Pendidikan Islam Zaman Orde Baru ~ Sejarah Islam

Pendidikan Islam Zaman Orde Baru



A.
Ketika masa orde lama berkuasa, atau sebelum 1 oktober 1965, timbul penyelenwengan terhadap UUD 1945, pancasila terhadap hukum, dibidang moral sehingga mengakibatkan kemerosotan, kemunduran di segala kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Di forum internasional, Indonesia semakin terisolir, karena keluar dari PBB pada 2 januari 1965. Konfortasi dengan Malaysia, politik luar negeri yang menuju kesatu blok yaitu blok komunis uni sovyet dan RRC. Masa serba penyelewengan itulah yang disebut orde lama dengan demokrasi terpimpin tahun1959-1965. Puncak akhir orde lama itu terjadinya peristiwa pemberontakan serta pengkhianatan yang dilakukan PKI, dengan peristiwa Gestapu/PKI 30 september 1965.

Perjungan untuk meluruskan berbagai penyelewengan itulah muncul satu orde, mengantikan orde lama, dan itulah yang disebut dengan orde baru, dengan tema sentral perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran dan melaksanakan pancasila UUD 1945secara murni dan konsekuen. Terdapat banyak peristiwa dan kejadian penting menegakkan orde baru, serta selama perjalanan orde baru sepanjang 32 tahun (1966-1998)[1]
Orde baru secara harfiah adalah masa yang baru yang menggantikan masa kekuasaan orde lama. Namun secara politis, orde baru diartikan suatu masa untuk mengembanglikan Negara republik Indonesia ke dalam sebuah tatanan yang sesuai dengan haluan Negara sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang dasar 1945. Serta falsafah Negara pancasila secara murni dan konsekuen. Upaya ini ditempuh berdasarkan hasil analisis yang mendalam dan seksama, bahwa berbagai kebijakan orde lama sudah melenceng dari UUD 1945 dan pancasila tersebut. Pemerintah orde lama musalnya sudah mengganti UUD 1945 dengan Usdek, dan mengganti pancasila dengan Nasakom( nasionalisme, agama, dan komunis) yang secara logika sulit dipertemukan antara ketiganya. Pancasila misalnya mengakui adanya tuhan, sedangka komunis tidak bertuhan.
Orde baru melihat bahwa jika pemerintah orde lama dilanjutkan, maka tujuan dan cita-cita proklamasi kemerdekaan, yakni menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar 1945, tidak akan dapat tercapai. Perpindahan kekuasaan dari orde lama ke orde baru ini menemukana momentumnya ketika soekarnoterlibat dalam gerakan 30 september partai komunis Indonesia (G30-S-PKI) yang menelan korban 7 orang jendral dan satu orang putri jendral abdul haris nasution , bernama ade Irma suryani. Dengan ketelibatan dalam peristiwa  tersebut , soekarno dianggap telah memgkhianati pancasila yang dibuatnya sendiri, dank arenanya ia harus melepaskan jabatanya sebagai presiden RI. Untuk itu, Soekarno diminta unruk menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto melaluisurat perintah 11 maret (Supersemar) yang antara lain memberikan kepercayaan dan mandate kepada Soeharto agar mengambil langkah-langkah pemulihan keamanan dan ketertiban, dan dengan demikian Soekarno tidak lagimelakukan tugas-tugas kepala Negara. Ia didemisionerkan dan tidak dibderdayakan serta menjadi tahanan rumah hingga akhir hayatnya.
Kejatuhan Soekarno juga sejalan dengan adanya tiga tuntutan rakyat (Tritura), yaitu bubarkan PKI, Turunkan Harga Barang, dan Bersihkan para pejabat dari antek-antek PKI. Tuntutan ini demikian kuat kuat seiring dengan terjadinya berbagai kesulitan ekonomi, tekanan  PKI, dan berbagai masalah lainya sebagaii akibat dari kebijakan pemerintah. Berbagai elemen masyarakat khususnya mahasiswa, abri, dan ormas islam, seperti himpunan mahasiswa islam, pergerakan mahasiswa islam Indonesia, ikatan muhammadiyah, dan lainya menggalang aksi bubarkan PKI dan antek-anteknya .
Selanjutnya melalui sidang majelis permusyawaratan sementara (MPRS) soeharto ditetapkan sebagai presiden republic Indonesia, dengan tugas memulihkan keamanan dan kestabilan Negara dalam berbagai bidang, serta menyelenggarakan pemilihan umum (PEMILU). Untuk kepentingan ini Soeharto dan kawan-kawan membentuk organisasi politik GolonganKarya yang terdiri dari unsur pejabat yang progesif, ABRI, dan beberapa tokoh elite politik yang mengedepankan kerja nyata daripada berwacana. Pada pemulu tahun 1970-an Golkar keluar sebagai pemenang yang selanjutnya memudahkan Soeharto untuk dipilih oleh MPR yang mayoritas Golkar untuk menjadi presiden selama 5 periode, atau sekitar 32 tahun, yakni sejak tahun1967-1998.[2]
B.     KEBIJAKAN POLITIK DAN EKONOMI ORDE BARU
Format politik orde baru memperlihatkan kenyataan yang sangat menarik, yaitu terjadinya proses de-alirisasi yang di lakukan oleh pemerintah dengan di topang ABRI. Proses de-alirisasi di lakukan dengan berbagai macam cara. Pertama, dengan melakukan depolitisasi massa secara sistematik. Depolitisasi tersebut dilkukan melalui sejumlah langkah kebijakan, misalnya : prinsip monoloyalitas bagi semua pegawai negeri dan perusahaan negara, dan di bentuknya disebuah organisasi serikat untuk semua pegawai pemerintah, yaitu korps pegawai Republik Indonesia (korpri). Dengan demikian, pegawai pemerintah tidak di kotak-kotak ke dalam aliran ideologi yang mengikuti ideologi partai-partai politik yang ada pada waktu itu.[3]
Secara umum kebijakan orde baru diarahkan pada pembangunan ekonomi yang didukung oleh kondisi politik dan keamanan yang stabil. Berdasarkan kebijakan ini maka kerjasama yang harmonis antara pemerintah, angkatan bersenjata dan kaum pengusaha perlu dibangun dengan seerat-eratnya. Untuk mendukung terlaksananya ini pemerintah menggunakan penedekatan sentralistik dan monoloyalitas dalam seluruh aspek kehidupan.
Pada bidang politik, Sentarlisasi terjadi dengan cara menyederhanakan partai politik menjadi tiga, yaitu:
1.      Golongan Karya (GOLKAR), mewakili pemerintah, pegawai, dan karyawan.
2.      Partai Persatuan Pembangunan (PPP),  yang mewakili kelompok islam.
3.      Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang mewakili kelompok nasionalis dan lainnya.
Dalam praktiknya partai ini bersifat tri-in-one, yakni tiga tapi satu, yakni tiga partai tetapi ideologinya sama dengan ideologi pemerintah (Golkar). Sebagai partai pemerintah, Golkar memiliki sarana prasarana, biaya dan lainnya untuk menjadi partai mayoritas. Adapun dua partai lainnya sebagai partai minoritas yang segalan sesuatunya sulit untuk bersebrangan dengan partai mayoritas. Kedua partai ini benar-benar berada dalam hegemini Golkar. Dan jika kedua partai tersebut terdapat tanda-tanda bersebrangan dengan partai golkar, maka tidak segan-segan golkar berusaha melakukan intervensi, atau memecah belah pimpinan partai tersebut. Pimpinan partai tersebut yang sejalan dengan golkar akan mendapat berbagai kemudahan dan dukungan. Dan sebaliknya pimpinan partai tersebt yang tidak sejalan dengan Golkar, maka akan mendapat berbagai kesulitan dan gangguan. Hal ini bisa dilihat pada terjadinya konflik dan perpecahan yang sering terjadi pada tubug PPP dan PDI. Sentaralisasi dalam bidang politik ini juga terlihat dari wewenang dan proses pemilihan presiden wakil presiden melalui partai politik dan mejelis permusyawaratan rakyat yang di dalamnya terdapat para anggota DPR/MPR yang secara mayoritas dapat dikuasai Golkar. Dengan cara ini maka dengan mudah Golkar dapat melanggengkan kekuasaannya selama lebih dari 30 tahun. Tidak hanya itu,sentralisasi politik juga terjadi pada pengangkatan Gubernur , Bupati, dan Wali Kota yang diangkat oleh presiden, dilantik oleh menteri dalam negeri setelah melalui proses pemilihan di Dewan Perwakilan Daerah Tingkat I untuk pemilihan Gubernur, dan Dewan Perwakilan Tingkat Kabupaten untuk pemilihan bupati dan wali kota. [ara anggota pada DPRD tingkat I dan II tersebut didominasi oleh orang-oranggolkar. Proses pengangkatan pejabat oleh Golkar ini juga terjadi pada jabatan-jabatan lainnya, seperti  dewan pertimbangan agung, kejaksaan agung (DPA), mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Para direktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN).  Selanjutnya karena gubernur, bupati, dan wali kota Golkar, maka para camat, lurah, sampai ketua rt/rw juga orang-orang Golkar. Selanjutnya untuk memusatkan pada Golkar tersebut, maka golkar juga membentuk organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang merupakan Underbau Golkar. Bagi pemuda dibetuk Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Angkatan Pemuda Indonesia (AMPI). Bagi para pegawai negri sipiln(PNS) dibentuk KORPRI ( Korp Pegawai Republik Indonesia) ; bagi para istri pegawai negeri sipil dibentuk  Darmawanita , dan bagi para putra putrinya dibentuk Karang Taruna. Dalam bidang  keagamaan, Golkar selain menguasai Majelis Ulama Indonesia, juga menguasai jamah masjid, melalui dana bantuan amal bakti Muslim Pancasila yang diarahkan pada pembangunan masjid di berbagai provinsi di Indonesia. Golkar juga berusaha menghimpun para da’I dan pengelola pengajian dan majelis taklim dengan cara membentuk membentuk majelis taklim al-hidayah, mulai dari tingkat pusat sampai dengan tingkat kelurahan. Dengan adanya kebijakan politik yang sentralistik ini maka secara politikyang terjadi adalah sebuah pendekatan monoloyalitas kepada pemerintahan pusat.
Selanjutnya kebijakan pemerintah orde baru dalam bidang ekonomi mengambil bentuk sentralisasi dan monopoli. Upaya ini di lakukan Golkar dengan cara membentuk Organisasi atau Asosiasi yang mengatur dan mengendalikan perekonomian mulai dari tingkat nasional sampai dengan daerah. Dengan organisasi dan asosiasi ini, maka seluruh organisasi dan asosiasi perekonomian dapat dikendalikan oleh kepentingan Golkar. Pada tingkat petani misalnya dibentuk asosiasi petani yang  beraneka ragam yang dikoordinasikan oleh koperasi unit desa (KUD). Sebagai perpanjangan tangan pemerintah KUD berusaha mengendalikan berbagai kebutuhan para petani, dan sekaligus mengendalikan harga patokan hasil pertanian masyarakat desa.Tidak hanya itu,monopoli juga terjadi pada asosiasi usaha ekonomi lainnya, seperti  industri, perdagangan, jasa dan lainnya. Hegemoni Orde baru dalam bidang ekonomi ini juga semakin signifikan setelah anak-anak pejabat pemerintah terjun dalam bidang bisnis.Dengan cara membangun kerja sama dengan para konglomerat mata sipit (Cina) yang di-backing oleh ABRI, maka peluang masyarakat untuk berkiprah dalam bidang ekonomi makin terbatas. Karena demikian kuatnya dukungan pejabat, ABRI, dan Konglomerat, maka bisnis para anak pejabat ini makin signifikan dan menguasai, praktik kecurangan, manipulasi, korupsi, dan nepotisme dengan mudah dan aman dapat dilakukan. [4]
Ketika orde baru ini naik ke pentas politik nasional, negara Indonesia sedang mengahdapi krisis luar biasa dalam bidang politik dan ekonomi. Dalam bidang politik krisis itu di tandai  dengan demonstrasi mahasiswa, pelajar, dan ormas-ormas onderbouw parpol yang hidup dengan tekanan ketika era demokrasi terpimpin. Sedangkan di bidang ekonomi ditandai oleh sulitnya didapat keperluan sehari-hari dan melonjaknya harga-harga secara luar biasa. Angka inflasi Indonesia ketika di tinggal orde lama mencapai 600%, sedangkan ekonomi nyaris stagnan.
Keputusan  seminar II angkatan darat tersebut berkaitan dengan kerunyaman situasi ekonomi pada periode menjelang orde barueminar II angkatan darat tersebut berkaitan dengan kerunyaman situasi ekonomi pada periode menjelang orde barueminar II angkatan darat tersebut berkaitan dengan kerunyaman situasi ekonomi pada periode menjelang orde baruyang hanya memberi batas toleransi sempit kepada pemerintah untuk membuat kesalahan dalam memilih strategi alternatif. Margin of error yang sempit tersebut yang sempit tersebut yang sempit tersebut yang sempit tersebut telah membawa pemerintahan orde baru untuk memberikan prioritas utama kepada pembangunan ekonomi.[5]
Karena politik, ekonomi, dan militer sudah dikuasai oleh Orde Baru untuk mendukung kepentingannya, maka dengan Orde Baru dapat menguasai segala bidang kehidupan masyarakat. Dengan demikian, sentralisasi, monoloyalitas, dan monopoli ini terjadi pada seluruh bidang kehidupan bangsa Indonesia. selanjutnya dalam rangka melanggengkan kekuasaannya itu, Orde Baru telah menjadikan Angkatan Bersenjata bukan lagi sebagai alat Negara, melainkan sebagai alat penguasa. Dalam keadaan demikian itu, maka setiap kali ada usaha yang menentang atau tidak sejalan dengan penguasa, maka penguasa tidak segan-segan untuk mengambil tindakan tegas yang didukung oleh ABRI. Dalam hubungan ini, pemerintah Orde Baru misalnya berusaha membungkam kebebasan pers dan sekaligus memberedel atau mencabut izin terbitnya, jika pers tersebut tidak sejalan dengan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga berusaha melarang kegiatan demokrasi dan mejebloskanya kedalam penjara bagi mereka yang tidak memperhatikan larangan tersebut. Pemerintah Orde Baru juga sering melarang dan membubarkan kegiatan dakwah atau pengajian yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah.
Kebijakan pemerintah yang bersifat sentralistik, monoloyalitas, monopoli, otoriter, dan represif tersebut telah membungkam kebebasan berbicara, mematikan demokrasi, menutup inovasi dan kreativitas masyarakat, menimbulkan apatisme dikalangan masyarakat, merajarelanya praktik KKN, kesenjangan social, membesarnya utang, dan kekacauan dalam masyarakat. Keadaan ini telah memicu timbulnya gelombang protes di kalangan elite politik, mahasiswa dan seluruh lapisan masyarakat yang menyatakan tidak puas kepada pemerintah Orde Baru, menurut DPR/MPR untuk menurunkan Soeharto. Gelombang demo dan protes ini terus membesar, dan berbagai upaya untuk mengatasinya sudah mengalami jalan buntu, hingga Soehato secara terpaksa harus lengser keprabon,  meletakan jabatanya dan menyerahkan kepada wakilnya Prof. Dr. Ing. Habibie pada tahun 1998. Dan, sejak itulah soeharto berakhir kekuasaanya.[6]

C.     KEADAAN PENDIDIKAN ISLAM MASA ORDE BARU.
Pada permulaan orde baru sampai pertengahan 1980an, wajah Islam menjadi babak belur dan digambarkan sebagai ekstrem kanan yang selalu setiap membentuk negara Islam dan mengantikan pancasila dengan Islam sebagi ideologi atau dasar negara. Menjelang pemilu umum 1982, gejala meningkatnya dukungan untuk PPP mulai dirasakan. Kalau di adakan pemilu umum padawaktu itu, tidak mustahil golkar akan berhadapan dengan PPP dengan tingkat kompetisi yang seimbang dan peluang unatuk menjadi partai yang hegemonik menjadi terancam. Untuk melemahkan politik Islam yang mualai tampak, pemerintah mencari jalan mendeskreditkan Islam. Isu komando jihad dan segala macam yang bertalian dengan itu dimunculkan. Rekayasa yang dilakukan untuk keperluan itu di motori oleh Ali moertopo dan pedukung-pendukungnya. Di lain pihak, pendukung Islam, misalnya Alm mohammad Natsir, tahu betul bahwa orang-orang yang dituduh komando jihad tersebut adalah orang-orang yang dekat dengan Ali moertopo. Akibatnya wajah Islam menjadi terpuruk.
Sementara itu, sarana umat Islam untuk mengartikulasi, atau bahkan untuk membela diri, boleh dikatakan sangat terbatas. Tidak ada media massa Islam yang representatif untuk menyampaikan aspirasi dan ide politik Islam. Apa lagi kalau dibandingakan dengan kelompok non-Islam, yang merupakan rekayasa orde baru dalam bidang media massa, seperti lembaga penerbit gramedia dan sinar kasih, milik kalangan katolik dan kristen. Keduannya mendominasi media cetak nasional sampai sekarang.[7]
Pada dasarnya seluruh kebijakan yang lahir pada zaman orde baru, termaasuk dalam bidang pendidikan, di arahkan pada upaya menopang pembangunan dalam bidang ekonomi yang ditopang oleh stabilitas ekonomi dengan pendekatan sentralistik, monoloyalitas, dan monopoli. Kebijakan dalam bidang politik selanjutnya bisa di lihat sebgai berikut.
Pertama,  masuknya pendidikan islam ke dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dimulai dengan lahirnya Surat Keputusan Bersama Tiga Mentri (SKB 3 M), yaitu Mentri Pendidikan Nasional, Mentri Agama, dan Mentri dalam Negri. Di dalam SKB 3 Mentri tersebut antara lain dinyatakan bahwa lulusan madrasah dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan umum dan sebaliknya, berhak mendapatkan bantuan, sarana prasarana dan diakui ijazahnya. Selain itu lahir pula Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 yang memasukkan pendidikan Islam mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang berhak mendapatkan perlakuan yang sama dalam bidang regulasi, bantuan keuangan, dan sumber daya manusia.
Kedua, pembaharuan madrasah dan pesantren, baik pada aspek fisik maupun non fisik. Pada aspek fisik pembaharuan dilakukan pada peningkatan dan perlengkapan infrastruktur, sarana prasarana, dan fasilitas, seperti buku, perpustakaan, dan peraltan labolatorium. Adapun pada aspek nonfisik meliputi pembaharuan bidang kelembagaan, menejemen pengelolaan, kurikulum, mutu sumber daya manusia, proses belajar mengajar, jaringan Information Technology (IT), dan lain sebagainya. Pembaharuan Madrasah dan pesantren ini ditujukan agar selain mutu madrasah dan pesantren tidak kalah dengan mutu sekolah umum, juga agar para lulusannya dapat memasuki dunia kerja yang lebih luas. Hal ini di anggap penting, agar lulusan madrasah dan pesantren dapat memiliki berbagai peluang untuk memasuki lapangan kerja yang lebih luas, dengan demikian umat islam tidak hanya menjadi objek atau penonton pembangunan, melainkan dapat berperan sebagai pelaku atau agen pembaharuan dan pembangunan dam segala bidang, dengan cara demikian, umat islam dapat meningkatkan kesejahteraannya di bidang ekonomi dan lain sebagainya.[8][6] Pembaharuan pendidikan madrasah dan pesantren tersebut dibantu oleh pemerintah melalui dana, baik yang berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) maupun dana yang berasal dari pinjaman luar negri, seperti dari Islamic Development Bank (IDB) dan Asian Development Bank (ADB).
Ketiga, pemberdayaan pendidikan islam nonformal. Pada zaman orde baru pertumbuhan dan perkembangan pendidikan nonformal yang dilakasanakan atas inisiatif masyarakat mengalami peningkatan yang amat signifikan. Pendidikan islam nonformal tersebut antara lain dalam bentuk majlis taklim baik untuk kalangan masyarakat islam kelompok masyarakat biasa, maupun bagi masyarakat menengah ke atas. Berbagai majlis taklim baik yang diselenggarakan lembaga-lembaga kajian, maupun majlis taklim mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada zaman Orde Baru ini misalnya telah muncul ribuan majelis taklim kaum ibu yang selanjutnya tergabung dalam BKMT (Badan Kontak Majelis Taklim) mulai dari tingkat pusat sampai dengan kabupaten, kota, kecamatan. Melalui lembaga pendidikan Islam nonformal ini, meyebabkan Islam semakin menelesat ke dalam kehidupan masyarakat, dan mendorong lahirnya masyarakat kota yang semakin reeligius. Keadaan ini pada gilirannya semakin meningkatkan jumlah kalangan masyarakat Islam elite tingkat atas dan menengah untuk melaksanakan ibadah haji dan terjun ke dalam kegiatan pendidikan Islam. Sejalan dengan itu, maka muncul pula apa yang disebut sebagai santri kota, yaitu masyarakat kota yang semakin cinta pada Islam dan berusaha mengamalkannya dengan baik. Dan untuk itu, maka kegiatan ceramah agama semakin semarak, dan buku-buku atau bahan bacaan yang berkaitan dengan pembinaan mentaal spiritual semakin diminati.
Keempat, peningkatan atmosfer dan suasana praktik sosial keagamaan. Dalam kaitan ini, pemerintah orde baru telah mendukung lahirnya berbagai pranata ekonomi, sosial, budaya dan kesenian islam. Lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Bank Mu’amalat Indonesia (BMI), Harian Umum Republika, Undang-Undang Peradilan Agama, Festifal Iqbal, Bayt Al-Qur’an, dan lainnya adalah lahir pada zaman Orde Baru. Semua ini antara lain merupakan buah dari keberhasilan pembaharuan pendidikan islam sebagaimana tersebut di atas.

D.    FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG KEMAJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Terjadinya berbagai pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di zaman Orde Baru sebagaimana tersebut di atas, disebabkan karena beberapa factor sebagai berikut:
Pertama, semakin membaiknya hubungan dan kerjasama anntara umat islam dan pemerintah. Pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto berkuasa lebih kurang 32 tahun yang dapaat dibagi ke dalam dua bagian. Selama 16 tahun pertama, hubungan antara umat Islam dan pemerintah Orde Baru dalam keadaan tidak harmonis, tegang, saling curiga, bahkan terkadang diwarnai konflik dan peristiwa berdarah, sebagaimana yang terlihat pada kasus Tanjung Priok, pembajakan pesawat yang diduga dilakukan oleh kelompok Islam garis keras yang berseberangan dengan pemrintah. Ketegangan tersebut antara lain disebabkan pada akar-akar Islam ideologis politik yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara, sebagaimana yang diperlihatkan oleh sebagian tokoh Masyumi dan gerakan yang ingin mendirikan negara Islam. Dalam kurun waktu 16 tahun pertama yang menggunakan pendekatan ideologis politis ini umat Islam masih sering dituduh sebagai kelompok ekstrem kanan. Namun pada 16 tahun kedua hubungan politik antara umat Islam dan pemerintah Orde baru mencair, bahkan menunjukkan keadaan harmonis dan penuh pengertian yang mendalam. Terjadinya keadaan tersebut antara lain disebabkan karena terjadinya perubahan yang semula bersifat ideologis politis, menjadi bersifat kultural, substantif, dan inklusif. Yaitu pendekatan yang melihat Islam sebagai sebuah agama yang membawa misi rahmat bagi seluruh alam yang harus diterjemahkan ke dalam program-program konkret yang terkait dengan penanganan masalah umat, seperti masalah keterbelakangan dalam bidang ekonomi, kebodohan, ketertinggalan dalam penguasaan teknologi, dan lingkungan yang kumuh. Dalam konteks ini, Islam harus terlibat,mendukung, dan berperan aktif dalam usaha-usaha pembangunan yang dilaksanakan pemerintah dengan tidak mempersoalkan masalah ideologi atau simbol-simbol Islam. Dengan pendekatan ini, jarak dan ketegangan antara umat Islam dan pemerintah dengan sendirinya akan hilang. Pendekatan ini antara lain dipelopori oleh Nurcholish Madjid dan kawan-kawannya di Himpunan Mahasiswa Islam. Pada saat sebagian kelompok Islam masih mengedepankan pendekatan ideologis politis, Nurcholish Madjid misalnya mengeluarkan statement “Islam Yes, partai Islam No.” Yang artinya, bahwa Nurcholish Madjid setuju agar Islam dalam arti substansi, misi, dan agenda utamanya memberi rahmat bagi seluruh Islam-lah yang seharusnya digunakan sebagai pendekatan dalam memperjuangkan Islam di Indonesia, dan bukan Islam dalam arti partai, ideologi, dan simbol. Pendekatan ideologis politis tersebut menurut Nurcholish Madjid sama sekali tidak menguntungkan, melainkan hanya merugikan umat Islam, sebagaimana yang sebelumnya dilakukan. Gagasan Nurcholish Madjid ini semula ditentang oleh kelompok Islam tradisionalis garis keras yang ideologis politis. Namun berkat kegigihannya dalam memperjuangkan ide ddaan gagasannya, akhirnya ide dan gagasan Nurcholish Madjid lah yang tampak menunjukkan keberhasilannya.
Kedua, semakin membaiknya ekonomi nasional. Pada zaman Pemerintah Orde Baru, usaha pembangunan ekonomi menjadi primadona dan pilihan utama. Dalam kaitan ini, sumber daya alam Indonesia berupa minyak, hasil tambang, dan lainnya diberdayakan dengan maksimal. Melalui hasil penjualan minyak, Indonesia dapat menghimpun dana yang dilakukan para investor asing juga meningkat tajam, sehingga pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 7%. Melalui dana yang besar inilah, pemerintah Orde Baru dapat membantu program pembaruan pendidikan Islam.
Ketiga, semakin stabil dan amannya pemerintahan. Pada zaman Orde Baru, Indonesia dikenal sebagai negara yang aman dan stabil di kawasan Asia Tenggara. Melalui program penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamatan Pancasila), masyarakat Indonesia tampak makin rukun dan damai. Keadaan ini selanjutnya telah mengundang para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, dan berbagai kegiatan pembangunan dalam bidang pendidikan Islam dapat berjalan dengan keadaan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya.[9]

E.     PENUTUP
Berdasarkan uraian dan analisis sebagaimana tersebut di atas dapat dikemukakan beeberapa catatan penutup sebagai berikut.
Pertama, berdirinya Orde Baru merupakan kritik dan perbaikan atas kekeliruan yang mendasar yang dilakukan oleh pemerintah Orde Lama, yaitu meninggalkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila yang berakibat pada terjadinya tragedi nasional yang merugikan masyarakat. Orde Lama terlalu menekankan segi ideologis politis dinilai telah gagal dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kedua, sejalan dengan permasalahan tersebut di atas, pemerintahan Orde Baru memusatkan perhatian utamanya pada pembangunan ekonomi yang didukung oleh stabilitas nasional dengan menggunakan pendekatan sentralistik dan monoloyalitas yang ditopang oleh tiga pilar utama, yaitu peemerintah/birokrasi, angkatan beersenjata, dan kaum konglomerat.
Ketiga, kondisi pendidikan Islam pada zaman Orde Baru jauh lebih berkembang dibandingkan dengan keadaan pendidikan Islam di zaman Orde Lama. Pada zaman Orde Baru, pendidikan Islam masuk ke dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan Islam, khususnya madrasah dan pesantren, telah diperbarui dalam seluruh aspeknya, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik, peningkatan mutu pendidikan Islam, peengembangan kelembagaan, kurikulum, manajemen pengelolaan,dan sumber daya manusia. Pada zaman Orde Baru juga telah bermunculan lembaga pendidikan Islam nonformal di perkotaan, khususnya majelis taklim, serta berdirinya berbagai lembaga keuangan, penerbitan, lembaga sosial, dan peradilan yang bernapaskan Islam.
Keempat, dengan adanya usaha-usaha pembaruan pendidikan Islam tersebut, maka umat Islam tidak lagi termarginalisasikan dalam kehidupan, melainkan sudah dapat mengambil peranan yang signifikan dalam pembangunan nasional, yang selanjutnya telah melahirkan elite Muslim kelas menengah dan atas. Umat Islam sudah banyak yang menempati posisi-posisi strategis pada lembaga pemerintah maupun swasta, seperti ada yang menjadi menteri, anggota DPR, anggota Dewan Pertimbangan Agung, pimpinan partai politik, dan perwira tinggi.
Kelima, terjadinya kemajuan pendidikan Islam di zaman Orde Baru antara lain karena adanya hubungan yang harmonis antara umat Islam dengan pemerintah, pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi, serta stabilitas nasional yang terkendali. Keadaan ini terjadi pada 16 tahun kedua dari masa pemerintahan Orde Baru yang berlangsung lebih kurang 32 tahun. Hubungan yang baik antara pemerintah Orde Baru dengan umat Islam pada 16 tahun terakhir tersebut telah memiliki pengaruh yang luar biasa bagi umat Islam, bukan hanya pada sektor pendidikan Islam saja, melainkan juga pada sektor-sektor lainnya, yakni sektor peran politik umat Islam, peradilan agama, penerbitan, kebudayaan, dan ekonomi. Dengan demikian kejatuhan Orde Baru pada tahun 1998 sesungguhnya merupakan kejatuhan bagi umat Islam.

Catatan Akhir
1.       Pada masa sebelum Orde Baru telah ada Partai Musyawarah Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibubarkan oleh Soekarno. Dengan bangkitnya Orde Baru, Masyumi sesungguhnya berharap bisa bangkit lagi, Tapi nyatanya tidak diizinkan oleh Orde Baru. Sejak awal Orde Baru, pemimpin Masyumi telah mencoba segala kemungkinan untuk menyelamatkan anggota Masyumi yang masih di penjara, di samping merehabilitasi Masyumi itu sendiri. Berbagai organisasi mendukung tuntutan agar Masyumi  direhabilitasi, seperti Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan persatuan sarjana hukum Indonesia (PERSAHI). Tetapi dukungan tersebut tampaknya tidak cukup kuat meyakinkan pemerintah untuk merehabilitasi Masyumi, atau untuk mengizinkan mendirikan partai Islam baru. Rupanya rezim baru, atau lebih jelasnya beberapa pejabat ABRI di pemerintahan takut dengan kebangkitan kekuatan politik Islam baru. Lihat M. Dien Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos Wacaana Ilmu, 1421 H/2001), cet. I, hlm. 33.
2.       Dana Amal Bakti Muslim Pancasila ini dikelola oleh sebuah Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang diketuai oleh Presiden Soeharto. Dana tersebut berasal dari sumbangan para pegawai negeri sipil yang dipotong tiap bulan dari gajinya. Dan setelah Soeharto tidak jadi presiden lagi, dana tersebut dihentikan, dan KORPRI  tersebut juga tidak lagi menjadi organisasi yang berafiliasi ke Golkar, melainkan sebagai organisasi yang memperjuangkana aspirasi pegawai negeri sipil.
3.       Pada masa pemerintah Orde Baru terdapat sejumlah asosiasi para petani yang amat beragam. Misalnya asosiasi petani tembakau, petani cengkih, petani sayuran, petani beras, dan petani ikan (nelayan).
4.       Secara mandiri usaha-usaha modernisasi madrasah sudah dilakukan oleh para pemikir Muslim di Indonesia. Di Sumatra Barat tahun 1907, Abdullah Ahmad mendirikan “Sekolah Adabiyah” . Pada tahun 1915 lembaga itu mengalami transformasi menjadi HIS Adabiyah. Di Jawa Tengah pada 1905 juga berdiri madrasah Mambaul Ulum yang menerapkan sistem klasikal. Muhammadiyah sebagai organisasi sosial Islam bercorak modern, bahkan sudah tidak menyebut lembaga yang didirikannya dengan nama madrasah, tetapi menggunakan istilah sekolah, istilah yang berkonotasi modern. Pembaruan madrasah ini terus berlangsung pada masa Orde lama yang kali ini tidak hanya datang dari masyarakat, tapi juga datang dari pemerintah. Usaha ini berlangsung secara sistematis atas prakarsa pejabat dan birokrat di lingkungan Departemen Agama. Meskipun Orde Lama belum berhasil  mengintegrasikan madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional, namun pemerintah tetap menaruh perhatian terhadap perkembangannya. Pembaruan dan perubahan substansial pada madrasah baru terjadi setelah keluarnya SKB Tiga Menteri, dan lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU ini merupakan monumental bagi perkembangan masyarakat. Melalui UU ini, madrasah dan lembaga lembaga pendidikan Islam lainnya, ditegaskan kembali posisinya sebagai subsistem dari sistem pendidikan nasional. Lihat Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), hal. 69-71
5.       Sebagai upaya para pengelola pesantren untuk senantiasa eksis dan menampung dinamika masyarakat khususnya umat Islam, maka langkah yang diambil adalah menentukan arah pembaruan itu sendiri. Dalam menetukan arah pembaruan di dunia pesantren terdapat paling tidak tiga paradigma yang digunakan, yakni: (1) pengelola yang akomodatif dengan pembaruan, (2) pengelola yang menolak sama sekali perubahan apapun, dan (3) pengelola yaang penuh hati-hati dengan sebagai selektif menerima pembaruan. Tipologi di atas lebih mengacu pada paraadigma pemilikan dan sikap umat terhadap proses modernisasi. Lihat Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Angkatan, 2003), cet. I. HLM. 117.
6.       Modernisasi madrasah dan pesantren terus berlangsung pada masa Orde Baru dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Undang-undang ini merupakan monumental  bagi perkembangan madrasaah. Melalui UU ini, madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lain, ditegaskan kembali posisinya sebagai subsistem  dari sistem pendidikan naional. Oleh karena itu, madrasah juga mempunyai tanggung jawab dalam turut serta menuntaskan wajib belajar sembilan tahun, UU ini juga mempertegas bahwa agama merupakan mata pelajaran wajib yang harus diajarkan di sekolah-sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Lihat Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta Press, 1424 H/ 2003), cet. 1, hlm. 71.
7.       BKMT tampak jelas kiprahnya di Ibu Kota Jakarta, dengan ketua umumnya, Dr. Hj. Tuty Alawiyah yang selanjutnya dipercaya menjadi Menteri Pemberdayaan Kaum Wanita. Dengan diangkatnya Tuty Alawiyah sebagai Menteri tersebut, maka peran dan kontribusi kaum Muslimin dalam bidang pembangunan makin diperhitungkan, dan perkembangan majelis taklim di Jakarta dan daerah-daerah lainnya makin berkembang.
8.       Lihat Sudirman Teba, Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), cet. 1.hlm.249-315.
9.       Gagasan Islam Yes, Partai Islam No, menunjukkan bahwa Nucholish Madjid memandang umat Islam tidak patut mendirikan negara Islam dengan menjadikan Islam sebagai kendaraan politiknya. Pemikiran ini cukup beralasan, mengingat bangsa Indonesia yang sangat majemuk, bukan hanya terdiri dari satu suku, bangsa dan agama saja, melainkan kemajemukan yang sangat kompleks sekali. Lihat Yasmadi, Modernisasi Pesantren, kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan IslamTradisional, (Pisangan Ciputat Press: Quantum Teaaching, 2005), cet. II, hlm. 29.
10.    Islam pada masa Orde Baru ditandai dengan perubahan besar, baik secara institusional maupun dalam bentuk perubahan pemikiran berbagai ajaran agama ini, setidaknya selama satu dasawarsa terakhir. Perubahan itu akan tampak jelas pada perkembangaN Islam dewasa ini dibandingkan dengan masa awal Orde Baru, dan lebih-lebih lagi kalau ditelusuri jauh ke belakang sampai awal abad ini. Perubahan institusional yang dialami oleh Islam pada masa Orde Baru adalah hancurnya institusi lama dan munculnya institusi baru. Perubahan institusi lama ialaah teruama fungsi partai-partai Islam yang melahirkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973, kemudian lenyapnya partai Islam setelah PPP mengganti asasnya, Islam dengan Pancasila dengan muktamar tahun 1984. Adaapun munculnya institusi baru ditandai antara lain dengan terbentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1975, lahirnya Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) tahun 1990, dan Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1990, dan Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991. Lihat Sudirman Teba, Islam Orde Baru, Perubahan Politik dan Keagamaan, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993), cet. 1, hlm.xv.
                                                                                                                                                           









DAFTAR  ISI
Agussalim sitompul. 2008.usaha-usaha mendirikan negara Islam dan pelaksana syariat Islam di Indonesia.jakarta:CV misaka galiza.hlm,
Abuddin Nata, 2003.Kapita Selekta Pendidikan Islam.Bandung: Angkatan
Afan goffar.2006.politik Indonesia.yogyakrta:pustaka pelajar

Moh.mahfud MD.2012.politik hukum di Indonesia.depok:PT Rajagrafindo



[1] Agussalim sitompul. 2008.usaha-usaha mendirikan negara Islam dan pelaksana syariat Islam di Indonesia.jakarta:CV misaka galiza.hlm,175
[2] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Angkatan, 2003), cet. I. HLM. 117
[3] Afan goffar.2006.politik Indonesia.yogyakrta:pustaka pelajar,hlm131
[4] Abudinata, ibid..
[5] Moh.mahfud MD.2012.politik hukum di Indonesia.depok:PT Rajagrafindo,hlm302
[6] Abudinata,ibid.
[7] Agus goffar,hlm 133


0 komentar:

Posting Komentar