Masing-masing kerajaan Islam tersebut disamping memiliki
keunggulan, juga memiliki kesamaan dalam menggunakan pendidikan dalam arti yang
luas untuk kepentingan menyiarkan ajaran Islam. Masuknya Islam ke daerah di
Indonesia tidak dalam waktu yang bersamaan. Di samping itu, kedaan politik dan
sosial budaya daerah-daerah ketika didatangi Islam juga berlainan. Berdasarkan
pada keadaan ini, maka sejarah mencatat tentang adanya berbagai saluran yang
digunakan dalam menyebarkan ajaran Islam sebagai berikut.
Pertama, melalui jalur
perdagangan. Meningkatnya aktivitas dalam bidang perdaganagan pada abad ke-7
hingga 16 M, membuat pedagang Muslim yang berasal dari Arab, Persia, dan India
turut ambil bagian. Mereka melakukan perdagangan pada negeri-negeri bagian
barat, tenggara, dan timur Benua Asia. Saluran islamisasi melalui perdagangan
ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam
kegiatan perdagangan, bahwa mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Dalam
kegiatan ini, para pedagang Muslim banyak yang bermukim di pesisir Pulau Jawa
yang penduduknya ketika itu masih kafir. Mereka berhasil mendirikan
masjid-masjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar, sehingga jumlah mereka
menjadi banyak, dan karenanya anak-anak Muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya
raya. Di beberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa yang menjabat sebagai bupati
Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan
hanya karena faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi terutama
karena faktor hubungan ekonomi dengan pedagang Muslim. Dalam perkembangan
selanjutnya, mereka mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di tempat
tinggalnya.
Kedua, melalui jalur
pernikahan. Karena secara ekonomi para pedagang Muslim memiliki status sosial
yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, maka banyak penduduk pribumi,
terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar tersebut.
Sebelum menikah, wanita-wanita tersebut diislamkan terlebih dahulu. Dan setelah
mereka memperoleh keturunan, lingkungan merekan makin luas. Dengan demikian
timbullah perkampungan, daerah, dan kerajaan Muslim. Dalam perkembangan
selanjutnya terdapat pula wanita Muslim yang dinikahi pria keturunan bangsawan,
tentu saja setelah si wanita itu lebih dahulu masuk Islam. Islamisasi melalui
jalur pernikahan ini dianggap menguntungkan, terutama apabila terjadi antara
saudagar Muslim dan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati. Melalui
dukungan raja, adipati atau bangsawan itu semua, proses islmisasi semakin
berjalan dengan lancar dan efektif. Kedaan ini dapat dicontohkan dengan adanya
perkawinan antara Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung
Jati dan puteri Kawunganten, serta Brawijaya dan puteri Campa yang menurunkan
Raden Patah (raja pertama Demak), dan lain-lain.[1]
Ketiga, melalui saluran
tasawuf. Di antara para penyiar Islam dari luar yang datang ke Indonesia ada
yang mengajarkan teosofi yang sudah bercampur denga ajaran lokal yang sudah
dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Para guru teosofi itu memiliki
kemahiran dalam hal-hal yang berkaitan dengan magis dan memiliki kekuatan yang
berhubungan dengan penyembuhan berbagai macam penyakit. Para guru tasawuf
tersebut ada yang menikahi putra-putri bangsawan setempat. Di antara mereka ada
yang mempunyai persamaan dengan alam pikiran para penganut agama sebelumnya,
yaitu Hindu. Dengan cara demikian, agama Islam yang dibawa para ahli tasawuf
itu mudah diterima masyarakat. Diantara para ahli-ahli tasawuf yang memberikan
pelajaran teosofi yang demikian itu adalah Hamzah Fansuri di Kerajaan Islam
Darussalam Aceh, Syekh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa.
Keempat, melalui saluran
pendidikan. Islamisasi yang dilakukan melalui pendidikan ini adalah yang paling
efektif, terprogram, dan berlanjut sampai sekarang. Pesantren maupun pondok
yang didirikan dan diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, serta
ulama-ulama merupakan salah satu saluran bagi terjadinya proses islamisasi. Di
pesantren atau pondok itulah calon ulama, guru agama, dan kiai mendapatkan
pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung
masing-masing atau berdakwah ke tempat tertentu untuk mengajarkan agama Islam.
Di Ampel Denta Surabaya misalnya terdapat pesantren yang didirikan oleh Raden
Rahmat (Sunan Ampel), dan di Giri juga terdapat pesantren yang didirikan oleh
Sunan Giri. Para alumni pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku untuk
mengajarkan agama Islam. Selanjutnya di Aceh, proses islamisasi menggunaka
meunasah (berasal dari kata Madrasah), dayah (berasal dari kata Zawiah), dan
rangkang. Demikian pula di Sumatera Barat dijumpai adanya surau yang digunakan
sebagai tempat menyalurkan ajaran Islam.
Kelima, melalui saluran
kesenian. Di antara saluran kesenian yang banyak digunakan untuk proses
islamisasi ini adalah wayang. Sejarah misalnya mencatat, bahwa Sunan Kalijaga
termasuk tokoh yang mahir melakukan pertunjukkan wayang. Dalam setiap
pertunjukannya itu ia tidak pernah meminta upah berupa materi, melainkan
meminta para penontonnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai
pertanda awal proses masuknya Islam. Selain itu, sebagian besar cerita wayang
yang masih dipetik dari kisah Mahabarata dan Ramayana telah disisipkan ajaran
Islam dan nama pahlawan Islam. Kesenian lain yang digunakan bagi proses
islamisasi ini adalah sastra berupa hikayat dan babad, serta seni bangunan dan
seni ukir.
Keenam, melalui saluran
politik. Proses islamisasi melalui politik terjadi setelah raja-raja yang ada
di daerah itu terlebih dahulu memeluk Islam. Kemudian, dengan Islamnya raja dan
kebijakan yang dikeluarkannya tentang agama yang dianutnya ini menjadi daya
tarik bagi para pengikutnya untuk memeluk Islam. Pengaruh politik raja sangat
membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di sampin itu, baik di Sumatera dan
Jawa, maupun di Indonesia bagian timur, terdapat kerajaan Islam yang memerangi
raja-raja non-Muslim, demi kepentingan politik dakwah Islamiah. Kemenangan
kerajaan Islam secara politik banyak menarik penduduk kerajaan non-Islam itu
masuk Islam.
Adanya berbagai saluran proses islamisasi sebagaimana tersebut di
atas memperlihatkan dengan jelas, bahwa penyebaran dan pengembangan ajaran
Islam membutuhkan semua lapisan masyarakat dan semua bidang keahlian. Selain
membutuhkan para ahli dakwah dan pendidikan, proses islamisasi juga membutuhkan
dukungan para ekonom, pedagang, budayawan, seniman, politikus, pejabat
pemerintah, dan masyarakat pada umumnya. Selain itu, kenyataan tersebut juga
menunjukkan, bahwa Islam adalah sebuah agama yang dapat beradaptasi dan
berinteraksi merupakan seluruh aspek kehidupan dalam masyarakat. Dengan dasar
ini, maka kerja sama yang erat antara berbagai komponen dan keahlian dalam
masyarakat dalam rangka memajukan Islam merupakan hal yang perlu dilakukan.
C.
Kondisi Pendidikan pada Kerajaan Islam
1.
Pendidikan Islam pada Kerajaan Samudra Pasai dan Aceh Darussalam
Menurut Mahmud Yunus, bahwa pada setiap kerajaan Islam tersebut
terdapat masa-masa kemajuan pendidikan Islam. Pada zaman Kerajaan Islam Samudra
Pasai dan Kerajaan Islam Aceh Darussalam sebagaimana telah disebutkan di atas,
terdapat kemajuan dalam bidang pendidikan Islam. Sejak mulai masuk Islam ke
tanah Aceh (tahun 1290 M), pendidikan dan pengajaran Islam mulai lahir dan
tumbuh dengan amat suburnya, terutama setelah berdirinya kerajaan Islam di
Aceh. Pada waktu itu banyaklah ulama di Pasai yang membangun pesantren, seperti
Teungku di Geureundong, Teungku Cot Mamplam, dan lain-lain. Berkat bantuan
pemerintah Islam dan masyarakat, maka pesantren, surau, dan langgar tersebar
dari kota-kota sampai ke dusun-dusun.
Selanjutnya pada zaman Iskandar Muda Mahkota Alam Sultan Aceh pada
awal abad ke-17, tanah Aceh menjadi serambi Makkah, yakni sebagai pusat
pendidikan keagamaan yang ditangani berbagai bangsa dari setiap pelosok,
sebagaimana yang terjadi di Mekkah. Keadaan ini semakin tampak meningkat,
ketika Malaka ditaklukkan Portugis (tahun 1511 M), terdapat sejumlah ulama dan
mubaligh Islam yang meninggalkan Malaka, pindah ke Aceh. Di sana mereka
mendirikan pesantren untuk menyiarakan agama Islam dan mendidik calon.
Kegiatan pendidikan Islam di Aceh ini mengalami zaman keemasan pada
zaman Iskandar Muda, sehingga menjadi masyhur kemana-mana, karena banyak alim
ulama dan ahli sastra Islam Indonesia. Diantara yang sangat masyhur adalah
Syekh Nurrudin Arraniri, Syekh Ahmad Khatib Langin, Syekh Syamsuddun
al-Sumatrani, Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Abdur Rauf, dan Syekh Burhanuddin
yang kemudian menjadi ulama besar di Minangkabau.
Salah satu usaha Syekh Abdur Rauf yang besar ialah menerjemahkan
Tafsir Al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu dan ditulis dengan huruf Arab Melayu,
yang dapat kita baca sampai sekarang. Tafsir Al-Qur’annya itu bernama Tarjuman
al-Mustafis bi al-Jawi yang diterjemahkan dengan bahasa Jawa, yang diambil
setengah maknanya dari Tafsir Ak-Baidlawi, Syekh Abdur Rauf bin Syekh
Ali Al-Fanshur al-Jawi yang dicatat tahun 1302 H, dan 1342 H.[2]
2.
Pendidikan Islam pada Kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram
Pendidikan Islam yang berlangsung di Kerajaan Demak, Pajang, dan
Mataram beriringan dengan kegiatan dakwah Islam yang dilakukan para ulama dan
para wali, yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Gunung
Jati.
Raden Fatah, putra Brawijaya Majapahit adalah santri perguruan
Islam di Ampel Denta. Ia diberi ijazah oleh gurunya untuk membuka perguruan
Islam di mana saja. Pada tahun 1475 Raden Fatah mendirikan pesantren di hutan
Glagah Arum di sebelah selatan Jepara. Pesantren ini mendapat kemajuan yang
pesat, sehingga Glagah kampung kecil itupun turut maju, hingga berubah
menjadi kota kabupaten, yaitu Bintara, dan Raden Fatah menjadi bupatinya pada
tahun 1475.
Selanjutnya pada tahun 1476 di Bintara didirikan organisasi Bayangkari
Islah (Angkatan Pelopor Kebaikan) yang salah satu tujuannya adalah mendukung
usaha pendidikan dan pengajaran Islam dengan cara yang teratur. Inilah
organisasi pendidikan Islam yang pertama dibentuk di Indonesia.
Kebijakan para wali menyiarkan agama dan memasukkan unsur
pendidikan dan pengajaran Islam dalam cabang kebudayan nasional Indonesia dapat
dikatakan sangat berhasil dengan baik, sehingga agama Islam tersebar ke seluruh
kepulauan Indonesia. Namun demikian sejarah belum menemukan tentang kitab-kitab
ilmu agama apa saja yang diajarkan para wali tersebut belum dijelaskan. Hanya
yang ada sebuah kitab yang kini dikenal dikalangan pesantren dengan nama Usul
6 Bis, yaitu sejilid kitab tulisan tangan berisi 6 kitab dengan 6 Bismillahirrahmanirrahim
karangan ulama Samarkandi. Isinya tentang ilmu agama Islam yang permulaan.
Kitab yang lain adalah Tafsir Jalalain, karangan Syaikh Jalaluddin
al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi.
Kitab-kitab agama Islam di zaman Demak yang kini masih dikenal,
ialah Primbon, yaitu notes, berisi serba macam catatan tentang ilmu-ilmu
agama, macam-macam doa, bahkan ada juga tentang obat-obatan, dan ilmu ghaib.
Dalam kitab ini disebutkan pula tentang ini atau itu adalah wejangan dari Sunan
polan, atau Sunan anu, atau dari Kiai Ageng anu. Selain itu, ada pula
kitab-kitab yang dikenal dengan nama Suluk Sunan Bonang, Suluk Sunan
Kalijaga, Wasita Jati Sunan Geseng dan ajaran mistik Islam dari
masing-masing sunan itu yang ditulis tangan.
Sungguhpun berbagai sumber pembelajaran amat terbatas, namun
kegiatan dakwah Islam yang dilakukan para wali dinilai amat efektif dan
berhasil dengan baik. Sebabnya antara lain, karena mereka mengikuti cara yang
digariskan oleh Rasulullah SAW, yaitu dengan cara yang mudah, tidak sempit,
tidak banyak beban dan dilakukan secara berangsur-angsur dalam menjalankan
hukum syariat. Selain itu, keberhasilan pendidikan dan pengajaran mereka adalah
karena didukung oleh contoh dan teladan yang baik dalam perangai dan perbuatan
yang nyata. Dengan perkataan lain, bahwa pengajaran Islam waktu itu bukan
dilakukan dengan propaganda omongan dan perkataan, melainkan dengan propaganda
tingkah laku.[3]
Selanjutnya perpindahan kekuasaan dari Demak ke Pajang pada tahun
1568 tidak membawa perubahan yang berarti terhadap sistem pendidikan dan
pengajaran Islam. Perubahan dan kemajuan dalam pendidikan dan pengajaran Islam
terjadi setelah pusat kerajaan Islam berpindah dari Pajang ke Mataram pada
tahun 1586, terutama pada saat Mataram dipimpin oleh Sultan Agung.
Setelah mempersatukan Jawa Timur dengan Mataram serta daerah-daerah
lain, Sultan Agung sejak tahun 1630 mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya
untuk membangun negara, seperti membangun bidang ekonomi yang berbasis pada
pertanian dan perdagangan dalam dan luar negeri. Pada zamannya dicapai puncak
kemajuan dalam bidang kebudayaan, kesenian, dan kesusasteraan. Berdasarkan
kebijakannya, Sultan Agung dapat membangun kebudayaan yang berdasarkan
Indonesia asli dan Hindu yang dipadukan dengan agama dan kebudayaan Islam. Hal
ini misalnya dapat dilihat dari acara Grebeg yang dilaksanakan pada
setiap Hari Raya Idul Fitri dan Maulid Nabi Muhammad SAW yang selanjutnya
dikenal dengan nama Grebek Poso dan Grebek Maulid; acara Gamelan Sekaten yang
hanya dibunyikan pada Grebek Maulid, atas kehendak Sultan Agung, dipukul
dihalaman masjid besar.
Khusus yang berkaitan dengan pendidikan, terdapat ketentuan yang
dibuat oleh Kerajaan Islan Mataram, yaitu bahwa pada suatu desa agar diadakan
beberapa tempat pengajian Al-Qur’an. Di sana diajarkan huruf hijaiyah, membaca
Al-Qur’an, barjanji, pokok-pokok dan dasar-dasar ilmu agama Islam, seperti cara
beribadat, rukun iman, dan rukun Islam. Cara mengajarkannya ialah dengan cara
hafalan semata-mata. Mengenai jumlah tempat pengajaran Al-Qur’an disesuaikan dengan
banyaknya modin, yakni guru agama yang ada di desa tersebut. Selain itu,
terdapat pula perintah kepada seluruh anak laki-laki dan perempuan yang berumur
7 tahun agar belajar mengaji Al-Qur’an yang didasarkan atas perintah orang
tuanya sendiri.[4]
3.
Pendidikan Islam pada Kerajaan Islam di
Sulawesi Selatan
Sejak dahulu, perkembangan agama Islam di Sulawesi Selatn amat
pesat. Sejalan dengan itu, di sana terdapat sejumlah pesantren yang bediri dan
berkembang pesat. Pada tahap awal merupakan pesantren atau surau dengan model
lama sebagaimana yang terdapat di Sumatera dan Jawa. Perkembangan itu semakin
pesat sejak adanya alim ulama Bugis dari tanah Mekah, setelah tinggal di sana
beberapa tahun lamanya. Tetapi sebelum itu telah ada pula ulama tua, diantaranya
yang termasyhur dalah Syekh Yusuf Tajul Khalwati di Goa. Selain itu terdapat
pula nama Syekh As’ad di Singkang. Pesantren yang beliau dirikan telah banyak
melahirkan guru dan para ulama yang tersebar di Sulawesi, terutama di Sulawesi
Selatan. Sistem dan rencana pengajarannya sama dengan yang terdapat di Sumatera
dan Jawa, karena para guru yang mengajarnya adalah sama-sama tamatan dari
Mekkah.
Selanjutnya secara berangsur-angsur berdirilah madrasah (sekolah
agama) yang menggunakan sistem klasikal yang dilengkapi dengan bangku, meja,
dan papan tulis, sebagaimana sekolah halnya sekolah yang digunakan Belanda.
Menurut sebuah catatan sejarah, bahwa yang mula-mula mendirikan madrasah di
Sulawesi Selatan adalah Muhammadiyah pada sekitar tahun 1926. Madrasah yang
pertama didirikan adalah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah dan selanjutnya madrasah
Muallimin. Setelah itu, berkembanglah madrasah di seluruh Sulawesi sampai ke
Sangir Taulud dan Minahasa. Madrasah Ibtidaiyah tersebut terus berkembang
sampai ke dusun kecil di seluruh Sulawesi Selatan. Adapun di daerah yang agak
besar berdiri pula Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah, seperti di Majene,
Pare-Pare, Bone, Singkang, Paloppo, Rappang, Makassar, Bonthain, Bulukumba, dan
Sinjai.
4.
Pendidikan Islam di Maluku
Menurut sebuah sumber, bahwa pada 11 Juli 1951 M, jumlah madrasah
tingkat ibtidaiyah yang berada di Maluku Utara sebanyak 44 buah. Adapun
guru-gurunya berjumlah 58 orang, dan murid-muridnya sebanyak 4.600 orang,
diantaranya 3.000 orang laki-laki, dan 1.600 orang perempuan. Madrasah menengah
hanya ada 1 buah, yaitu di Tidore dengan jumlah murid 49 orang. Selanjutnya
dilaporkan pula, bahwa jumlah madrasah di seluruh Maluku (Maluku Utara, Maluku
Tengah, Maluku Selatan) sebanyak 56 buah, tetapi dalam laporan yang lain
jumlahnya 84 buah. Pada tahun 1951 di Ambon terdapat 4 buah madrasah, termasuk
1 Madrasah Tsanawiyah. Tetapi pada tahun 1951 hanya tinggal dua Madrasah
Ibtidaiyah.
5.
Pendidikan Islam di
Kalimantan
Madrasah yang tertua di Kalimantan Barat ialah Madrasatun Najah wa
al-Falah yang terletak di Sei Bakau Besar Mempawah yang didirikan pada
tahun1918. Setelah itu berdirilah beberapa madrasah di kota-kota, bahkan sampai
ke dusun-dusun, berupa madrasah tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Diantara
madrasah yang termasyhur adalah Madrasah Perguruan Islam (Assulthaniah) di
Sambas pada tahun 1922. Inilah madrasah yang tertua yang terdapat di Kalimantan
Barat yang didirikan pada tahun 1922 M. Kemudian diubah namanya menjadi
Tarbiyatul Islam, dengan lama belajar selama 5 tahun dan ditambah 1 tahun lagi
untuk kursus vak agama. Yang diterima masuk madrasah ini adalah murid-murid
tamatan sekolah rakyat.[5]
Penutup
Berdasarkan uraian dan analisis
sebagaimana terdapat pada bab sebagaiamana tersebut di atas, dapat dikemukakan
beberapa catatan penutup sebagai berikut.
Pertama, Islam di Indonesia mulai efektif sebagai gerakan dakwah dan
pendidikan terjadi mulai dari abad ke-13 M. Hal ini dapat diketahui dari
berdirinya kerajaan Islam pertama, yakni Kerajaan Samudra Pasai pada tahun 1297
M, hingga abad ke-17 M, yakni dengan masuk Islamnya Alauddin (1591-1636) dan
diangkat sebagai sultan petama Kerajaan Gowa-Tallo pada tahun 1605 M. Sebelum
abad ke-13 itu Islam sudah masuk ke Indonesia, namun dapat dikatakan belum
sebagai gerakan dakwah dan pendidikan yang efektif.
Kedua, bahwa tampilnya Islam sebagai gerakan dakwah dan pendidikan
ternyata membutuhkan keterlibatan seluruh komponen masyarakat, yakni mulai dari
raja, ulama, da’i, pedagang, budayawan, seniman, dan rakyat pada umumnya/
mereka memberi kontribusi dalam bidang dakwah dan pendidikan melalui profesinya
masing-masing.
Ketiga, dalam rangka menanamkan dan membudayakan nilai-nilai ajaran Islam
dalam kehidupan masyarakat tersebut, pendidikan merupakan media yang paling
strategis dan signifikan, karena dalam media pendidikan itulah proses
pengislaman dapat dilakukan secara berkelanjutan, mulai dari tingkat
kanak-kanak hingga dewasa, mulai dari taman kanak-kanak hingga ke perguruan
tinggi, dan pendidikan lainnya di masyarakat.
Keempat, bahwa pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam yang terjadi
pada setiap kerajaan Islam di Indonesia bermula dari keadaan yang amat
sedrehana dengan menggunakan sumber-sumber loka seadanya, dan berlanjut hingga
mencapai kejayaannya dengan menggunakan sumber-sumber dari mancanegara,
khususnya dari Timur Tengah, khususnya Mekkah dan Mesir.
Kelima, bahwa di dalam sistem pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang
pada kerajaan Islam tersebut, terdapat unsur visi, misi, tujuan, kurikulum,
guru, murid, proses belajar mengajar, sarana prasarana, biaya, pengelolaan,
lingkungan, kerja sama, penilaian, dan lulusan yang keadaannyaa masih sederhana
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Semua komponen yang terdapat dalam
sistem pendidikan Islam tersebut belum dirumuskan secara tertulis dengan
prinsip-prinsip pendidikan modern seperti yang terdapat pada masa sekarang.
Sistem pendidikan Islam yang ada pada kerajaan Islam tersebut pada umumnya
berlangsung secara konvensional, informal, dan nonformal.
Keenam, sungguhpun sistem pendidikan Islam yang terdapat pada zaman
kerajaan Islam tersebut masih konvensional, informal, dan nonformal, namun
telah memberikan sumbangan yang amat siginifikan dalam menanamkan nilai-nilai
ajran Islam ke dalam jiwa, pikiran, dan tindakan masyarakat, sehingga Islam
tidak hanya menjadi pengetahuan, mealinkan menjadi jiwa, pola pikir dan
karakter masyarakat. Lahirnya sejumlah ulama besar dengan karya tulis, jasa,
dan warisannya yang hingga saat ini masih dapat dilihat dan dibaca, merupakan
salah satu bukti keberhasilan pendidikan Islam di Indonesia.
[1]
Badri Yatim, Sejarah Pendidikan Islam,
Dirasat Islamiah II, Op.Cit., hlm. 202.
[2] Lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan
Islam Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), cet. IV, hlm.
172-173.
[4]
Menurut ajaran Islam, bahwa yang wajib
mengajar kepada anak-anak adalah orang tuanya sendiri. Orang tua wajib
mengajarkan anaknya tentang hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan, seperti
mengerjakan shalat lima, mengaji Al-Qur’an, membaca do’a, berakhlak mulia, dan
berkepribadian utama. Untuk mengasilkan anak-anak yang demikian itu, maka harus
diselenggarakan pendidikan pada anak-anaknya sejak anak tersebut usia dini.
Kalau ibu bapaknya tidak sanggup mengajarkan anaknya, karena ketiadaan ilmu dan
waktu, maka ia harus menyerahkan anaknya kepada guru agama. Pada zaman Sultan
Agung di Mataram, bahwa seorang anak yang sudah berusia 7 tahun namun belum
belajar mengaji, maka aia kan menjadi bahan cemoohan dan 0lok-olokan orang
lain.
0 komentar:
Posting Komentar