal abad ke-17, tanah Aceh menjadi serambi Makkah, yakni sebagai pusat pendidikan keagamaan yang ditangani berbagai bangsa dari setiap pelosok, sebagaimana yang terjadi di Mekkah. Keadaan ini semakin tampak meningkat, ketika Malaka ditaklukkan Portugis (tahun 1511 M), terdapat sejumlah ulama dan mubaligh Islam yang meninggalkan Malaka, pindah ke Aceh. Di sana mereka mendirikan pesantren untuk menyiarakan agama Islam dan mendidik calon.
Kegiatan pendidikan Islam di Aceh ini mengalami zaman keemasan pada zaman Iskandar Muda, sehingga menjadi masyhur kemana-mana, karena banyak alim ulama dan ahli sastra Islam Indonesia. Diantara yang sangat masyhur adalah Syekh Nurrudin Arraniri, Syekh Ahmad Khatib Langin, Syekh Syamsuddun al-Sumatrani, Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Abdur Rauf, dan Syekh Burhanuddin yang kemudian menjadi ulama besar di Minangkabau.
Salah satu usaha Syekh Abdur Rauf yang besar ialah menerjemahkan Tafsir Al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu dan ditulis dengan huruf Arab Melayu, yang dapat kita baca sampai sekarang. Tafsir Al-Qur’annya itu bernama Tarjuman al-Mustafis bi al-Jawi yang diterjemahkan dengan bahasa Jawa, yang diambil setengah maknanya dari Tafsir Ak-Baidlawi, Syekh Abdur Rauf bin Syekh Ali Al-Fanshur al-Jawi yang dicatat tahun 1302 H, dan 1342 H.[2]

2.    Pendidikan Islam pada Kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram
Pendidikan Islam yang berlangsung di Kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram beriringan dengan kegiatan dakwah Islam yang dilakukan para ulama dan para wali, yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati.
Raden Fatah, putra Brawijaya Majapahit adalah santri perguruan Islam di Ampel Denta. Ia diberi ijazah oleh gurunya untuk membuka perguruan Islam di mana saja. Pada tahun 1475 Raden Fatah mendirikan pesantren di hutan Glagah Arum di sebelah selatan Jepara. Pesantren ini mendapat kemajuan yang pesat, sehingga Glagah kampung kecil itupun turut maju, hingga berubah menjadi kota kabupaten, yaitu Bintara, dan Raden Fatah menjadi bupatinya pada tahun 1475.
Selanjutnya pada tahun 1476 di Bintara didirikan organisasi Bayangkari Islah (Angkatan Pelopor Kebaikan) yang salah satu tujuannya adalah mendukung usaha pendidikan dan pengajaran Islam dengan cara yang teratur. Inilah organisasi pendidikan Islam yang pertama dibentuk di Indonesia.
Kebijakan para wali menyiarkan agama dan memasukkan unsur pendidikan dan pengajaran Islam dalam cabang kebudayan nasional Indonesia dapat dikatakan sangat berhasil dengan baik, sehingga agama Islam tersebar ke seluruh kepulauan Indonesia. Namun demikian sejarah belum menemukan tentang kitab-kitab ilmu agama apa saja yang diajarkan para wali tersebut belum dijelaskan. Hanya yang ada sebuah kitab yang kini dikenal dikalangan pesantren dengan nama Usul 6 Bis, yaitu sejilid kitab tulisan tangan berisi 6 kitab dengan 6 Bismillahirrahmanirrahim karangan ulama Samarkandi. Isinya tentang ilmu agama Islam yang permulaan. Kitab yang lain adalah Tafsir Jalalain, karangan Syaikh Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi.
Kitab-kitab agama Islam di zaman Demak yang kini masih dikenal, ialah Primbon, yaitu notes, berisi serba macam catatan tentang ilmu-ilmu agama, macam-macam doa, bahkan ada juga tentang obat-obatan, dan ilmu ghaib. Dalam kitab ini disebutkan pula tentang ini atau itu adalah wejangan dari Sunan polan, atau Sunan anu, atau dari Kiai Ageng anu. Selain itu, ada pula kitab-kitab yang dikenal dengan nama Suluk Sunan Bonang, Suluk Sunan Kalijaga, Wasita Jati Sunan Geseng dan ajaran mistik Islam dari masing-masing sunan itu yang ditulis tangan.
Sungguhpun berbagai sumber pembelajaran amat terbatas, namun kegiatan dakwah Islam yang dilakukan para wali dinilai amat efektif dan berhasil dengan baik. Sebabnya antara lain, karena mereka mengikuti cara yang digariskan oleh Rasulullah SAW, yaitu dengan cara yang mudah, tidak sempit, tidak banyak beban dan dilakukan secara berangsur-angsur dalam menjalankan hukum syariat. Selain itu, keberhasilan pendidikan dan pengajaran mereka adalah karena didukung oleh contoh dan teladan yang baik dalam perangai dan perbuatan yang nyata. Dengan perkataan lain, bahwa pengajaran Islam waktu itu bukan dilakukan dengan propaganda omongan dan perkataan, melainkan dengan propaganda tingkah laku.[3]
Selanjutnya perpindahan kekuasaan dari Demak ke Pajang pada tahun 1568 tidak membawa perubahan yang berarti terhadap sistem pendidikan dan pengajaran Islam. Perubahan dan kemajuan dalam pendidikan dan pengajaran Islam terjadi setelah pusat kerajaan Islam berpindah dari Pajang ke Mataram pada tahun 1586, terutama pada saat Mataram dipimpin oleh Sultan Agung.
Setelah mempersatukan Jawa Timur dengan Mataram serta daerah-daerah lain, Sultan Agung sejak tahun 1630 mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk membangun negara, seperti membangun bidang ekonomi yang berbasis pada pertanian dan perdagangan dalam dan luar negeri. Pada zamannya dicapai puncak kemajuan dalam bidang kebudayaan, kesenian, dan kesusasteraan. Berdasarkan kebijakannya, Sultan Agung dapat membangun kebudayaan yang berdasarkan Indonesia asli dan Hindu yang dipadukan dengan agama dan kebudayaan Islam. Hal ini misalnya dapat dilihat dari acara Grebeg yang dilaksanakan pada setiap Hari Raya Idul Fitri dan Maulid Nabi Muhammad SAW yang selanjutnya dikenal dengan nama Grebek Poso dan Grebek Maulid; acara Gamelan Sekaten yang hanya dibunyikan pada Grebek Maulid, atas kehendak Sultan Agung, dipukul dihalaman masjid besar.
Khusus yang berkaitan dengan pendidikan, terdapat ketentuan yang dibuat oleh Kerajaan Islan Mataram, yaitu bahwa pada suatu desa agar diadakan beberapa tempat pengajian Al-Qur’an. Di sana diajarkan huruf hijaiyah, membaca Al-Qur’an, barjanji, pokok-pokok dan dasar-dasar ilmu agama Islam, seperti cara beribadat, rukun iman, dan rukun Islam. Cara mengajarkannya ialah dengan cara hafalan semata-mata. Mengenai jumlah tempat pengajaran Al-Qur’an disesuaikan dengan banyaknya modin, yakni guru agama yang ada di desa tersebut. Selain itu, terdapat pula perintah kepada seluruh anak laki-laki dan perempuan yang berumur 7 tahun agar belajar mengaji Al-Qur’an yang didasarkan atas perintah orang tuanya sendiri.[4]

3.     Pendidikan Islam pada Kerajaan Islam di Sulawesi Selatan
Sejak dahulu, perkembangan agama Islam di Sulawesi Selatn amat pesat. Sejalan dengan itu, di sana terdapat sejumlah pesantren yang bediri dan berkembang pesat. Pada tahap awal merupakan pesantren atau surau dengan model lama sebagaimana yang terdapat di Sumatera dan Jawa. Perkembangan itu semakin pesat sejak adanya alim ulama Bugis dari tanah Mekah, setelah tinggal di sana beberapa tahun lamanya. Tetapi sebelum itu telah ada pula ulama tua, diantaranya yang termasyhur dalah Syekh Yusuf Tajul Khalwati di Goa. Selain itu terdapat pula nama Syekh As’ad di Singkang. Pesantren yang beliau dirikan telah banyak melahirkan guru dan para ulama yang tersebar di Sulawesi, terutama di Sulawesi Selatan. Sistem dan rencana pengajarannya sama dengan yang terdapat di Sumatera dan Jawa, karena para guru yang mengajarnya adalah sama-sama tamatan dari Mekkah.
Selanjutnya secara berangsur-angsur berdirilah madrasah (sekolah agama) yang menggunakan sistem klasikal yang dilengkapi dengan bangku, meja, dan papan tulis, sebagaimana sekolah halnya sekolah yang digunakan Belanda. Menurut sebuah catatan sejarah, bahwa yang mula-mula mendirikan madrasah di Sulawesi Selatan adalah Muhammadiyah pada sekitar tahun 1926. Madrasah yang pertama didirikan adalah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah dan selanjutnya madrasah Muallimin. Setelah itu, berkembanglah madrasah di seluruh Sulawesi sampai ke Sangir Taulud dan Minahasa. Madrasah Ibtidaiyah tersebut terus berkembang sampai ke dusun kecil di seluruh Sulawesi Selatan. Adapun di daerah yang agak besar berdiri pula Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah, seperti di Majene, Pare-Pare, Bone, Singkang, Paloppo, Rappang, Makassar, Bonthain, Bulukumba, dan Sinjai.

4.    Pendidikan Islam di Maluku
Menurut sebuah sumber, bahwa pada 11 Juli 1951 M, jumlah madrasah tingkat ibtidaiyah yang berada di Maluku Utara sebanyak 44 buah. Adapun guru-gurunya berjumlah 58 orang, dan murid-muridnya sebanyak 4.600 orang, diantaranya 3.000 orang laki-laki, dan 1.600 orang perempuan. Madrasah menengah hanya ada 1 buah, yaitu di Tidore dengan jumlah murid 49 orang. Selanjutnya dilaporkan pula, bahwa jumlah madrasah di seluruh Maluku (Maluku Utara, Maluku Tengah, Maluku Selatan) sebanyak 56 buah, tetapi dalam laporan yang lain jumlahnya 84 buah. Pada tahun 1951 di Ambon terdapat 4 buah madrasah, termasuk 1 Madrasah Tsanawiyah. Tetapi pada tahun 1951 hanya tinggal dua Madrasah Ibtidaiyah.



5.     Pendidikan Islam di Kalimantan
Madrasah yang tertua di Kalimantan Barat ialah Madrasatun Najah wa al-Falah yang terletak di Sei Bakau Besar Mempawah yang didirikan pada tahun1918. Setelah itu berdirilah beberapa madrasah di kota-kota, bahkan sampai ke dusun-dusun, berupa madrasah tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Diantara madrasah yang termasyhur adalah Madrasah Perguruan Islam (Assulthaniah) di Sambas pada tahun 1922. Inilah madrasah yang tertua yang terdapat di Kalimantan Barat yang didirikan pada tahun 1922 M. Kemudian diubah namanya menjadi Tarbiyatul Islam, dengan lama belajar selama 5 tahun dan ditambah 1 tahun lagi untuk kursus vak agama. Yang diterima masuk madrasah ini adalah murid-murid tamatan sekolah rakyat.[5]

Penutup
Berdasarkan uraian dan analisis sebagaimana terdapat pada bab sebagaiamana tersebut di atas, dapat dikemukakan beberapa catatan penutup sebagai berikut.
Pertama, Islam di Indonesia mulai efektif sebagai gerakan dakwah dan pendidikan terjadi mulai dari abad ke-13 M. Hal ini dapat diketahui dari berdirinya kerajaan Islam pertama, yakni Kerajaan Samudra Pasai pada tahun 1297 M, hingga abad ke-17 M, yakni dengan masuk Islamnya Alauddin (1591-1636) dan diangkat sebagai sultan petama Kerajaan Gowa-Tallo pada tahun 1605 M. Sebelum abad ke-13 itu Islam sudah masuk ke Indonesia, namun dapat dikatakan belum sebagai gerakan dakwah dan pendidikan yang efektif.
Kedua, bahwa tampilnya Islam sebagai gerakan dakwah dan pendidikan ternyata membutuhkan keterlibatan seluruh komponen masyarakat, yakni mulai dari raja, ulama, da’i, pedagang, budayawan, seniman, dan rakyat pada umumnya/ mereka memberi kontribusi dalam bidang dakwah dan pendidikan melalui profesinya masing-masing.
Ketiga, dalam rangka menanamkan dan membudayakan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tersebut, pendidikan merupakan media yang paling strategis dan signifikan, karena dalam media pendidikan itulah proses pengislaman dapat dilakukan secara berkelanjutan, mulai dari tingkat kanak-kanak hingga dewasa, mulai dari taman kanak-kanak hingga ke perguruan tinggi, dan pendidikan lainnya di masyarakat.
Keempat, bahwa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam yang terjadi pada setiap kerajaan Islam di Indonesia bermula dari keadaan yang amat sedrehana dengan menggunakan sumber-sumber loka seadanya, dan berlanjut hingga mencapai kejayaannya dengan menggunakan sumber-sumber dari mancanegara, khususnya dari Timur Tengah, khususnya Mekkah dan Mesir.
Kelima, bahwa di dalam sistem pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang pada kerajaan Islam tersebut, terdapat unsur visi, misi, tujuan, kurikulum, guru, murid, proses belajar mengajar, sarana prasarana, biaya, pengelolaan, lingkungan, kerja sama, penilaian, dan lulusan yang keadaannyaa masih sederhana dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Semua komponen yang terdapat dalam sistem pendidikan Islam tersebut belum dirumuskan secara tertulis dengan prinsip-prinsip pendidikan modern seperti yang terdapat pada masa sekarang. Sistem pendidikan Islam yang ada pada kerajaan Islam tersebut pada umumnya berlangsung secara konvensional, informal, dan nonformal.
Keenam, sungguhpun sistem pendidikan Islam yang terdapat pada zaman kerajaan Islam tersebut masih konvensional, informal, dan nonformal, namun telah memberikan sumbangan yang amat siginifikan dalam menanamkan nilai-nilai ajran Islam ke dalam jiwa, pikiran, dan tindakan masyarakat, sehingga Islam tidak hanya menjadi pengetahuan, mealinkan menjadi jiwa, pola pikir dan karakter masyarakat. Lahirnya sejumlah ulama besar dengan karya tulis, jasa, dan warisannya yang hingga saat ini masih dapat dilihat dan dibaca, merupakan salah satu bukti keberhasilan pendidikan Islam di Indonesia.



[1] Badri Yatim, Sejarah Pendidikan Islam, Dirasat Islamiah II, Op.Cit., hlm. 202.
[2] Lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), cet. IV, hlm. 172-173.
[3] Lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Op.Cit., hlm. 220.
[4] Menurut ajaran Islam, bahwa yang wajib mengajar kepada anak-anak adalah orang tuanya sendiri. Orang tua wajib mengajarkan anaknya tentang hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan, seperti mengerjakan shalat lima, mengaji Al-Qur’an, membaca do’a, berakhlak mulia, dan berkepribadian utama. Untuk mengasilkan anak-anak yang demikian itu, maka harus diselenggarakan pendidikan pada anak-anaknya sejak anak tersebut usia dini. Kalau ibu bapaknya tidak sanggup mengajarkan anaknya, karena ketiadaan ilmu dan waktu, maka ia harus menyerahkan anaknya kepada guru agama. Pada zaman Sultan Agung di Mataram, bahwa seorang anak yang sudah berusia 7 tahun namun belum belajar mengaji, maka aia kan menjadi bahan cemoohan dan 0lok-olokan orang lain.
[5] Lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Op.Cit., hlm. 844.

0 komentar:

Posting Komentar