Pendidikan pada Zaman Penjajahan Belanda ~ Sejarah Islam

Pendidikan pada Zaman Penjajahan Belanda






Pendidikan Islam Pada Zaman Penjajahan Belanda
A.    Kondisi Pendidikan Islam
Kondisi pendidikan bagi umat islam pada zaman Belanda dari waktu ke waktu demikian memperhatikan karena terus-menerus mendapatkan tekanan dan perlakuan yang tidak menggembirakan. Namun demikian, umat Islam secara terus menerus pula tetap berjuang dan melakukan perlawanan, hingga akhirnya pendidikan Islam mengalami kebangkitan dan kemajuan.
Kemajuan pendidikan Islam tersebut terinspirasi  antara lain oleh gerakan yang lahir di Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia dan Mesir yang dibawa oleh orang-orang yang pulang dari menuntut ilmu di Mekkah dan Mesir.
Kesadaran bahwa pemerintahan kolonial merupakan pemerintah kafir yang menjajah agama dan bangsa mereka, semakin dalam tertanam di benak para santri. Pesantren (kaum tradisional) yang pada waktu itu merupakan pusat pendidikan Islam mengambil sikap anti-Belanda. Karena demikian benci dan anti terhadap Belanda, maka uang yang ditrima sebagai gaji dari pemerintah Belanda dianggap sebagai uang haram. Demikian pula celana dan dasi juga dianggap haram, karena dianggap sebagai identitas Belanda. Sikap ini secara umum diambil oleh kalangan pesantren yang sering disebut kaum santri tradisional. Dengan berdasarkan pada dalil Al-Qur’an dan Al-Hadis yang berisi perintah memerangi orang kafir, dan tidak boleh mengambil pimpinan dari orang kafir, ditambah lagi dengan sikap Belanda yang menyengsarakan rakyat Indonesia, membuat kaum pesantren menaruh sikap curiga dan memusuhi Belanda.  Mereka menolak bentuk bantuan apapun dari pemerintah Belanda dan melarang melakukan berbagai hal yang berbau Belanda. Kelompok inilah yang pada gilirannya bersedia memanggul senjata untuk jihad di jalan Allah, yakni berperang di medan laga untuk mengusir kaum penjajah dan membebaskan rakyat Indonesia dari para penjajah. Dengan merujuk pada ajaran agama, mereka dikenal sebagai memiliki semangat jihad yang tinggi, namun karena terbatasnya persenjataan dan teknik dalam berperang serta belum adanya soliditas yang memadai dari rakyat Indonesia pada umumnya, maka perjuangan kaum santri ini belum membuahkan hasil yang memuaskan.
Sejalan dengan sikap non-kooperatif dan non-okomodatif tersebut yng dilakukan kalangan pesantren, mereka selain mengambil jarak dengan pemerintah Belanda dengan membangun pesantren di daerah pedesaan, juga dengan membangun sistem pendidikan tradisionalyang antara ditandai dan ciri-ciri sebagai berikut: (1) visinya menjadikan Islam sebagaimana terdapat dalam fikih sebagai pedoman hidup yang harus diamalkan dan diajarkan; (2) misinya menanamkan dan mengajarkan agama Isla, memupuk perstuan diantara sesama umat Islam, dan melakukan jihad dengan segenap daya dan kemampuan yang dimilikinya; (3) tujuannya mencetak para ulama ahli agama Islam untuk diterjunkan ke tengah-tengah masyarakat dengan tugas sebagai pemimpin agama, guru, dan penasehat keagamaan; (4) kurikulumnya hanya meliputi ilmu agama Islam baik yang disusun oleh ulama lokal, maupun ulama mancanegara (kitab kuning); (5) pendekatan yang digunakan adalah teacher centris, yakni proses pembelajaran sepenuhnya dilakukan oleh guru, yakni guru menyampaikan atau mentransferkan ilmu agama yang terdapat didalam berbgai kitab kuning tersebut,, baik dari cara membacanya maupun memahaminya; (6) metode yang digunakan adalah metode yang sejalan dengan pendekatan yang berpusat pada guru tersebut, seperti halaqah, yaitu guru duduk dihadapan para santri, kemudian membacakan dan menjelaskan isi kitab dan diakhiri dengan meminta beberapa santri untuk mengulanginya, sedangkan murid menyimak bacaan guru, memberi harakat, memberi terjemah atau arti perkata yang terdapat dalam kitab tersebut, dan mengulangi bacaannya di hadapan guru; (7) guru yang bertugas terdiri dari tiga lapis, yang tertinggi adalah kiai (syekh), yang kedua guru senior (mursyid/ustadz), dan yang ketiga guru junior (mu’id/asisten); (8) santri (murid) yang belajar adalah putra putri yang berasal dari daerah sekitar pesantren, dan adapula beberapa santri yang datang dari berbagai daerah dan provinsi di Indonesia, terutama pada santri yang belajar di pondok pesantren yang tergolong besar dan ternama; (9) sarana pra-sarana terdiri dari masjid, pondokan tempat tinggal para santri, rumah kiai, aula tempat belajar, dan kitab kuning; (10) pengelolaan tidak berlaku secara formal, melainkan dilakukan oleh kiai yang dibantu oleh beberapa santri senior dengan menggunakan sekretariat yang terintregrasi dengan rumah kiai, dengan menggunakan manajemen sentralistik yang berbasis pada karisma kiai; (11) biaya berasal dari kekayaan yang dimiliki kiai serta sedekah, infak, dan hibah dari para dermawan yang jumlahnya tidak pasti, serta tidak dilakukan pembekuan, melainkan secara langsung dikelola oleh kiai yang dibantu oleh para santri yang dipercaya; (12) lulusan ditentukan oleh sejumlah kitab yang telah tamat dipelajari dan dipandang cakap untuk mengajarkannya kepada orang lain yang didasarkan pada penilaian kiai dan komunitas pesantren, yakni bahwa santri tersebut sudah menamatkan dan menghafal sejumlah kitab, hafal Al-Qur’an, dan kepribadian sebagai Muslim yang baik. Lulusan tersebut tidak mendapatkan ijazah atau surat tamat belajar, karena orientasinya tidak untuk mendapatkan atau melamar pekerjaan secara formal; (13) kerjasama dilakukan secara informal dan konvensional, yaitu bahwa kerjasama tersebut bersifat gessencheef, yakni didasarkan pada kesamaan asal daerah, asal pendidikan, geneologi, dan hal-hal lain yang sifatnya lebih personal, emosional dan kultural; (14) lingkungan bersifat religius sufistik, yaitu lingkungan yang ditandai olehpengamalan nilai-nilai sufistik, seperti shalat berjama’ah, shalat tahajud, shalat dhuha, zikir, wirid, berdoa, membaca Al-Qur’an, puasa sunah, praktik hidup sederhana (zuhud), ikhlas, tawakal, ridha, qana’ah, tawadlu, wara’i, sabar, syukur, menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, yang semuanya ini dapat membentuk kultur atau budaya santri/budaya pesantren.
Namun demikian, terdapat pula sikap okomodatif dan kompromi yang dilakukan kaum pembaru, diluar pesantren yang selanjutnya dikenal dengan nama kaum modernis. Kaum modernis ini mengambil sikap yang okomodatif yang proposional. Yakni, tidak antipati atau menolak tetapi juga tidak terlalu dekat dengan Belanda, karena dalam pandangan mereka, umat islam harus banyak belajar kepada orang Barat agar pintar dan berwawasan luas, sehingga tidak dibodohi dan dijajah terus-menerus. Mereka yang tergolong mengambil pelajaran sari Belanda secara selektif dan proposional ini antara lain dari kalangan umat Muhammadiyah, dan sebgian tamatan perguruan tinggi di Mesir yang terpengaruh gagasan dan pemikiran modernis Islam. Sikap kooperatif ini ditandai dengan memperlakukan Belanda sebagai mitra, bukan sebagai musuh yang harus ditakuti, sehingga bisa diajak kerjasama dalam membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan kaum pribumi yang mayoritas beragama Islam. Kaum modernis selanjutnya berpendapat bahwa mereka setidaknya dapat dimanfaatkan sebanyak-banyaknya bagi keuntungan Indonesia dalam memajukan pendidikan. Salah satu hasil dari pendekatan kooperatif ini antara lain adanya sekolah-sekolah yang berada dibawah naungan Muhammadiyah dan Adabiyah School yang didirikan Abdullah Ahmad di Padang yang mendapatkan bantuan biaya dan tenaga guru dari pemerintah Belanda. Corang respon umat Islam yang progresif ini memandang bahwa tekanan pemerintah Belanda itu merupakan kebijakan yang diskriminatif. Caranya adalah dengan mengambil hal-hal positif yang terdapat pada sistem pendidikan Belanda dan menjauhi hal-hal yang tidak sejalan dengan prinsip ajaran Islam. Untuk itu perlu diimbangi dengan membangun model pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan Belanda, namun jiwanya tetap Islami. Usaha umat Islam dalam bidang pendidikan adalah mencapai kesetaraan dan kesejajaran, baik dalam berbagai aspek pendidikan, seperti kelembagaan, kurikulum, guru, pendekatan dan metode pengajaran, serta lainnya. Ketergantungan pada tekanan penjajah justru akan semakin melemahkan posisi umat Islam sendiri. Sebaliknya membiarkan sikap defensi terus menerus semakin memberi ruang yang lapang bagi gerakan pendidikan pemerintah Belanda. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini diperlukan upaya mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan secara mandiri yang produknya sama dengan sekolah ala Belanda, tetapi tidak tercabut dari akar keagamaan.
Hasil nyata dari upaya ini antara lain dapat dilihat dari hal-hal sebagi berikut. Pertama, lahirnya para ulama besar yang memiliki pengaruh baik di dalam maupun mancanegara, sebagaimana tergambar pada buku Jaringan Ulama Nusantara dan Timur Tengah Abad ke XVII dan XVIII Masehi Nur al-Din al-Raniri (w.1068), Abdurrauf al-Sinkili (1042-1105 H), Muhammad Yusuf al-Mkasari (1037-1111 H). Dam lain-lain. Sementara itu pembaruan pemikiran Islam Indonesia yang terjadi diawal abad ke-19, terutama di Sumatera Barat dan Jawa pada umumnya berkisar pada dimensi gerakan pendidikan, sosial, dan politik. Namun demikian, yang menjadi pusat perhatian pembaruan adalah pemikiran keagamaan. hal ini dapat di mengerti, karena lembaga pendidikan dan sosial yang ada oada saat itu masih bersifat tradisional dan terpusat di pedesaan.
Selain itu, terdapat pula kelompok umat Islam yang sepenuhnya mengambil model pendidikan Belanda, dan kurang memerhatikan nilai-nilai ajaran Islam. Mereka itu adalah orang-orang yang terpengaruh oleh gagasan dan pemikiran sekularisme dari Kemal Attaturk di Mesir. Upaya yang dilakukan kelompok kedua ini mengambil bentuk gerakan mendirikan lembaga pendidikan formal yang lebih sistematik sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam hubungan ini orang bisa berkata, bahwa kehadiran Belanda di Indonesia selain amat banyak merugikan dan menyengsarakan bangsa Indonesia yang umumnya beragama Islam, juga telah memberikan kesadaran kepada umat Islam untuk mengejar ketertinggalannya dari bangsa lain dalam segala bidang kehidupan. Kesadaran ini telah mendorong umat Islam untuk bagkit mngatasinya dengan terlebih dahulu meningkatkan sumber daya manusia melalui peningkatan mutu pendidikan. Dalam kaitan inilah, maka dikalangan umat Islam terdapat gerakan pembaruan pendidikan Islam yang secara sistematik dan teknis meniru pola pendidikan Belanda, namun secara jiwa dan muatannya tetap dijiwai oleh ajaran Islam dan semangat modernisasi. Gerakan pembaruan pendidikan tersebut mengambil bentuk mendirikan madrasah yang terdapat di jawa yang relatif lebih baik dan maju. Lembaga pendidikan Islam yang mengambil corak pembaruan antara lain Adabiyah School (1909 M), Diniyah School Lanai al-Yunusi (1915 M), dan Sumatera Tawalib di Sumatera Barat. Kemudian diikuti oleh Madrasah Nahdlatul Ulama di Jawa Timur, Madrasah Muhammadiyah di Yogyakarta, Madrasah Tasywiq Thulab di Jawa Tengah, Madrasah Persatuan Umat Islam di Jawa Barat, Madrasah Jami’at al-Khair di jakarta, Madrasah Amiriah Islamiah di Sulawesi, dan Madrasah Sulthaniyah di Kalimantan. Dalam perkembangan selanjutnya, lembaga pendidikan Islam (madrasah) mulai terpengaruh oleh sistem pendidikan modern, yaitu sekolah, baik dalam sistem maupun bentuknya, dan lain sebagainya, disamping memuat pelajaran agama, juga memuat mata pelajaran umum. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok tradisional yang semula hanya mengelola pendidikan yang sepenuhnya agama, sebagaimana pesantren, juga mendirikan madrasah.
Dengan demikian, terdapat tiga sikap yang ditempuh umat Islam dalam merespons kebijakan pendidikan Belanda. Pertama, kelompok yang mengisolasi diri atau non-kooperatif dengan kebijakan Belanda. Sikap non-kooperatif adalah sikap yang menjadikan Belanda sebagai musuh yang harus dibenci dan dijauhi. Mereka berpendapat bahwa kerjasama dengan Belanda tidak dapat dibenarkan, baik secara akidah maupun kemanusiaan. Sikap non-kooperatif  ini banyak dilakukan oleh para ulama salaf yang memimpin pesantren yang pada umumnya terbesar di pedesaan. Kedua, kelompok yang bersifat okomodatif secara selektif dan proposional. Ketiga, kelompok yang sepenuhnya mengambil model pendidikan Belanda. Tetapi dalam perjalanan selanjutnya, kaum modernis pun memutuskan hubungan untuk tidak lagi mau kerjasama dengan Belanda, karena Belanda kian semena-mena dalam memperlakukan bangsa Indonesia.
B.     Penutup
Berdasarkan uraian dan analisis sebagaimana tersebut diatas, dapat dikemukakan beberapa catatan kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, kedatangan Belanda ke Indonesia pada mulanya untuk tujuan berdagang dan kemakmuran para pengusaha dan negaranya. Namun setelah mereka mendapatkan keuntungan yang berlimpah, dilanjutkan dengan tujuan politik dan misioner Kristen. Yakni menguasai pemerintahan Indonesia serta menyebarkan agama Kristen. Tujuan kedatangan Belanda ini selanjutnya dirumuskan dalam tuga G, yaitu Gold (emas/ekonomi), Glorius (kekuasaan/kejayaan negara), dan Gospel (gereja/agama Kristen).
Kedua, penjajahan Belanda di Indonesia berlangsung selama 350 tahun yang dapat dibagi kedalam dua periode. Pertama, periode perintisan yang dimulai dengan mendaratnya kapal dagang pada tahun 1595 yang dipimpin Cornelis de Houtman, hingga tahun 1824. Pada periode pertama ini Belanda belum sepenuhnya dapat menguasai Indonesia, mengingat kondisi di masing-masing wilayah di Indonesia tidaklah sama. Ada wilayah yang mudah dikuasai Belanda, yaitu wilayah yang keislamannya  belum kuat, dan ada wilayah yang sukar dikuasai Belanda, yaitu wilayah yang keislamannya sudah kuat. Kedua, periode penjajahan yang sepenuhnya, yaitu sejak terbunuhnya Pangeran Diponegoro dalam perang Diponegoro tahun 1825 sampai dengan tahun 1942.
Ketiga, dibandingkan dengan negara penjajah lainnya, seperti Inggris dan Prancis, penjajah Belanda termasuk yang paling kejam terhadap rakyat jajahannya. Disamping mengeruk dan memeras hasil bumi Nusantara, Belanda juga memperbudak dan memperbodoh bangsa Indonesia hidup dalam kebodohan dan kemiskinan yang selanjutnya dapat melenggangkan penjajahannya. Perhatian Belanda kepada rakyat jajahannya dalam bidang pendidikan dilakukan pada masa akhir penjajahannya, yaitu setelah mereka mendapatkan tekanan dari dunia internasional dan dilaksanakannya politik balas budi (politic ethic). Kebijakan Belanda dalam bidang pendidikan untuk rakyat Indonesia sangat diskriminatif, baik dari segi kualitas, srana prasarana, tjuan, pembiayaan, dan kelanjutan studi. Belanda meberikan pendidikan yang tidak bermutu kepada rakyat Indonesia, dengan tujuan agar rakyat Indonesia dapat membaca dan menulis untuk mematuhi peraturan yang dibuat oleh Belanda, serta untuk menjadi tenaga rendahan pemerintah Belanda. Selain itu, Belanda juga melakukan prograam Belandanisasi, yaitu dengan cara mengirim pelajar Indonesia untuk tugas belajar di Belanda sambil dibersihkan pola pikir (cuci otak), sikap, dan kepribadian Indonesianya, sehingga ia menjadi orang Indonesia yang berjiwa Belanda.
Keempat, kehadiran Belanda di Indonesia yang demikian itu telah menimbulkan tiga respon yang berbeda:
1.      Respons non-kooperatif, yakni menjauh, memusuhi, mencurigaidan membenci Belanda. Upaya ini dilakukan dengan cara tidak mematuhi berbagai peraturan yang dibikin pemerintah Belanda., melarang meniru Budaya Belanda, dan mengharamkan segala sesuatu yang berbau Belanda. Respons ini dilakukan oleh kalangan agama dengan lembaga pendidikannya yang berbasis pesantren.
2.      Respons kooperatif, yakni sikap menerima dan okomodatif secara selektif dan proposional, yakni menerima hal-hal positif dan meninggalkan hal-hal yang negatif dari Belanda, dengan cara mendirikan madrasah yang menggunakan sistem Belanda, namun dengan jiwa agama dan kebangsaan.
3.      Respon menerima sepenuhnya, yaitu mereka yang kurang memiliki dasar agama yang kuat dan banyak di pengaruhi oleh pendidikan dan budaya Belanda.
Kelima, kehadiran Belanda di Indonesia selain mendatangkan malapetaka dan menyengsarakan rakyat Indonesia, juga telah menyadarkan bangsa Indonesia untuk bangkit dari ketertinggalannya dalam segala bidang. Upaya ini antara lain dilakukan dengan cara mendirikan lembaga pendidikan yang unggul dan modern, atau dengan cara menimba ilmu di luar negeri.
Keenam, keadaan pendidikan Islam di Indonesia selama masa penjajahan Belanda pada umumnya dalam keadaan memprihatinkan, sebagai akibat dari kebijakan pemerintah Belanda yang sangat diskriminatif. Pendidikan Islam yang ada di zaman Belanda sebagian besar dalam bentuk pesantren tradisional yang kurang memerhatikan ilmu modern dan keduniaan, dan sebagian kecil dalam bentuk madrasah yang sudah menerapkan model dan sistem pendidikan Belanda. Jumlah pendidikan lembaga tradisional ini jauh lebih banyak dibandingkan lembaga pendidikan madrasah.

0 komentar:

Posting Komentar