Secara empiris
dalam sistem pendidikan kita masih ditengarai adanya orientasi pembelajaran
yang masih menekankan pada ranah kognitif dan mengesampingkan ranah afektif dan
psikomotor. Bahkan seperti yang diungkapkan oleh Jamaluddin, peneliti CIDIES
Ditjen Binbaga Departemen Agama,[1] bahwa pedagogi yang diterapkan di dunia pendidikan di Indonesia,
termasuk pembelajaran agama, sejauh ini lebih menekankan pada penguasaan materi
pengetahuan ketimbang bobot spiritualnya. Atau dalam ungkapan lain, proses
pembelajaran yang terjadi pada pendidikan lebih menekankan IQ (intelectual
quotient), ketimbang SQ (spiritual quotient) atau EQ (emotional
quotient).
Dalam sebuah
survey yang dilakukan oleh tim Universitas Indonesia (UI), membuktikan, bahwa
pelajaran dan guru yang tidak favorit di kalangan siswa adalah pelajaran dan
guru agama. Kenapa? Salah satu sebabnya ternyata adalah, pendekatan yang
digunakan amat verbalistik, tidak menyentuh pada kesadaran emosional siswa.[2] Dari sinilah saatnya kini kita mencari paradigma pendidikan yang
memadukan antara tiga ranah tersebut (kognitif, afektif psikomotor) untuk
membentuk kepribadian subjek didik secara utuh.
J. Drost dalam
tulisannya, Manajemen Berbasis Sekolah,[3] menjelaskan bahwa tanggung jawab pokok untuk pembentukan moral dan
intelektual pelajar (peserta didik) terletak pada pengajar (guru). Oleh sebab
itu menurut Drost, seorang pengajar (guru) diharuskan mengenal para peserta
didik terlebih dulu (mengenali bakat, potensi, perilaku serta latar belakang
keluarga). Dalam soal pengajaran Drost memberikan beberapa norma mengajar yang
baik yang dianggap sebagai konsep hakiki komunitas sekolah dan peran mengajar
sebagai yang paling menentukan, yaitu: seorang guru ketika mengajar harus
sabar, tahu cara menunjukkan kesalahan mereka; mampu mencari waktu yang tepat
untuk menegur mereka; lebih cepat memuji daripada mencela; bila teguran
diperlukan tidak pernah dengan nada membenci; menciptakan suasana kelas yang
familier; penuh kekeluargaan.
Menurut J. Drost,
teladan pribadi guru lebih penting sebagai sarana guna membantu peserta didik
berkembang dari pada uraian atau penjelasan itu sendiri. Dalam komunitas
sekolah guru akan mempengaruhi pembentukan watak peserta didik secara positif
atau negatif lewat sosok pribadinya sebagai yang diteladani. (Dalam ungkapan bijak
Islam berbunyi, lisan al-hal afshahu min lisan al-maqal). Menurut Drost,
guru adalah ibarat kota di atas bukit, artinya perilaku guru lebih seru
gaungnya ketimbang suaranya.
Oleh sebab itu
menurut Drost ada langkah-langkah yang perlu ditempuh oleh seorang guru dalam
mengajar: pertama, perlu menciptakan kondisi yang tertib dan tenang
dalam kelas, memahami tujuan dan pencapaian pelajaran; kedua, tujuan
belajar supaya disesuaikan dengan kemampuan peserta didik dengan memberikan
materi pelajaran sesuai dengan kemampuan mereka (biqadri ‘uqulihim, demokratis);
ketiga, mengadakan latihan-latihan (harian, mingguan, bulanan dan
tahunan). Tetapi latihan-latihan tersebut supaya bersifat reflektif, tidak
membosankan; keempat, perlu ada variasi pelajaran, dan waktu belajar
paling lama dua jam, selebihnya harus ada waktu istirahat dan sejauh mungkin
belajar harus menjadi aktivitas yang menyenangkan, oleh sebab itu perlu
dikembangkan minat dan bakat peserta didik (seni, olah raga dst).
Kitab Ta’lim al-Muta’allim yang ditulis oleh Az-Zarnuji
adalah kitab tuntunan atau panduan belajar bagi peserta didik sekaligus panduan
bagi pendidik yang sangat populer di hampir seluruh pesantren di Indonesia.
Begitu populernya hingga kitab Ta’lim al-Muta’allim telah dicetak di
berbagai negara baik di Barat maupun di Timur, misalnya di Jerman, Libzig,
Tunisia, Mesir dan seterusnya. Kitab tersebut oleh kebanyakan ahli dinilai sebagai
kitab yang cukup memadai untuk dijadikan tuntunan peserta didik agar dapat
mencapai sukses dalam belajar serta menjadi insan yang utuh, berkepribadian.
Mahalli dan Mujawazah (1994) menilai, bahwa kitab Ta’lim
al-Muta’allim memiliki kontribusi besar dalam membendung pengaruh
rasionalisme yang terbukti banyak membawa ekses negatif. Pada masanya kitab
tersebut telah tampil sebagai alternatif untuk mengatasi ekses-ekses
rasionalisme terutama pada zaman Murad Khan pada abad XIV.
Menyadari akan pentingnya makna pendidikan bagi terbentuknya
generasi yang memiliki kepribadian, di tengah hiruk pikuk kehidupan yang serba
materialistik dan rasionalistik ini, maka kitab Ta’lim al-Muta’allim yang
diasumsikan sebagai karya kependidikan klasik yang didasarkan pada nilai-nilai
islami, besar artinya jika dikaji kembali secara kritis, terutama di kalangan
peserta diidk dalam rangka memperoleh wawasan kependidikan yang utuh yang
menyelaraskan pengembangan potensi akal dan etik, zikir, dan pikir.
Bertitik tolak dari konteks di atas, maka tulisan ini ingin
mengungkap, metode belajar menurut Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim
al-Muta’allim, dan masih relevankah metode belajar tersebut jika diterapkan
dalam konteks pembelajaran kini?
A.
Riwayat Hidup Az Zarnuji
Burhan Al Islam Az Zarnuji dikenal dengan panggilan Az Zarnuji, berasal dari kota zarnuj,
yaitu suatu negeri yang menurut Al Qarasyi berada di Turki dan menurut Yaqut Al
Hamami terletak terletak di Turkistan, di seberang sungai Tigris. Az Zarnuji
adalah pengikut mazhab Hanafi.[4] Mazhab tersebut dianut oleh orang orang Turki dan keturunan-nya di
berbagai penjuru dunia. Di antaranya di Turkistan, Afganistan, dan Pakistan.
Ciri utama mazhab tersebut adalah mengandalkan ra’yu dan analogi.[5]
Pada saat Az Zarnuji hidup, kalaupun keadaan politik dan militer
Daulah Islamiyah merosot, namun tidak demikian halnya keadaan ilmu pengetahuan.
Bahkan pada masa itu, ilmu pengetahuan tambah menanjak maju. Jarji Zaidan
menyatakan bahwa zaman keemasan Islam adalah masa Daulah Abbasiyah periode keempat
(467 656 H), sebab dalam masa tersebut berbagai ilmu pengetahuan telah tumbuh
dengan pesat dan berbagai kitab telah ditulis, seperti ilmu bahasa, sejarah,
geografi sastra dan filsafat.[6] Dengan demikian, berarti Az Zarnuji hidup di masa kejayaan ilmu
pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan masih juga berlangsung
sampai pada abad keempat belas. Perlu diingat bahwa ilmu pendidikan pada masa
itu belum merupakan cabang ilmu tersendiri, tetapi masih dikelompokkan pada
bidang akhlak.
Az Zarnuji belajar di Bukhara dan Samarqan, yaitu kota yang menjadi
pusat kegiatan keilmuan. masjid masjid di kedua kota tersebut dijadikan
berbagai lembaga pendidikan yang diasuh antara lain oleh Burhan Ad Din Al
Marghinani, penulis kitab Al Hidayah dan puteranya, Nizan Ad Din Ibnu
Burhan Ad Din Marghinani, Syams Ad Din Abu Al Wajdi Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu
Abd As Satar Al ‘Amadi dan lain lain.[7] Kepada beliau beliau itulah Az Zarnuji belajar dan menimba ilmu.
Selain tiga orang tersebut, Az-Zarnuji belajar kepada: Ali Ibnu Abu Bakr Ibnu
Abd Al Jalil Al Farghani Al Marghina Ar Rusytani, Rukn Al Islam Muhammad Ibnu
Abi Bakr, Ahli fiqh sastra dan syair, wafat pada tahun 573 H/1177 M; Hammad
Ibnu Ibrahim, ahli fiqh, sastra dan ilmu kalam, wafat pada tahun 576 H/1180 M,
Burhan Ad Din Al Kasyani, wafat tahun 587 H/1191 M., Fakhr Ad Din Al Hasan Ibnu
Mansur yang dikenal dengan Qadli Khan, wafat tahun 592 H/1196 M., Rukn Ad Din
Al Farghani ahli sastra dan syair, wafat tahun 594 H/1098 M., Al Imam Sadid Ad
Din Asy Syirazi.[8]
B.
Isi Kitab Ta’lim Al Muta’allim
1.
Hakikat Ilmu dan Keutamaannya
Belajar itu hukumnya fardlu bagi setiap muslim, baik laki
laki maupun perempuan. Namun demikian, menurut Az Zanuji manusia tidak
diwajibkan mempelajari segala macam ilmu, tetapi hanya diwajibkan mempelajari ilm
al hal pengetahuan pengetahuan yang selalu diperlukan dalam menjunjung
kehidupan agamanya. Dan sebaik baik amal adalah menjaga hal-hal.
Di samping itu, manusia juga diwajibkan mempelajari ilmu yang
diperlukan setiap saat. Karena manusia diwajibkan shalat, puasa dan haji, maka
ia juga diwajibkan mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan kewajiban
tersebut. Sebab apa yang menjadi perantara pada perbuatan wajib, maka wajib
pula hukumnya.
Demikian pula, manusia wajib mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan berbagai pekerjaan atau kariernya. Seseorang yang sibuk dengan tugas
kerja-nya (misalnya dagang), maka ia wajib mengetahui bagaimana cara
menghindari yang haram. Di samping itu, manusia juga diwajibkan mempelajari
ilmu ahwal al-qalb, seperti tawakkal, ridla dan sebagainya.
Akhlak yang baik dan buruk serta cara menjauhi-nya, menurut Az Zarnuji
juga harus dipelajari, agar ia senantiasa bisa menjaga dan menghiasi dirinya
dengan akhlak mulia. Mempelajari ilmu yang kegunaannya hanya dalam waktu waktu
tertentu, hukumnya fardlu kifayah, sedangkan mempelajari ilmu yang tidak ada
manfaat-nya atau bahkan membahayakan adalah haram hukumnya.
Ilmu menurut Az Zarnuji adalah sifat yang kalau dimiliki oleh
seseorang, maka menjadi jelaslah apa yang terlintas di dalam pengertiannya.
Adapun fiqh adalah pengetahuan tentang kelembutan kelembutan ilmu. Sedangkan
menurut Abu Hanifah, fiqh adalah pengetahuan tentang hal hal yang berguna dan
berbahaya bagi diri seseorang. Dan menurut Abu Hanifah bahwa ilmu itu hanya
untuk diamalkan, dan mengamalkan disini berarti meninggalkan dirinya demi
akhirat.
Sedangkan mengenai keutamaan ilmu, Az Zarnuji mengutip ungkapan
seorang penyair sebagai berikut :
“Belajarlah, karena ilmu adalah hiasan bagi penyandangnya,
keutamaan dan tanda semua akhlak yang terpuji. Usahakanlah, setiap hari
menambah ilmu dan berenanglah di lautan ilmu yang bermanfaat. Belajarlah ilmu
fiqh, karena ia pandu yang paling utama pada kebaikan, taqwa dan adilnya orang
yang paling adil. Ia adalah tanda yang membawa pada jalan petunjuk ia adalah
bentengyang menyelamatkan dari segala kesulitan. Karena seorang ahli fiqh yang
menjauhi perbuatan haram adalah lebih membahayakan bagi setan daripada seribu
orang yang beribadah.”[9]
Az Zarnuji mengakui banyaknya ayat al Qur’an dan Hadis yang
menunjukkan keutamaan ilmu, tetapi dia sengaja tidak menguraikannya, agar tidak
terlalu berkepanjangan.
2.
Niat di waktu Belajar
Niat adalah
asas segala perbuatan. Oleh karena itu, niat di dalam belajar adalah wajib.
Dikatakan Az Zarnuji bahwa ada sabda Nabi saw yang berbunyi:
Banyak amal
perbuatan yang bercorak amal dunia, tetapi karena baiknya niat menjadi amal
akhirat. Dan banyak amal yang bercorak akhirat, tetapi menjadi amal dunia
karena jeleknya niat.[10]
Belajar
hendaknya diniati untuk mencari ridla Allah, memperoleh kebahagiaan akhirat,
berusaha memerangi kebodohan sendiri dan orang lain, mengembangkan dan
melestarikan Islam serta mensyukuri nikmat akal dan badan yang sehat. Jangan
sampai niat untuk mencari pengaruh, kenikmatan duniawi atau kehormatan di
hadapan orang lain. Sebuah syair Abu Hanifah yang didapatkan Az Zarnuji dari
Syaikh Al Imam Ajall Ustaz Qawam Ad Din Hammad Ibnu Ibrahim Ibnu Isma’il Ash
Shaffar Al Anshari menyebutkan:
Barang siapa
mempelajari ilmu untuk hari kemudian, untunglah ia dapat keutamaan, anugerah
Allah petunjuk jalan. Aduh, amat merugi seseorang yang mempelajari ilmu nan
suci hanya buat sesuap nasi dari hamba Ilahi. Namun demikian, peserta didik
boleh mempunyai niat untuk meraih kemulyaan, asalkan hal tersebut dimaksudkan
untuk amar ma’ruf nahi munkar, bukan untuk kepentingan pribadi dan hawa
nafsunya.
Di samping itu,
Az Zarnuji juga mengingatkan agar peserta didik tidak terpalingkan kepada
masalah masalah dunia yang remeh, kecil dan merusak. Peserta didik jangan
sampai merendahkan diri dengan mengharapkan memperoleh sesuatu yang tidak
semestinya, serta mencegah dirinya dari terlibat dalam hal-hal yang merendahkan
ilmu. Ia harus selalu berbuat tawadlu’, yaitu sikap tengah tengah antara
sombong dan kecil hati.
3.
Memilih Ilmu, Pendidik, dan Teman serta Ketabahan dalam Mempelajari
Ilmu
Peserta didik
hendaknya memilih ilmu yang terbaik dan ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan
agamanya pada waktu itu, lalu yang untuk waktu mendatang. Ia perlu mendahulukan
ilmu tauhid dan ma’rifat beserta dalilnya. Demikian pula, perlu memilih ilmu
‘atiq (kuno).
Dalam memilih
pendidik hendaknya mengambil yang lebih wara’, alim, berlapang dada dan
penyabar. Dan peserta didik juga harus sabar dan tabah dalam belajar kepada
pendidik yang telah dipilihnya serta sabar dalam menghadapi berbagai cobaan.
Seorang penyair mengatakan: “Tak bisa engkau raih ilmu, kecuali dengan enam perkara,
akan kututurkan kepadamu semua itu dengan jelas. Cerdas, ingin tahu, sabar dan
biaya petunjuk pendidik dan waktu yang lama.”[11]
Peserta didik
hendaknya memilih teman yang tekun, wara’, jujur dan mudah memahami masalah.
Dan perlu menjauhi pemalas, banyak bicara, penganggur, pengacau dan pemfitnah.
Seorang penyair mengatakan: “Teman durhaka lebih berbahaya daripada ular yang
berbisa demi Allah Yang Maha Tinggi dan Suci teman buruk membawamu ke Neraka Jahim
teman baik mengajakmu ke Syurga Na’im.”[12]
Di samping itu,
Az Zarnuji juga menganjurkan pada peserta didik agar bermusyawarah dalam segala
hal yang dihadapi. Karena ilmu adalah perkara yang sangat penting, tetapi juga
sulit, maka bermusyawarah disini menjadi lebih penting dan diharuskan
pelaksanaannya. Ada ungkapan: “Satu orang utuh, setengah orang dan orang tak
berarti. Orang utuh yaitu orang yang punya pendapat benar dan mau
bermusyawarah; setengah orang yaitu orang yang mempunyai pendapat benar tetapi
tidak mau bermusyawarah atau turut bermusyawarah tetapi tidak mempunyai
pendapat dan orang tak berarti yaitu orang yang tidak punya pendapat juga tidak
mau bermusyawarah.”[13]
4.
Menghormati Ilmu dan Orang yang Berilmu
Menurut Az
Zarnuji, peserta didik harus menghormati ilmu, orang yang berilmu dan
pendidiknya. Sebab apabila melukai pendidiknya, berkah ilmunya bisa tertutup
dan hanya sedikit kemanfaatannya. Seorang penyair berkata: “Sesungguhnya
pendidik dan dokter tak akan memberi nasehat, bila tak dihormat. Terimalah
penyakitmu, bila kau acuhkan doktermu dan terimalah bodohmu, bila kau tentang
pendidikmu.”[14]
Sedangkan cara
menghormati pendidik diantaranya adalah tidak berjalan di depannya, tidak
menempati tempat duduknya, tidak memulai mengajaknya bicara kecuali atas
izinnya, tidak bicara macam macam di depannya, tidak menanyakan suatu masalah pada waktu
pendidiknya lelah, memelihara waktu yang sudah ditentukan untuk belajar, tidak
mengetuk pintu rumahnya, tetapi sabar menunggu hingga pendidik itu keluar dari
rumahnya, menghormati putra dan semua orang yang ada hubungan dengannya dan
tidak duduk terlalu dekat dengannya sewaktu belajar kecuali karena terpaksa.
Pada prinsipnya, peserta didik harus melakukan hal hal yang membuat pendidik
rela, menjauhkan amarahnya dan mentaati perintahnya yang tidak bertentangan dengan
agama Allah.
Termasuk
menghormati ilmu adalah menghormati pendidik dan kawan serta memuliakan kitab.
Oleh karena itu, peserta didik hendaknya tidak mengambil kitab kecuali dalam
keadaan suci. Demikian pula dalam belajar, hendaknya juga dalam keadaan suci.
Sebab ilmu adalah cahaya, wudlupun cahaya, maka akan semakin bersinarlah cahaya
ilmu itu dengan wudlu. Demikian pula, sebaiknya peserta didik membentangkan
kakiknya ke arah kitab, kecuali bila hal tersebut tidak bermaksud meremehkan.
Peserta didik
hendaknya juga memperhatikan catatan, yakni selalu menulis dengan rapi dan
jelas, agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari. Bentuk kitab sebaiknya
persegi empat, agar lebih mudah dibawa, diletakkan dan dipelajari kembali.
Untuk memuliakan kitab sebaiknya tidak ada warna merah di dalamnya. Di samping
itu, peserta didik hendaknya dengan penuh rasa hormat, ia selalu memperhatikan
secara seksama terhadap ilmu yang disampaikan padanya, sekalipun telah diulang
seribu kali penyampaiannya.
Untuk
menentukan ilmu apa yang akan dipelajari, hendaknya ia musyawarah dengan
pendidiknya, sebab pendidik sudah lebih berpengalaman dalam belajar serta
mengetahui ilmu pada seseorang sesuai bakatnya. Dicontohkan, pada mulanya
Muhammad Ibnu Isma’il Al Bukhari belajar sholat kepada Muhammad Ibnu Hasan,
lalu pendidik tersebut memerintahkannya belajar Hadis yang dinilainya lebih
tepat bagi peserta didiknya. Akhirnya ia mempelajari Hadis dan menjadi salah
seorang tokoh Hadis yang amat terkenal sampai sekarang.
Az Zarnuji juga
meningkatkan agar peserta didik selalu menjaga diri dari akhlak tercela,
terutama sikap sombong. Seorang penyair berkata: “Ilmu itu musuh bagi
penyombong laksana air bah, musuh dataran tinggi. Diraih keagungan dengan
kesungguhan bukan semata mata dengan harta tumpukan. Bisakah agung didapat
dengan harta tanpa semangat. Banyak sahaya menempati tempat merdeka, banyak
orang merdeka menduduki tempat sahaya.”[15]
5.
Sungguh Sungguh, Kontinu, dan Minat yang Kuat
Peserta didik
harus sungguh sungguh di dalam belajar dan mampu mengulangi pelajarannya secara
kontinu pada awal waktu malam dan di akhir malam, yakni waktu antara Maghrib
dan Isya’ dan setelah waktu Sahur, sebab waktu waktu tersebut kesempatan yang
memberkahi.
Peserta didik
jangan sampai membuat dirinya terlalu kepayahan, sehingga lemah dan tidak mampu
berbuat sesuatu. Kesungguhan dan minat yang kuat adalah merupakan pangkal
kesuksesan. Oleh karena itu, barang siapa mempunyai minat yang kuat untuk
menghafal sebuah kitab misalnya, maka menurut ukuran lahiriyah, tentu ia akan
mampu menghafalnya, separuh, sebagian besar, atau bahkan seluruhnya.
Kemalasan
disebabkan oleh lendir dahak yang cukup banyak, yang penyebabnya adalah terlalu
banyak makan dan minum. Cara menguranginya bisa dengan menghayati manfaat dari
makan sedikit yang di antaranya adalah badan menjadi sehat, terhindar dari
badan yang haram dan ikut memikirkan nasib orang lain.
Peristiwa juga
dapat mengurangi lendir dahak, di samping dapat memperlancar hafalan dan
kefasihan lisan serta termasuk sunnah Nabi saw yang bisa memperbesar pahala
shalat dan membaca al Qur’an.
6.
Permulaan Belajar, Kadar Belajar, dan Urutan Ilmu yang Dipelajari
Belajar
hendaknya dimulai pada hari Rabu. Syaikh Burhan Ad Din, Imam Abu Hanifah dan
Syaikh Abu Yusuf Al Hamadani memulai perbuatan baiknya, termasuk belajar pada
hari Rabu. Sebab hari itu Allah menciptakan nur (cahaya), hari sialnya orang
kafir yang berarti hari berkahnya orang mukmin.
Bagi
pemula hendaknya mengambil pelajaran yang sekiranya dapat dikuasai dengan baik
setelah diulangi dua kali. Kemudian tiap hari ditambah sedikit demi sedikit,
sehingga apabila telah banyak masih mungkin dikuasai secara baik dengan
mengulanginya dua kali, seraya ditambah sedikit demi sedikit lagi. Apabila pada
awalnya telah mempelajari banyak dan memerlukan pengulangan sepuluh kali, maka
untuk seterusnya juga harus dilakukan seperti itu. Sesungguhanya kebiasaan itu
akan sulit untuk dihilangkan. Demikianlah Abu Hanifah menjelaskan apa yang
diperolehnya dari Syaikh Al Qadli Imam Umar Ibnu Abu Bakr Az Zanjiyyi. Selain
itu, untuk pemula hendaknya dipilihkan kitab kitab yang kecil, sebab dengan
begitu akan lebih mudah dimengerti dan dikuasai dengan baik serta tidak
menimbulkan kebosanan. Ilmu yang telah dikuasai dengan baik, hendaknya dicatat
dan diulangi berkali kali. Jangan sampai menulis sesuatu yang tidak dipahami,
sebab hal itu bisa menimbulkan kecerdasan dan waktupun hilang dengan sia sia
belaka.
Peserta
didik hendaknya bersungguh sungguh dan memikirkan secara mendalam apa yang
diterimanya dari pendidik serta mengulanginya. Apabila ia meremehkan satu kali,
dua kali hingga menjadi kebiasaannya, maka ia tidak bisa memahami sesuatu
sekalipun mudah. Peserta didik hendaknya juga selalu berdo’a kepada Allah
dengan sungguh sungguh, karena Allah selalu mengabulkan do’a hambaNya. Sebuah
syair yang diterima Az Zarnuji berbunyi sebagai berikut:
Abdilah ilmu
bagaikan anda seorang abdi pelajari selalu, dengan berbuat sopan terpuji. Yang
telah kau hafal, ulangi berkali kali lalu tambatkan dengan tali kuat sekali. Lalu
catatlah agar kau bisa mengulang lagi dan selamanya kau bisa mempelajari.
Jikalau engkau telah percaya tak akan lupa setelah itu, ilmu yang baru masuki
segera. Mengulang ulang ilmu yang dulu jangan terlalai dan bersungguh sungguh
yang ini kan menambahi. Percakapilah mereka, agar ilmu hidup selalu jangan
menjauh, dari siapa berakal maju. Bila ilmu kau sendirikan jadi membeku kau
akan dikenal, jadi si bodoh yang tolol dungu. Api neraka kan membelenggumu
nanti kiamat siksa yang pedihpun menimpamu menjilat jilat.[16]
Diskusi,
menurut Az Zarnuji juga perlu dilakukan oleh peserta didik. Manfaat diskusi
lebih besar daripada sekedar mengulangi, sebab dalam diskusi, selain mengulangi
juga menambah ilmu pengetahuan. Az Zarnuji juga mengingatkan agar diskusi
dilaksanakan dengan penuh kesadaran serta menghindari hal hal yang membawa
akibat negatif.
Karena
diskusi dilaksanakan guna mencari kebenaran, maka tidak akan berhasil bila
disertai kekerasan dan berlatar belakang tidak baik. Peserta didik hendaknya
membiasakan diri untuk memikirkan dengan sungguh sungguh pada pelajaran yang
sulit di setiap waktu. Di samping itu, ia juga perlu pandai pandai mengambil
pelajaran dari siapapun. Ibnu Abbas ketika ditanyai mengenai cara dia
mendapatkan ilmu maka dijawabnya bahwa ia mendapatkan ilmu dengan lisan banyak
bertanya dan hati selalu berpikir.
Peserta
didik hendaknya selalu bersyukur kepada Allah, baik dengan hati, lisan, badan
maupun harta. Hanya dari Allahlah kepahaman, ilmu dan tauhid datang. Dan
kepadaNya pula, hendaknya peserta didik bertawakkal jangan sampai mengandalkan
akal dan kemampuan diri semata.
Peserta
didik hendaknya membiasakan diri senang membeli kitab. Sebab hal itu akan bisa
memudahkan ia belajar dan menelaah pelajarannya. Oleh karena itu, hendaknya
peserta didik berusaha sedapat mungkin menyisihkan uang sakunya untuk membeli
kitab. Menurut Az Zarnuji peserta didik di masa dahulu belajar bekerja dulu,
baru kemudian belajar, sehingga tidak tamak kepada harta orang lain. Ada
ungkapan bahwa barang siapa mencukupi diri dengan harta orang lain, berarti ia
melarat.
Peserta
didik hendaknya dapat memperhitung beberapa kali ia harus mengulangi
pelajarannya serta selalu berusaha untuk memenuhi target tersebut. Sebaiknya
pelajaran kemarin diulang lima kali, pelajaran lusa diulang empat kali, kemarin
lusa tiga kali, pelajaran sebelumnya dua kali, dana sebelumnya lagi sekali.
Cara demikian kan membuatnya hafal. Dalam membaca dan menghapal, sebaiknya
tidak membiasakan dengan suara pelan atau dalam hati dan juga jangan terlalu
keras tapi tengah tengah saja dan penuh semangat. Syaikh Qadli Imam Fakhr
Al-Islam Qadli Khan mengatakan bahwa bagi orang yang mempelajari Fiqh sebaiknya
ia hafal sebuah kitab Fiqh dengan baik, sebab dengan begitu, ia akan lebih
mudah menghapalkan ilmu fiqh yang baru didengarnya. Di samping itu, hendaknya
peserta didik tidak mudah panik dan kebingungan, sebab hal itu bisa
menyulitkannya dalam belajar.
7.
Tawakkal
Dalam
belajar, peserta didik harus tawakkal kepada Allah dan tidak tergoda oleh
urusan rizki. Karena orang yang hatinya terpengaruh oleh urusan rizki, baik
makanan maupun pakaian, maka jarang sekali yang dapat menumpahkan perhatiannya
untuk mencapai akhlak yang mulia dan hal hal yang bernilai tinggi.
Peserta
didik hendaknya tidak digelisahkan oleh urusan duniawi, karena kegelisahan
tidak bisa mengelakkan musibah, bergunapun tidak, bahkan membahayakan hati,
akal, badan dan merusak perbuatan-perbuatan yang baik oleh karena itu,
hendaknya peserta didik berusaha untuk mengurangi urusan duniawi.
Peserta
didik hendaknya bersabar dalam perjalanannya mempelajari ilmu. Perlu disadari
bahwa perjalanan mempelajari ilmu itu tidak akan terlepas dari kesulitan, sebab
mempelajari ilmu adalah merupakan suatu perbuatan yang menurut kebanyakan ulama
lebih utama daripada berperang membela agama Allah. Siapa yang bersabar
menghadapi kesulitan dalam mempelajari ilmu, maka ia akan merasakan lezatnya
ilmu melebihi segala kelezatan yang ada di dunia.
8.
Saat Terbaik Untuk Belajar
Masa
belajar adalah semenjak dari buaian hingga masuk ke liang lahat. Adapun masa
yang cemerlang untuk belajar adalah awal masa muda. Belajar dilakukan pada
waktu sahur dan waktu antara maghrib dan Isya’. Namun sebaiknya peserta didik
memanfaatkan separuh waktunya untuk belajar. Bila telah belajar mempelajari suatu
ilmu hendaknya mempelajari ilmu yang lain. Muhammad Ibnu Al Hasan tidak tidur
semalaman untuk mempelajari buku bukunya. Apabila ia telah jenuh mempelajari
suatu ilmu, lalu berpindah ke ilmu yan lain. Iapun menyediakan air untuk
menghilangkan kantuknya, sebab ia berpendapat bahwa kantuk itu dari panas maka
untuk menghilangkannya harus dengan air dingin.
9.
Kasih Sayang dan Nasehat
Orang
lain hendaknya memiliki rasa kasih sayang, mau memberi nasehat dan jangan
berbuat dengki. Menurut Syaikh Al Islam Burhan Ad Din, banyak ulama yang
mengatakan bahwa putera pendidik dapat menjadi alim, karena pendidik itu selalu
berkehendak agar kelak peserta didiknya menjadi ulama ahli al Qur’an. Kemudian
atas berkat i’tiqad bagus dan kasih sayangnya itulah, puteranya menjadi alim.
Peserta
didik hendaknya selalu berusaha menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Dengan
demikian orang yang benci akan luluh sendiri. Jangan berburuk sangka dan
melibatkan diri dalam permusuhan, sebab hal itu hanya menghabiskan waktu serta
membuka aib sendiri. Seorang penyair berkata: “Jika engkau inginkan musuhmu
mati terhina terbunuh susah, terbakar derita. Maka caranya capailah mulia,
tambahlah Ilmu sebab orang dengki tambah susahnya bila yang didengki tambah
ilmunya.”[17]
10.
Dapat Mengambil Pelajaran
Peserta
didik hendaknya memanfaatkan semua kesempatannya untuk belajar, hingga dapat mencapai
keutamaan. Caranya dengan menyediakan alat tulis di setiap saat untuk
menyiapkan hal hal ilmiah yang diperolehnya. Zain Al Islam pernah menyampaikan
bahwa suatu ketika Hilal Ibnu Yasar berkata: “Kulihat Nabi saw mengemukakan
sepatah ilmu dan hikmah kepada sahabat beliau lalu usulku “Ya Nabi, ulangilah
untukku apa yang telah kau sampaikan kepada mereka”. Maka beliau bertanya
kepadaku “Apakah kamu membawa botol dawat (alat tulis)”. Jawabku: “Tidak”. Maka
beliau bersabda: “Wahai Hilal, janganlah engkau pisah dari botol dawat, karena
sampai hari kiamat kebagusan itu selalu disana dan pada yang membawanya”.[18]
Az
Zarnuji mengingatkan bahwa umur itu pendek dan ilmu itu banyak. Oleh karena itu
peserta didik jangan sampai menyia-nyiakan waktunya, hendaklah ia selalu
memanfaatkan waktu waktu malamnya dan saat saat yang sepi. Disamping itu
peserta didik hendaknya berani menderita dan mampu menundukkan hawa nafsunya.
11.
Wara’ di
Waktu Belajar
Di
waktu belajar hendaknya peserta didik berlaku wara’, sebab dengan begitu
ilmunya akan lebih bermanfaat, lebih besar faedahnya dan belajarpun lebih
mudah. Sedangkan yang termasuk perbuatan wara’ antara lain adalah
menjaga diri dari terlalu kenyang, terlalu banyak tidur dan terlalu banyak
membicarakan hal hal yang tidak bermanfaat. Selain itu bila memungkinkan juga
menghindari makanan masak di pasar yang diperkirakan lebih mudah terkena najis
dan kotoran, jauh dari zikir, dan diketahui orang orang fakir. Sementara mereka
tidak bisa membelinya yang akhirnya berduka lara, sehingga berkahnyapun menjadi
hilang karena hal hal tersebut. Demikian pula, hendaknya dapat menjauhkan diri
dari penganggur, perusak dan pelaku maksiat, sebab pergaulan itu besar
pengaruhnya. Menghadap kiblat waktu belajar, bercerminkan diri dengan Sunnah
Nabi, mohon di doakan oleh ulama ahli kebajikan dan menghindari doa tidak
baiknya orang teraniaya, kesemuanya itu juga termasuk wara’.
Peserta
didik hendaknya menjaga diri dari ghibah dan bergaul dengan orang yang terlalu
banyak bicara agar waktunya tidak habis dengan sia sia belaka. Di samping itu,
jangan sampai mengabaikan adab kesopanan dan perbuatan perbuatan sunnah.
Hendaknya memperbanyak sholat dan melaksanakannya secara khusyuk, sebab hal itu
akan membantunya dalam mencapai keberhasilan studinya. Dalam hal ini Az Zarnuji
juga mengingatkan kembali agar peserta didik selalu membawa buku untuk
dipelajari dan alat tulis untuk mencatat segala pengetahuan yang didapatkannya.
Ada ungkapan bahwa barang siapa tidak ada buku di sakunya maka tidak ada hikmah
dalam hatinya.
12.
Penyebab Hafal dan Lupa
Yang
paling kuat menyebabkan mudah hafal adalah kesungguhan, kontinyu, mengurangi
makan, melaksanakan shalat malam, membaca al Quran, banyak banyak membaca
shalawat Nabi dan berdoa sewaktu megambil buku serta seusai menulis. Selain
itu, minum madu, memakan kandar (sejenis susu) dan minum dua puluh satu zabib
merah setiap hari dan minum dan penuh syukur, juga dapat menyebabkan mudah
hafal disamping bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Adapun
penyebab mudah lupa antara lain adalah perbuatan maksiat, banyak dosa, gelisah
karena urusan duniawi dan terlalu sibuk sengan urusan urusan duniawi. Demikian
pula makan ketumbar, buah apel masam, melihat salib, membaca tulisan pada
nisan, berjalan di sela-sela unta terakit, membuang kutu yang masih hidup ke
tanah dan berbelenggu pada palung tengkuk kepala. Oleh karena itu hendaknya
menjauhi semua itu.
13.
Penyebab Bertambah dan Berkurangnya Rizki
Peserta
didik perlu mengetahui hal-hal yang bisa menambah rizki, umur dan lebih sehat,
sehingga dapat mencurahkan segala kemampuannya untuk mencapai apa yang dicita
citakan.
Bangun
pagi pagi itu diberkahi dan membawa berbagai macam kenikmatan, khusus rizki.
Mampu menulis yang baik juga merupakan kunci memperoleh rizki. Wajah berseri
seri, bertutur kata yang manis dan banyak bersedekah juga bisa menambah rizki.
Adapun penyebab yang paling kuat untuk memperoleh rizki adalah shalat dengan ta’zhim,
khusyu’, sempurna rukun, wajib, sunnah dan adatnya. Demikian pula melakukan
shalat dluha, membaca surat Al Waqi’ah, khususnya di malam hari saat orang
orang tidur, surat Al Mulk, Al Muzammil, Al Lail dan Al Insyirah. Selain itu
juga datang ke masjid sebelum azan, shalat Fajr, shalat witir di rumah dan
berbagai macam doa untuk dikaruniakan rizki.
Demikian
pula, jangan terlalu banyak bergaul dengan lawan jenis, kecuali bila ada
keperluan yang baik. Dan jangan omong kosong yang tidak berguna untuk agama dan
dunianya, sebab barang siapa yang disibukkan oleh perbuatan yang tanpa guna
bagi dirinya, maka yang semestinya akan berguna, menjadi terlewatkan darinya.
Di
antara faktor penyebab tambah umur adalah berbuat kebajikan, tidak menyakiti
orang lain, menghormati sesepuh, bersilaturrahim, memotong pepohonan yang masih
hidup kecuali terpaksa, berwudlu secara sempurna, menunaikan shalat dengan
ta’zhim dan haji serta memelihara kesehatan. Tidur dengan telanjang, kencing
dengan telanjang, makan dalam keadaan junub, membiarkan sisa makanan
berserakan, membakar kulit kerambang dan dasun, menyapu lantai dengan kain atau
di waktu malam, membiarkan sampah berserakan mengotori rumah, lewat di depan
pini sepuh, memanggil orang tua tanpa gelar (seperti pak, bu, mas dan lain
sebagainya), memberssihkan selilit gigi degan benda kasar, melumurkan tanah
atau debu dengan tangan, duduk di beranda pintu, bersandar pada kaki gawang
pintu, berwudlu di tempat orang beristirahat, menjahit pakaian yang sedang
dipakai, menyeka muka dengan kain, membiarkan sarang lebah berada di rumah,
meremehkan ibadah shalat, bergegas keluar masjid setelah shalat shubuh, terlalu
pagi berangkat ke pasar, membeli rerontokan makanan dari pengemis, mendoakan
buruk kepada anak, membiarkan wadah tak tertutupi, mematikan lampu dengan
meniup, menulis dengan pena rusak, tidak mendoakan bagus kepada kedua orangtua,
memakai serban sambil duduk, memakai celana sambil berdiri, kikir, terlalu
hemat atau terlalu berlebihan dalam membelanjakan harta, bermalas-malasan,
menunda nunda dan mudah menyepelekan suatu perkara, semua itu bisa mendatangkan
kefakiran seseorang.
Menurut
Az Zarnuji, peserta didik juga harus belajar ilmu kesehatan dan dapat
memenfaatkannya dalam menjaga kesehatan dirinya. Demikianlah deskripsi isi
kitab Ta’lim Al Muta’allim karya Az Zarnuji. Dia menulis kitab seperti itu, karena
di masanya dia mengetahui banyak peserta didik yang telah belajar dengan
sungguh sungguh, tetapi tidak bisa mendapatkan manfaat dan hasilnya, yakni
mengamalkan dan menyiarkannya. Menurut Az Zarnuji hal tersebut dikarenakan
mereka salah jalan dan meninggalkan syarat syarat yang seharusnya mereka
penuhi. Oleh karena itu, dia menulis kitab Ta’lim Al Muta’allim dengan maksud
menjelaskan kepada para peserta didik tentang cara yang seharusnya mereka
tempuh agar tidak salah jalan, sehingga studi yang ditempuhnya bisa berhasil
secara optimal dan bermanfaat
C.
Pemikiran Pemikiran Az Zarnuji tentang Akhlak Peserta Didik
Karena dalam kitab Ta’lim Al Muta’allim tidak ada suatu bab yang
khusus membahas masalah akhlak peserta didik, maka untuk mendeskripsikan
pemikiran pemikiran Az Zarnuji tentang masalah tersebut, penulis menggunakan
cara dengan mengambil pemikiran pemikiran Az Zarnuji dari berbagai bab yang ada
dalam kitab Ta’lim Al Muta’allim, yang ada kaitannya dengan masalah akhlak
peserta didik. Setelah itu, agar lebih mudah difahami, maka pemikiran pemikiran
tersebut penulis kelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu:
1.
Akhlak kepada Allah
2.
Akhlak kepada Orang Tua
3.
Akhlak kepada Pendidik
4.
Akhlak kepada Teman
5.
Akhlak kepada Masyarakat
6.
Akhlak kepada Diri Sendiri
Demikian pula,
karena dalam kitab Ta’lim Al Muta’allim Az Zarnuji tidak
menyebutkan pengertian akhlak, maka ada baiknya disini diungkap terlebih dahulu
mengenai pengertian akhlak itu sendiri menurut beberapa ahli, karena menurut
Hamzah Ya’qub bahwa perumusan pengertian akhlak itu timbul sebagai media yang memungkinkan
adanya hubungan baik antara makhluq dengan khaliq dan antara makhluq
dengan makhluq.[19]
Adapun
pengertian akhlak menurut bahasa adalah berasal dari bahasa arab akhlaq, berbentuk
jamak yang mufradnya adalah khulaq yang berarti perangai.[20] Dalam pengertian sehari hari, pada umumnya akhlak disamakan dengan
budi pekerti, kesusilaan dan sopan santun,[21] dan tidak berbeda pula dengan arti kata ethic dalam Bahasa
Inggris.[22]
Sedangkan
menurut istilah, sebagian ulama mengartikan bahwa akhlak adalah kebiasaan
kehendak. Berarti bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka
kebiasaannya itu disebut akhlak.[23]
Menurut al
Ghazali bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tetap di dalam jiwa yang dari situ
muncul perbuatan perbuatan secara mudah, tanpa memerlukan pemikiran.[24] Yang dimaksud “tanpa pemikiran” disini, bukan berarti bahwa
perbuatan tersebut dilakukan seenaknya saja oleh pelakunya, akan tetapi justru
perbuatan tersebut berawal dari pertimbangan akal dan rasa. Setelah berulang
kali dilakukan akhirnya menjadi kebiasaan dan mempribadi menjadi akhlaknya.
Karena itu, suatu sifat yang telah menjadi akhlak seseorang, suka memberi
misalnya, akan mendorongnya untuk memberi kepada siapa saja, baik diminta
maupun tidak, tanpa banyak pikir. Dan kata akhlak sering dikonotasikan pada hal
hal yang baik.
Apa yang
dikemukakan oleh al Ghazali di atas, secara esensial tidak berbeda dengan
pandangan Ahmad Amin. Dan makna itulah yang akan penulis jadikan pijakan dalam
membahas akhlak peserta didik.
Adapun
pemikiran pemikiran Az Zarnuji dalam kitab Ta’lim Al Muta’allim tentang akhlak
peserta didik adalah sebagai berikut:
1.
Akhlak kepada Allah
Dari
berbagai ungkapan Az Zarnuji dalam kitab Ta’lim Al Muta’allim, yang berhubungan
dengan akhlak peserta didik kepada Allah adalah mengharap ridla Nya, bersyukur,
tawakkal, dan wara’.[25]
Karena
dalam kitab Ta’lim Al Muta’allim Az Zarnuji tidak menguraikan makna dari
keempat istilah tersebut, baik ridla, syukur, tawakkal maupun wara’ maka
ada baiknya disini ditambahkan beberapa sumber, guna mengungkap makna dari
keempat istilah tersebut.
Ridla
dikaitkan dengan urusan belajar,
yang dalam hal ini dikatakan Az Zarnuji bahwa belajar harus diniati mencari
ridla Allah (Ibrahim Ibnu Isma’il, tt:10), mempunyai makna agar segala
aktifitas belajar diarahkan untuk memperoleh ridla-Nya. Kata “memperoleh”
sebagai kata kerja aktif yang menuntut adanya usaha dari subyek. Dan apapun
imbalan dari amal perbuatan yang telah dilakukannya dengan tulus ikhlas, ia
terima dengan senang hati.
Yang
kemungkinan dijadikan landasan oleh Az Zarnuji dalam hal ini adalah Hadis Nabi
SAW yang diriwayatkan oleh Turmuzi dari Ibnu Umar RA (dalam Jalal Ad Din Abd Ar
Rahman Ibnu Bakr As Suyuthi, tt:169) yang berbunyi:
“Barang
siapa mempelajari ilmu bukan karena Allah, maka tempat tinggalnya adalah
neraka”.
Hadis
tersebut sebagai ancaman bagi peserta didik yang salah niat. Dan dengan ancaman
tersebut diharapkan timbul rasa takut untuk melakukan sesuatu yang tidak
diridla Nya.[26]
Di
samping itu, belajar menurut Az Zarnuji juga dimaksudkan untuk mensyukuri
nikmat akal dan badan yang sehat. Peserta didik harus selalu menyatakan
syukurnya dengan bukti lisan, hati, badan dan hartanya.[27] Hal ini sesuai dengan pengertian syukur itu sendiri yang
dinyatakan sebagai pengakuan sepenuh hati atas segala nikmat. Menyadari bahwa
semua itu berasal dari Allah dan mewujudkannya dengan menggunakan nikmat nikmat
tersebut guna melaksanakan ketaatan kepada Nya.[28]
Kalau
demikian, maka peserta didik hendaknya mampu menggunakan akal dan badannya yang
sehat secara optimal untuk menghambakan diri kepada Nya. Namun demikian, Az
Zarnuji juga mengingatkan agar peserta didik tidak hanya mengandalkan ke
manapun akalnya belaka tetapi ia perlu bertawakkal kepada Allah.[29]
Telah
dimaklumi bahwa kemampuan akal manusia itu terbatas. Akan tetapi ternyata tidak
sedikit orang yang sangat mendewa dewakan kemampuan akal. Sehingga sesuatu yang
di luar jangkauan akal atau secara rasio tidak terbukti dianggap salah atau
tidak ada. Jadi mereka menganggap bahwa kebenaran itu adalah yang sensual dan
logik, padahal disamping itu ada kebenaran yang lain, yaitu kebenaran etik dan
transdental.
Tawakkal
kepada Allah adalah kepasrahan diri kepada Nya. Dengan mempribadinya sifat
tersebut pada diri peserta didik, ia akan selalu dalam ketentraman. Jika
memperoleh sesuatu yang menyenangkan, ia bersyukur kepada Nya, dan jika
mendapatkan sesuatu yang menyusahkan, maka ia bersabar dan menyerah kepada
qadla dan qadar Nya.
Diantara
syarat syarat tawakkal adalah tidak menjadikan sesuatu yang dikaruniakan Allah
sebagai lantaran atau sarana untuk maksiat kepada Allah, menjauhi segala yang
dilarang Nya dan mengerjakan segala yang diperintahkan Nya, seraya dalam
melakukan itu, memohon pertolongan Nya dan menyerahkan semua kepada Nya.[30]
Karena
tawakkal itu bukan hal yang mudah tertanam dalam pribadi seseorang, maka
peserta didik hendaknya secara terus menerus berlatih untuk dapat bertawakkal
kepada Nya. Mencari hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi, akan besar
artinya bagi dirinya untuk bisa bertawakkal.
Lebih
dari itu, agar ilmunya lebih bisa bermanfaat, peserta didik hendaknya juga
selalu hati hati dalam melakukan sesuatu, menjauhi hal hal yang tidak atau
kurang baik dan menjauhkan diri dari hal hal yang diragukan kehalalannya (syubhat).
Dengan kata lain, ia bersikap wara’. Mengenai hal ini, Az Zarnuji banyak
membahasnya dan diharapkan menjadi sikap hidup peserta didik.[31]
Menurut
Az Zarnuji, diantara tanda wara’nya seseorang adalah menjaga diri dari terlalu
kenyang, terlalu banyak tidur dan terlalu banyak membicarakan hal hal yang
tidak bermanfaat. Selain itu, bila memungkinkan juga menghindari makanan masak
di pasar yang diperkirakan lebih mudah terkena najis dan kotoran, jauh dari
zikir dan diketahui orang orang fakir, sementara mereka tidak bisa membelinya
yang akhirnya berduka lara, sehingga berkahnyapun hilang karena hal hal
tersebut. Demikian pula, hendaknya dapat menjaga diri dari ghibah, menjauhkan
diri dari penganggur, perusak dan pelaku maksiat, sebab pergaulan itu besar
pengaruhnya. Menghadap kiblat waktu belajar, bercerminkan diri dengan Sunnah
Nabi, mohon di doakan oleh ulama ahli kebajikan dan menghindari doa tidak
baiknya orang teraniaya. Demikian pula, tidak mengabaikan adab kesopanan
dan perbuatan perbuatan sunnah, serta memperbanyak melakukan shalat dengan
khusyu’.
Dengan
demikian, maka pemikiran pemikiran Az Zarnuji mengenai akhlak peserta didik
kepada Allah pada intinya adalah beribadah kepada Nya sebab ibadah pada
dasarnya adalah mencakup seluruh aktifitas jiwa, seluruh aktifitas akal dan seluruh
aktifitas fisik, selama aktifitas aktifitas tersebut dilaksanakan dengan tujuan
untuk mendapatkan ridla Allah dan berpegang teguh terhadap ketentuan-ketentuan
Nya.[32] Nilai hendaknya menghiasi pribadi peserta didik dalam kehidupan
sehari hari. Hatinya selalu zikir kepada Nya, bibirnya dihiasi dengan kata kata
yang bernilai ibadah kepada Nya, langkahnya dibarengi dengan memuji dan
menyanjung Nya, matanya untuk melihat ayat ayat Nya, tangannya untuk menulis
dan menyebarkan kalimat Nya. Pendeknya, segala yang dianugerahkan oleh Allah
kepadanya dimanfaatkan untuk beribadah kepada Nya. Kemuliaan akhlak peserta
didik terhadap Allah bisa menimbulkan kepercayaan diri yang besar, berani
menatap masa depan dengan penuh harap. Berkat hidayah Nya, ia akan mencapai
derajat taqwa kepada Allah, menduduki tempat yang paling mulia di sisi Allah
dan memperoleh kebahagiaan yang abadi. Dan Az Zarnuji mengingatkan agar ilmu
yang kita miliki bisa mengantar kita kesana.[33]
2.
Akhlak kepada Orang Tua
Az
Zarnuji tidak membahas banyak mengenai akhlak peserta didik kepada orang tua.
Tidak diungkap alasannya secara pasti, tetapi dia mengakui besarnya peran orang
tua dalam kesuksesan studi anak. Az Zarnuji mengatakan bahwa kesuksesan
mempelajari ilmu dan fiqih diperlukan kesungguhan tiga pihak, yaitu peserta
didik, pendidik dan orang tua.[34]
Ayah
dan ibu adalah dua orang tua yang sangat besar jasanya. Jasa mereka tidak dapat
dihitung dan dibandingkan dengan harta. Kalau ibu merawat jasmani sang anak,
maka ayahpun merawatnya dengan mencarikan nafkah, membesarkan, mendidik dan
menyekolahkannya, disamping usaha ibu.
Dengan
demikian, kalau Az Zarnuji mengatakan bahwa peserta didik harus melakukan hal
hal yang membuat pendidiknya rela, menjauhkan amarahnya dan mentaati
perintahnya yang tidak bertentangan dengan agama Allah,[35] maka demikian pula halnya kepada kedua orang tuanya, sebab orang
tua dan pendidik mempunyai peran yang hampir sama, yaitu sebagai pendidik dan
anak anak. Kalau orang tua sebagai pendidik yang pertama, maka pendidik juga sebagai
yang pertama mendidik nilai nilai yang tidak dapat dilakukan oleh orang tua.
Demikian pula, kalau Az Zarnuji menganjurkan peserta didik agar selalu
memanjatkan doa kepada Allah,[36] maka di dalam belajar yang untuk kesuksesannya membutuhkan tiga
pihak (dia, pendidik dan orang tua) sebagaimana tersebut di atas, maka sudah
selayaknyalah kalau di samping berdoa untuk dirinya, peserta didik juga berdoa
untuk pendidik dan orang tuanya.
3.
Akhlak kepada Pendidik
Az
Zarnuji cukup banyak mengungkap akhlak peserta didik kepada pendidiknya. Dia
mengatakan bahwa peserta didik akan kurang berhasil dan kurang memperoleh ilmu
yang bermanfaat, kecuali jika mau mengagungkan ilmu, orang yang berilmu dan
menghormati keagungan pendidiknya.[37]
Dalam
hal ini Az Zarnuji memberikan beberapa cara untuk menghormati pendidik,
diantaranya adalah tidak berjalan di depannya, tidak menempati tempat duduknya
yang biasa digunakan mengajar, tidak memulai mengajarkannya bicara kecuali atas
ijinnya, tidak bicara macam macam di depannya, tidak menanyakan suatu masalah
ketika pendidiknya lelah, memelihara waktu yang sudah ditentukan untuk belajar,
tidak mengetuk pintu rumahnya, menghormati putra dan semua orang yang ada
hubungan dengannya, baik famili maupun temannya, dan tidak duduk terlalu dekat
dengan pendidiknya sewaktu belajar, kecuali terpaksa. Pada prinsipnya, peserta
didik harus melakukan hal hal yang membuat pendidiknya rela, menjauhkan
amarahnya dan mentaati perintahnya yang tidak bertentangan dengan agama Allah.[38]
Adalah
termasuk menghormati pendidik, menghormati ilmu yang diajarkannya. Adapun cara
menghormati ilmu antara lain dengan menghargai nilai buku, memperhatikan segala
ilmu dan hikmah serta mencatatnya dengan baik dan rapi. Oleh karena itu,
peserta didik hendaknya tidak mengambil kitab kecuali dalam keadaan suci. Sebab
ilmu adalah cahaya, wudlupun cahaya, maka akan semakin bersinarlah cahaya ilmu
itu dengan wudlu. Demikian pula, sebaiknya peserta didik tidak membentangkan
kakinya ke arah kitab, kecuali bila hal itu tidak bermaksud meremehkan.[39]
Penghormatan
kepada pendidik dengan memperhatikan apa yang diajarkannya telah banyak
diperbuat oleh peserta didik tetapi belum sampai pada taraf yang lebih tinggi.
Hal ini terlihat dari belum disejajarkannya kebutuhannya terhadap ilmu dengan
kebutuhan makan dan minum. Dengan kata lain, ilmu belum merupakan kebutuahan
pokok. Padahal kita tahu bahwa yang mengangkatnya ke derajat yang tinggi, baik,
di sisi Allah maupun di mata manusia. Oleh karena itu, Az Zarnuji mengingatkan,
didik dengan penuh rasa hormat selalu secara seksama terhadap ilmu yang
padanya, sekalipun telah berulang penyampaiannya.[40]
Di
samping itu ada yang kurang layak dilakukan oleh peserta didik, yaitu kurang
mempunyai perhatian yang serius terhadap catatan. Padahal catatan yang rapi
lengkap dan mudah dibaca, secara psikologis akan menimbulkan gairah membaca dan
mengkaji ulang. Sehingga lebih memungkinkan untuk berhasil dalam studinya.
Lebih dari itu, catatan catatan itu akan menjadi karya yang besar artinya, bila
peserta didik mampu mengembangkannya dengan baik. Oleh karena itu Az Zarnuji
menasehatkan agar peserta didik tidak pernah lepas dari buku catatan dan alat
tulisnya. Sehingga dapat mencatat segala pengalaman dan pengetahuan yang
diperolehnya.[41]
4.
Akhlak kepada Teman
Masalah
akhlak peserta didik kepada temannya juga tidak luput dari perhatian Az
Zarnuji. Dalam hal ini nampaknya dia sangat menyadari terhadap pengaruh teman
serta lingkungan pada umumnya. Sebagaimana dalam syairnya yang berbunyi.
Teman
yang durhaka lebih berbahaya dari pada ular yang berbisa Demi Allah Yang Maha
Tinggi dan Suci Teman buruk membawmau ke Neraka Jahim teman baik membawamu ke Surga Jahim.[42]
Ungkapan
di atas menunjukkan bahwa teman sepergaulan itu ikut mewarnai sikap perilaku
dan pandangan hidupnya. Sehingga Az Zarnuji menasehatkan agar peserta didik
memilih teman yang wara’ jujur dan mudah memahami masalah. Menjauhi pemalas,
penganggur, banyak bicara, pengacau dan pemfitnah. Berteman akrab dengan orang
yang kepribadiannya sebagaimana yang disebutkan Az Zarnuji tersebut, akan besar
hatinya. Dalam hal ini, Sulaiman Ibnu Dawud berkata:
Belum
banyak engkau mempunyai seribu teman, tapi seribu itu sedikit tidak sedikit
engkau mempunyai seorang musuh, tapi satu itu sudah banyak.[43]
Ungkapan
tersebut memberi tuntutan kepada kita untuk selalu berbuat baik kepada siapa
saja, bahkan sampai orang yang memusuhi kita. Selagi masih mungkin diperbaiki,
masih mau menerima saran, maka kita perlu memberinya pengarahan, nasehat dan
sebagainya, agar menjadi lebih baik. Tetapi kalau tetap masih membandel,
menolak apa yang kita berikan dan hatinya telah tertutup, maka meninggalkannya
adalah jalan terbaik.
Hadis
Nabi SAW, seperti yang dikutip Abu Zakaria Yahya Ibnu Syaraf An Nawawi,
menyatakan sebagai berikut: Dari Abu Musa Al Asy’ari RA, bahwasanya Nabi SAW
bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik dan teman yang jahat, tidak
lain adalah laksana pembawa minyak kasturi dan peniup dapur api. Pembawa minyak
kasturi akan memercikkan kepadamu atau kamu akan membelinya atau mendapatkan
aroma harum darinya. Sedang peniup dapur api bisa jadi membakar pakaianmu atau
kamu akan mendapatkan aroma busuk darinya” (Muttafaqun ‘Alaih).[44]
Sabda
Nabi SAW tersebut memperkuat apa yang dilukiskan oleh Az Zarnuji di atas.
Begitu kuatnya pengaruh teman, maka tidak kecil kemungkinannya seseorang akan
mengidentifikasihannya diri dengan teman yang akrab atau dikaguminya. Akan
sangat menguntungkan bila teman temannya baik, sebaiknya akan sangat
merugikannya bila temannya buruk akhlaknya.
Dengan
adanya pemikiran tentang kriteria teman yang baik sebagaimana di atas, adanya
anjuran berdiskusi dan musyawarah serta adanya anjuran untuk menjaga diri dari
akhlak tercela,[45] maka dapat dimengerti bahwa sesama teman, peserta didik harus
saling menjaga, mengerti, menghormati, menasehati, mengisi dan menolong dalam
berbuat kebajikan, guna meraih keberhasilan studi dan derajat taqwa kepada
Allah.
5.
Akhalak kepada Masyarakat
Az
Zarnuji tidak membahas banyak mengenai masalah ini secara khusus sebagaimana
akhlak peserta didik kepada pendidik dan temannya. Namun demikian, sebagaimana
disebutkan Az Zarnuji bahwa peserta didik hendaknya belajar untuk menghilangkan
kebodohan kebodohan sendiri dan kebodohan orang lain, serta adanya anjuran
untuk menjaga diri dari akhlak tercela, maka hal ini dapat diartikan lebih
jauh, termasuk dalam hubungannya dengan masyarakat. Sebab manus ia adalah
makhluk sosial, sehingga keberadaan peserta didikpun tidak bisa terlepas dari
masyarakat. Bahkan masing masing merupakan anggota masyarakat, anggota yang
terdidik, terpelajar dan mungkin termasuk yang terpandang.
Ketika
ia sampai pada usia akil baligh (mukallaf), menurut Islam ia telah dibebani
tanggung jawab, baik kepada Allah maupun kepada masyarakat. Secara fisik ia
telah mampu memikul tanggung jawab dan secara psikis ia telah mampu
mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang buruk. Tugas tugas dan kewajiban
yang harus dipikulnya bukanlah di luar kemampuannya.
Berdasarkan
hal tersebut, maka peserta didik telah berkewajiban berperan positif aktif di
dalam masyarakat, yang berarti mau tidak mau dia harus melakukan sesuai dengan
situasi dan kondisinya. Dan dalam melaksanakan peran akhlak terhadap masyarakat
itu hendaknya atas dasar kerelaan, yakni didorong oleh kehendak jiwa yang
paling dalam, sehingga akhirnya benar benar menjadi akhlaknya.
Peserta
didik telah banyak memperoleh ilmu, ketrampilan, wawasan dan lain sebagainya
dari sekolah, maka masing masing secara akhlak berkewajiban mengamalkannya demi
mewujudkan perkembangan manusia lebih utuh. Secara lebih umum demi keselamatan
manusia.[46] Digunakan istilah “secara akhlaki” dengan maksud mengamalkannya
itu benar benar didorong oleh jiwanya. Yang menurut Melsem diistilahkan
“keinsafan etis”. Terhadap masyarakat, banyak hal yang dapat dilakukan oleh
peserta didik. Di antaranya adalah berbuat baik dan menjauhkan berbuat buruk,
memenuhi hak hak, berkasih sayang kepada sesama dan lain sebagainya.
Berbagai
cara dapat ditempuh oleh peserta didik guna mewujudkan amal akhlaki kepada
masyarakat tersebut, seperti terjun langsung di tengah tengah masyarakat,
melalui tulisan ataupun lainnya. Tugas dan kewajiban sekolahpun tidak boleh
terabaikan. Apabila peserta didik bisa memerankannya secara baik dan imbang,
maka ia akan dapat memperoleh keberhasilan studi yang memuaskan.
6.
Akhlak kepada Diri Sendiri
Diakhirkannya
akhlak kepada diri sendiri ini bukan berarti sebagai yang kurang penting dibanding
dengan akhlak kepada yang lain. Tetapi hal ini hanya merupakan tehnis semata.
Akhlak
kepada diri sendiri adalah pemenuhan kewajiban terhadap peserta didik itu sendiri.
Lalu apakah kewajiban kewajiban tersebut termasuk yang diperhatikan oleh Az
Zarnuji. Untuk itu perlu diuraikan terlebih dahulu aspek diri pribadi manusia
pada umumnya.
Manusia
adalah sebagai makhluk Allah yang memiliki potensi jasmani dan rohani. Dan masing
masing potensi tersebut mempunyai hak yang harus dipenuhi demi keselamatan dan
kesejahteraannya, sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Sebagaimana
dikatakan Az Zarnuji bahwa peserta didik hendaknya tidak membuat dirinya
terlalu kepayahan. Sehingga jadi lemah dan tak berdaya, tapi ia harus selalu
menyantuni dirinya sendiri, maka hendaklah peserta didik makan dan minum yang
memnuhi syarat gizi dan halal, guna memenuhi tuntutan kesehatan jasmani
sekaligus rohaninya. Selain itu, ia tidak melampaui batas yang dituntut
kesehatan. Olah raga secara teratur, disiplin dan sesuai dengan situasi dan
kondisinya juga perlu dilakukan. Demikian pula perlu istirahat yang cukup guna
memulihkan tenaga dan memelihara kesehatan fisiknya. Lebih dari itu, ia juga perlu
mengetahui hal hal lain yang berkaitan dengan kesehatan jasmani maupun rohani.
Peserta
didik juga wajib menjaga kesehatan jasmani dan rohani, mental atau jiwanya.
Akal yang bertabiat suka berpikir hendaknya dipenuhi secara baik. Dalam hal ini
Az Zarnuji mengingatkan agar peserta didik selalu asyik dengan ilmu. Barang
siapa yang terlena walaupun sesaat maka ia akan ketinggalan zaman.
Perlu
disadari sepenuhnya bahwa manusia tidak kenyang ilmu. Sifat ingin tahu yang
dimilikinya sejak kecil akan tetap menjadi miliknya hingga akhir hayatnya.
Barang siapa yang dapat memenuhi secara optimal, maka ia akan maju terus
mengejar atau bahkan mendahului teman temannya yang lain. Namun demikian,
karena akal manusia itu terbatas, maka Az Zarnuji mengingatkan agar peserta
didik tidak hanya mengandalkan akal semata, tetapi ia juga perlu berdoa dan
bertawakkal kepada Allah. Dan kepada-Nya pula ia mencari kebenaran, sebab
barang siapa tawakkal kepada Allah, maka akan dicukupi dan dibimbing Nya
ke jalan yang lurus.
Dalam
rangka memenuhi tuntutan rohaninya, peserta didik hendaknya selalu berhati hati
dalam melakukan sesuatu, menjauhi hal hal yang tidak dan kurang baik dan
menjauhkan diri dari hal hal yang diragukan kehalalannya (syubhat). Dengan kata
lain ia bersikap wara’. Mengenai hal ini, Az Zarnuji banyak membahasnya dan
diharapkan menjadi sikap hidup peserta didik.
Dengan
demikian, maka wara’ bukan hanya dalam hubungannya dengan Allah, tapi juga
dengan insan lain dan diri sendiri. Dan ini perlu, sebab peserta didik tidak akan
bisa terlepas dari hubungannya dengan kedua pihak tersebut, yaitu manusia dan
Allah. Ringkasannya, semua sifat keutamaan yang diperlukan untuk mempertahankan
kedudukan manusia.
Kesimpulan
Sebagai penutup penulis dapat memberi
catatan bahwa sebenarnya kitab Ta’lim al-Muta’allim karya al-Zarnuji,
merupakan buku yang relatif bagus dalam persoalan bimbingan belajar. Penulis
melihat buku tersebut seperti buku buku psikologi dan bimbingan belajar. Hanya
saja mempelajari kitab tersebut harus disertai dengan pemahaman yang dalam, karena
belum tentu apa yang dikonsepkan oleh al-Zarnuji dapat pula diterapkan pada
saat ini. Seperti yang penulis sebutkan pada bab sebelumnya bahwasanya pada
faktor pendukung ada beberapa yang tidak dapat diterapkan saat ini, contoh
membaca tulisan pada nisan menyebabkan mudah lupa, menyapu di malam hari dapat
menghambat rizqi. Hal hal di atas sudah tidak bisa lagi diterapkan karena sudah
dipandang tidak logis.
Sebenarnya bila kita telaah lagi
banyak sekali hal-hal yang masih relevan untuk diterapkan sebagaimana juga ada
sejumlah pendapatnya yang sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu, tidak baik
untuk menolak isi kitab ini begitu saja, sama juga dengan tidak bijaknya
menerima begitu saja tanpa reserve.
Maka jika kitab ini tetap dikaji di
pesantren, supaya tidak menimbulkan ekses yang tidak diinginkan, sebaiknya
diajarkan oleh seorang guru yang mempunyai pemahaman mendalam mengenai
bimbingan belajar, sehingga bila menemui gagasan yang dianggap kurang relevan
dengan zaman sekarang, bisa mengadakan reinterpretasi atau merefleksikan dengan
masa al-Zarnuji hidup.
Karya besar ini sebenarnya dapat dan
sangat bisa diterapkan kearah luar pesantren baik itu madrasah atau
sekolah-sekolah umum. Karena bisa diketahui dari analisis yang telah penulis
bahas pada bab sebelumnya bahwa cukup banyak yang masih relevan dan baik untuk
diajarkan dan ditanamkan sejak dini.
Bahkan telah penulis jelaskan
sebelumnya bahwa pada metodologi pendidikan macam apapun, ekses pasti ada.
Ekses yang seringkali dimunculkan untuk menyudutkan Ta’lim adalah aspek
kepatuhan pada guru yang hampir mematikan dinamika. Meskipun, al-Zarnuji
sendiri tidak pernah menganjurkan murid “mengiyakan” kesalahan guru. Dan,
“kematian dinamika” itu sendiri masih perlu diselidiki kembali: adakah dan
kalau ada pengaruh dari apa? Karena pada dasarnya pendidikan yang berhasil
bukanlah diciptakan oleh sekolah dan pesantren saja, akan tetapi dukungan dari
semua pihak orang tua dan guru sebagai teladan dan lingkungan sebagai pengaruh
pergaulan terbesar dalam hidup seorang anak. Dan hal ini memang sangat sulit
sekali karena memang semua orang bisa memberikan mauidlatul hasanah
namun hanya orang-orang pilihan yang mampu menjadi uswatun hasanah.
Kalaupun misalnya hal itu betul-betul
ada dan memang pengaruh Ta’lim al-Muta’allim, maka pasti terjadi secara
aksiden dan memiliki faktor serta sumber latar belakang yang sangat komplek.
Misalnya, faktor psikologi, sarana, budaya regional atau juga pengaruh tradisi
feodal kerajaan Jawa yang masih belum sepenuhnya mati.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Baqi, Fuad., tt. Al-Mu’jam al-Mufahras li alfazh al-Qur’an al-Karim,
Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi.
Al-‘Aini,
Ahmad. Tt. Umdat al-Qari’ Syarh Shahih al-Bukhari, jilid II, Beirut: Dar
al-Fikr.
Barnadib, Imam.
1988. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta, Andi Offset.
Bakker, Anton.
1986. Metode-metode Filsafat, Jakarta: Galia Indonesia.
Bigge, Morris,
L. 1982. Learning Teorie for Teacher. New York, Harper & Row.
Bloom,
Benyamen S. et.al. 1974. Taxonomy of Education Ojective, The Classification
of Education Goal. New York, David McKey.
Departemen
Agama RI. 1986/1987. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, Departemen
Agama.
Drost, J. 2000.
“Manajemen Berbasis Sekolah”, Harian Kompas, 21 Mei.
Jamaluddin.
2001. “Materialisme dalam Pendidikan”. Harian Kompas, 16 Desember.
Mastuhu
dan Deded Ridwan (eds). 1988. Tradisi Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar
Disiplin Ilmu, Bandung: Pusjarlit.
Mahalli dan
Mujawazah. 1994. Kode Etik Kaum Santri. Bandung, al-Bayan
Pudjawijatno,
1964. Pembimbing ke arah Filsafat. Jakarta, PT. Pembangunan.
Suryabrata,
Sumadi. 1983. Proses Belajar-Mengajar di Perguruan Tinggi. Yogyakarta:
Andi Offset.
Tim. 1989.
Undang undang Sistem Pendidikan Nasional.
Yakub.
1986. Etika Islam: Pembinaan Akhlak Karimah: Suatu Pengantar. Bandung:
CV. Diponegoro
[1] Drost, J.
2000. “Manajemen Berbasis Sekolah”, Harian Kompas, 21 Mei
[2] Drost, J.
2000. Ibid
[3] M. Abd Al
Qadir Ahmad, 1986. hlm. 11
[4] Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, 1994. Hlm. 215. Az-Zarnuji wafat pada tahun 640 H/1242 M Abd
Al Aziz Masyhuri, 1994. Hlm. 79
[5] A. Hasymi,
1979. Hlm. 246
[6] M. Abd Al
Qadir Ahmad, 1986. Hlm. 15
[7] M. Abd Qadir
Ahmad. 1986. Ibid, hlm. 18 20.
[8] Ibrahim Ibnu
Isma’il, tt. Hlm. 6 7.
[9] Ibid,
hlm. 10
[10] Ibid,
hlm. 15
[11] Ibid,
hlm. 16
[12] Ibid,
hlm. 14
[13] Ibid,
hlm. 18
[14] Ibid,
hlm. 20
[15] Ibid,
hlm. 29
[16] Ibid,
hlm. 37
[17] Ibid,
hlm. 38
[18] Hamzah Ya’qub.
1993. Hlm.
[19] Mahmud Yunus,
1973. Hlm. 120
[20] Sahilun A.
Nasir, 1991. Hlm. 14. dan lihat Humaidi Tata Pangarsa, 1990. Hlm. 13
[21] S. Wojowasito
dan W.J.S Poerwadarminta, 1982. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hlm. 53
[22] Akhmad Amin,
1993. Hlm. 62
[23] Al Ghazali,
tt. III. Hlm. 62
[24] Ibrahim Ibnu,
Isma’il, tt. Hlm. 10,32,36,39
[25] Abdurrahman An
Nahlawi, 1995. Hlm. 300
[26] Ibrahim Ibnu
Isma’il, tt. Hlm. 10,32
[27] Abdullah
Haddad, 1986. Hlm. 256
[28] Ibrahim Ibnu
Isma’il, tt. Hlm. 32
[29] Abdullah
Haddad, 1986. Hlm. 264
[30] Ibrahim Ibnu
Isma’il, tt. Hlm. 39 40
[31] Muhammad
Quthb, 1992:51 51
[32] Ibid,
hlm. 6
[33] Ibid,
hlm. 12
[34] Ibid,
hlm. 12
[35] Ibid,
hlm. 29,32
[36] Ibid,
hlm. 16
[37] Ibid,
hlm. 12.20
[38] Ibid,
hlm. 18 19
[39] Ibid,
hlm. 19
[40] Ibid,
hlm. 38
[41] Ibid,
hlm. 66
[42] Musthafa As
Saqa’, tt. Hlm. 182
[43] Abu Zakaria
Yahya Ibnu Syaraf An Nawawi, tt. Hlm. 185 186
[44] Ibrahim Ibnu
Isma’il, tt. Hlm. 14,15,20,30
[45] Melsem Van,
1992. Hlm. 78
[46] Ibrahim Ibnu
Isma’il, tt. Hlm. 23
Maaf sy pgn tau dr mana referensi penilitian ini. Masalahnya d file repository uin malang penutupnya tidak selengkap ini
BalasHapusdaftar pustakanya sudah ada
BalasHapus