PENDIDIKAN ETIKA
MENURUT IBN MISKAWAIH
A.
Pendahuluan
Dalam
tradisi pemikiran filsafat islam, etika merupakan salah satu aspek yang paling
dominan. Betapa tidak, sejak masuknya gelombang Hellinisme (wave of Hellenism) dalam dunia pemikiran islam, etika telah
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari filsafat. Tokoh-tokoh filsafat di masa
itu adalah juga dikenal sebagai tokoh-tokoh penggagas etika, seperti pada
aliran stoic (al-ruwwaqiyyah), Pythagoras,
Galenus, Plato, Socrates, dan Aristotle sendiri, bahkan tokoh-tokoh filsafat
neo-Platonisme, seperti Plotinus dan Porphirus adalah sumber-sumber penting
etika dalam islam. Disamping itu, persoalan etika sebenarnya menyangkut cara
berpikir (mode of thought) yang
berlaku dalam tradisi yang hidup (living
tradition) yang mencakup beberapa faktor yang saling terkait, yang nota bene adalah persoalan filsafat, dan
bukan sebagai aturan yang menentukan berbagai sikap masyarakat yang menyangkut
baik buruk (baca:moral), seperti yang sementara ini dipahami.
Sungguh pun etika
terkait dengan moral, tetapi persoalan etika bukanlah sekedar moral. Moral
adalah aturan yang normative yang berlaku di suatu masyarakat tertentu, yang
terbatas pada ruang dan waktu, dan inilah yang disebut dengan akhlaq dalam
islam. Dengan demikian, etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar
tentang ajaran-ajaran moral.
Diantara para tokoh etika
islam adalah filosof Ibn Miskawaih, yang dalam dunia filsafat islam dikenal
sebagai guru ketiga (al-mua’lim
al-tsalits) setelah Aristoteles dan Alfarabi dianggap sebagai salah seorang
tokoh filosof yang menggagas filsafat etika. Semangat dan perhatiannya yang
begitu intens terhadap bidang ini, dimulai ketika Ibn Miskawaih menjabat
sebagai pejabat pada pemerintahan ‘Adlud al-Dawlah (tahun 367-372 H). di masa
kekuasaan Bani Buwaih (Dawlat Bani
Buwaih). Masa-masa ini bagi Ibn Miskawaih adalah masa yang dilanda
dekadensi moral yang luar biasa. Karena, meskipun puncak prestasi dan kejayaan
yang dicapai oleh pemerintahan ‘Adlud al-Dawlah ini tidak dibarengi dengan
ketinggian akhlaq secara umum, baik di kalangan elite, maupun rakyat jelata.
Adalah hal yang mendorong Ibn Miskawaih memusatkan perhatiannya pada persoalan
etika.
Untuk itu, Ibn
Miskawaih menegaskan perlu adanya usaha untuk menyelaraskan akal budi dan iman
(baca: syariat). Lebih dari itu, Miskawaih menekankan bahwa hakekat manusia
adalah makhluk social, maka hendaknya manusia tidak hanya memperhatikan dirinya
sendiri, melainkan juga memperhatikan orang lain.
Hal ini, bertolak dari
pandangan Miskawaih tentang etika, yang menurutnya adalah kondisi jiwa yang
mendorong manusia untuk melakukan suatu perbuatan secara spontan (tanpa piker
ataupun ragu). Hal itu tercapai manakala seseorang telah melalui
tahapan-tahapan tertentu (al-syarai’ wa
al-ta’dibat), sehingga mampu melakukan perbuatan itu secra reflek, yang
kemudian dikenal dengan pendidikan
(al-tarbiyah wa al-ta’dib).
Kajian ini tidak
mengeksplorasi semua pemikiran filsafat etika Ibn Miskawaih, melainkan hanya
menelusuri pemikiran etika Miskawaih dari perspektif pndidikan. Untu itu akan
dikemukakan dalam konteks ini, setting
historis pemikiran dan biografi Ibn Miskawaih serta pokok-pokok
pemikirannya dalam bidang etika terutama ditinjau dari sudut pandang
pendidikan.
B.
Biografi Ibn Miskawaih dan Latar
belakang Pemikirannya
Nama
lengkapnya Abu ‘Ali al-Khazin Ahmad ibn Ya’qub ibn Miskawaih, adalah seorang
filosof muslim yang dianggap mampu memadukan dua tradisi pemikiran Yunani dan
Islam, di samping juga ahli dalam filsafat Romawi, India, Arab, dan Persia,
yang memusatkan perhatiannya pada filsafat etika islam, meskipun sebenarnya
Miskawaih adalah juga seorang dokter, sejarawan dan ahli bahasa. Lebih dikenal
dengan nama Miskawaih atau Ibn Miskawaih. Nama itu diambil dari nama kakeknya
yang semula beragama Majusi (Persia) yang kemudian masuk islam. Julukannya
adalah Abu ‘Ali, yang merujuk kepada sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib, disamping
juga bergelar al-Khazin yang berarti
bendaharawan, karena jabatannya sebagai bendaharawan (baca: menteri keuangan) pada
masa kekuasaan ‘Adlud al-Dawlah dari Bani Buwaih (al-dawlah al-buwaihiyyah).
Ibn Miskawaih
dilahirkan di Ray (Teheran Iran, sekarang). Para penulis sejarah berselisih pendapat
tentang tanggal kelahirannya. Namun pendapat yang lebih kuat megatakan Miskawaih
lahir pada tahun 330 H/ 942 M, dan meninggal dunia pada tanggal 9 Shafar 421 H/
16 Februari 1030 M.
Sebagaimana
para peminat ketenaran dan kehidupan yang layak, Miskawaih hijrah ke Bagdad,
yang kemudian membawanya mengabdi kepada al-Mahalbi al-Hasan bin Muhammad
al-Azdi seorang menteri pada Mu’izz al-Dawlah bin Buwaih tahun 348 H
sebagai sekretaris pribadinya.
Sepeninggal menteri al-Mahalbi, Miskawaih kembali ke Ray yang kemudian mengabdi
pada menteri Ibn al-‘Amid sebagai kepala perpustakaan sekaligus sekretaris
pribadinya, dan terus berlangsung sampai sang menteri wafat tahun 360 H.
Namun, petaka
menghampirinya sepeninggal menteri Ibn al-‘Amid. Putranya yang juga seorang
menteri bernama Abu al-Fath ‘Ali ibn Muhammad ibn al-‘Amid memenjarakannya tahun
366 H, sampai keberuntungan membawanya bertemu dengan menteri ‘Adlud al-Dawlah
ibn Buwaih, yang menjadikannya kepala perpustakaan dan sekaligus sekretaris
pribadinya. Karirnya terus menanjak dari satu menteri ke menteri lain, dan
kepada beberapa pangeran serta keluarga raja di lingkungan pemerintahan Bani
Buwaih, sampai meninggal dunia tahun 421 H di Asfahan.
Ibnu Miskawaih belajar
sejarah, terutama Tarikh al-Thabari
kepada Abu Bakar Ahmad ibn Kamil al-Qadli (350 H/960 M), dan memperdalam
filsafat pada Ibn al-Khammar, seorang tokoh kenamaan yang dianggap cukup
menguasai karya-karya Aristotle. Ilmu-ilmu kimia Miskawaih didapatkan dari
gurunya seorang ahli di bidang kimia Abu al-Thayyib al-Razi.
Ibn Miskawaih selama
lebih dari tujuh tahun sebagai seorang pustakawan, yakni disaat mengabdi pada
Abu al-Fadl ibn al-‘Amid dan putranya Abu-al-fath, untuk selanjutnya sebelum
memfokuskan diri pada kerja-kerja intelektualnya, Miskawaih berkiprah dalam
kabinet Ahmad ibn Buwaih (amir al-umara’
: kepala pangeran) sebagai bendaharawan.
Dalam bidang ilmu
pengetahuan, Ibn Miskawaih adalah sosok yang aktif. Tulisan-tulisannya dan
informasi-informasi tentang dirinya dalam berbagai referensi menjadi saksi
tentang keluasan ilmu pengetahuannya dan kebiasaan kultur di masanya. Namun
karakter utama (meanstream) keilmuannya
adalah dalam bidang sejarah dan etika. Pada bidang sejarah, lahir sebuah karya
penting Tajarib al-Umam wa Ta’aqub
al-Himam, sebuah karya sejarah universal. Dan dalam bidang etika, karya
yang paling monumental adalah Tahdzib
al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq.
Selain dua bidang
tersebut, Ibn Miskawaih memiliki berbagai perhatian. Pada waktu-waktu tertentu
dia berkesempatan mempelajari kimia pada seorang arif dan ahli di bidangnya
al-Qifthi, serta dalam bidang kedokteran Miskawaih berguru kepada seorang pakar
biografi para dokter Ibn Abi ‘Ushaybi’ah (w. 668 H/ 1270 M).
Puncak kemegahan
pemerintahan Bani Buwaih adalah pada masa ‘Addlud al-Dawlah yang berkuasa tahun
367-372 H. dialah penguasa islam yang memulai menggunakan gelar Syahinsyah
(maha raja), adalah gelar yang digunakan raja-raja Persia kuno. Kecuali
prestasinya di bidang politik, perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan dan
kesustraan amat besar. Pada masa inilah Ibn Miskawaih memeperoleh kepercayaan
untuk menjadi bendaharawan ‘Adlud al-Dawlah, dan pada masa inilah Miskawaih
terkenal sebagai seorang filsof, tabib, ilmuwan, dan sastrawan.
Tetapi, keberhasilan
Bani Buwaih dalam bidang politik dan kemajuan ilmu pengetahuan di masa itu
tidak dibarengi dengan keagungan akhlak, bahkan terjadi kemerosotan akhlak
secara umum, baik di kalangan elite, maupun rakyat awam kebanyakan. Adalah hal
yang menyebabkan Miskawaih memusatkan perhatiannya pada etika islam, yang
membawanya dijuluki sebagai etika islam sekaligus guru ketiga (al-mu’allim al-tsalits).
Adapun karya-karya Ibn
Miskawaih yang lain, diantaranya: al-Fawaz
al-‘Akbar; al-Fawaz al-Ashghar (tentang
metafisika: ketuhanan, jiwa, dan kenabian); Tartib
al-Sa’adah (tentang etika dan politik); kitab
Adab al-‘Arab wa al-‘Ajam (tentang etika); al-Hikmah al-Khalidah (tentang etika praksis) Maqalat fi al-Nafs wa al-‘Aql (tentang jiwa dan akal); Risalah fi al-‘Adalah (tentang
keadilan); al-Mustawfi (tentang
sastra); al-Jami’; al-Asyribah;
al-Adwiyah (tentang kedokteran), dan lain-lain.
C.
Kerangka Metodologis Miskawaih
Pokok
pemikiran filsafat etika Ibn Miskawaih secara terperinci dipaparkan dalam karya
monumentalnya Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir
al-A’raq. Karya ini terdiri dari tujuh bab: yang secara sistematis dimulai
dengan pembahasan tentang jiwa; pada bab dua, tentang fitrah manusia dan asal
usulnya; bab tiga, yang merupakan bagian utama akhlak, membicarakan keutamaan,
terutama membicarakan tentang kebaikan dan kebahagiaan; bab empat, membicarakan
tentang keadilan dan menerangkannya secara mendetail tentang arti keadilan; bab
lima, membahas masalah persahabatan dan cinta; sedangkan pada bab dua terakhir,
yakni bab keenam dan ketujuh Ibn Miskawaih memberikan gambaran beberapa hal
yang berkaitan dengan penyakit jiwa berikut teknik pengobatannya.
Etika Ibn Miskawaih
memperoleh konsep dan metode pembahasannya secara eklektik dari karya-karya
filsafat Yunani, kebudayaan Persia, doktri syariat Islam, dan pengalaman
pribadi. Para filosof Yunani yang sangat besar pengaruhnya terhadap pemikiran
etika Ibn Miskawaih adalah Plato, Aristotle, Zeno, Galenus, dan bebrapa tokoh
filosof etika lainnya. Usaha Miskawaih, sebagaimana para filosof muslim
lainnya, adalah memadukan anatara teori-teoi filsafat dengan
pandangan-pandangannya sebagai seorang muslim. Namun begitu, nuansa pemikiran
etika Miskawaih, terutama dalam Tahdzib
al-Akhlaq sangat kental dengan trend pemikiran Aristotle.
Kalau karya monumental
Miskawaih Tahdzib al-Akhlaq sebagai
dasar-dasar teoritis pemikiran etika, maka karya Tajarib al-Umam wa Ta’aqub al-Himam memberikan contoh-contoh
kongkrit dari teori yang dia bangun, dimana Miskawaih menulisnya di masa-masa
akhir penulisan karya-karyanya. Lebih dari itu, tatkala buku Tahdzib al-Akhlaq membahas persoalan etika secara teoritis,
maka bukunya yang lain al-Hikma
al-Khalidh menelaah delik-delik etika pada tataran praksis, adalah hal yang
menunjukkan kedalaman dan keluasan ilmu Miskawaih, dan betapa besar perhatian
dan kepeduliannya terhadap persoalan etika dan khazanah pemikiran klasik,
sehingga wajar jiaka dijuluki sebagai bapak etika islam.
D.
Konstruksi Pendidikan Etika Ibn
Miskawaih
1.
Akhlak (Etika)
Ibn Miskawaih dalam konstruksi pemikiran filsafat etikanya
sangat khas, yang melandasi konsepnya tentang bagaimana mendidik manusia.
Bertolak dari pandanganya, bahwa watak dan karakter manusia dapat berubah karena
pengaruh-pengaruh dan faktor-faktor eksternal, misalnya lingkungan yang
mengitarinya atau pola-pola pendidikan yang di perolehnya.
Sebelum membahas lebih
jauh pokok yang menjadi landasan etika ibn Miskawaih, penulis ingin terlebih
dahulu menelaah pengertian akhlak dari perspektif ibn Miskawaih. Kata Akhlaq adalah bentuk jama’ (Plural) dari
kata khuluq secara etimologis berarti
watak dan karakter (al-thab’ wa
al-sajiyyah). Sedangkan secara terminologis, akhlak adalah kondisi jiwa
manusia yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa pikir dan ragu
(secara spontan). Keadaan jiwa, yang
berupa watak dan karakter tersebut dapat berupa fitrah alami sejak lahir
(pembawaan) yang disebut oleh Miskawaih sebagai al-thab’ (watak, pembawaan lahir) seperti sifat kedermawanan dan
kekikiran, serta penakut dan pemberani tergantung pada fitrah dan mood-nya.Dan dapat pula merupakan hasil
latihan-latihan dan pembiasaan, yang ini disebut oleh miskawaih sebagai al-sajiyyah (sifat, karakter), seperti
sifat jujur dan adil yang itu dapat berlangsung sesuai pembiasaan yang
dilakukan sampai menjadi karakter yang sedemikian melekat, sehingga dapat
dilakukan secara spontan.
Dari pengertian Khuluq yang dikemukakan Miskawaih diatas,
dapat dipahami, bahwa manusia betapa pun watak dan karakternya dapat berubah
dari yang tidak baik menjadi baik, dan begitu seterusnya. Maka, manusia pada
dasarnya cenderung dapat berperilaku yang bermacam-macam, baik secara cepat maupun
lambat. Hal ini dapat disaksikan pada perubahan yang dialami anak pada masa
pertumbuhanya, yang senantiasa berubah dari suatu keadaan ke keadaan lainya
sesuai dengan lingkungan yang mengitarinya berikut pendidikan yang
diperolehnya, baik dari keluarga maupun dari lingkungan sosial masyarakatnya.
Manusia secara watak
dan karakter, dalam perspektif Ibn Miskawaih dapat berubah, maka dia menegaskan
perlunya syariat islam yang mengatur baik buruknya perilaku dan perbuatan
manusia, dan pentingnya nasihat-nasihat, begitu juga pendidikan tentang
nilai-nilai moral masyarakat (baca:al-akhlaq
al-karimah), sehingga memungkinkan manusia melalui akalnya untuk memilih
dan membedakan mana yang seharusnya yang dilakukan dan mana yang semestinya ditinggalkan,
meski ini pun tergantung secara alamiah kepada mood manusia, yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan sesuai
dengan kehendak dan nalurinya. Namun, karena mood tersebut sering datang dan pergi diluar kehendak dirinya, melainkan
terbentuk karena adanya beberapa faktor yang terkait dengan keinginan, maka mood ini pun dapat berubah sesuai dengan
pendidikan yang diperolehnya.
2.
Jiwa dan Keutamaan
Dalam membentuk dan
mendidik akhlaq mulia, manusia seharusnya mengenali terlebih dahulu jiwanya
sendiri, potensi dan karakteristiknya, berikut daya-daya (al-quwa) yang dimilikinya, yang dengannya manusia dapat mencapai
kesempurnaan dan kebahagiaan dalam arti yang sebenarnya.
Menurut Ibn Miskawaih, Jiwa
adalah substansi sederhana yang tidak dapat dirasa oleh indra, dan bersifat
ruhani (spiritual), sehingga mengetahui eksistensi dirinya, dan mengetahui
bahwa esensinya mengetahui. Jiwa tidak bersifat material, dan dibuktikan Miskawaih
dengan menyaksikan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran tentang banyak
hal yang bertentangan satu sama lainnya dalam waktu yang bersamaan, seperti
kemampuannya menerima gambaran tentang bentuk warna putih dan hitam dalam satu
waktu. Jiwa dapat pula menerima gambaran tentang segala hal, baik yang indrawi
maupun yang spiritual, karena jiwa memiliki daya mengetahui dan kemampuan yang
lebih luas jangkauannya ketimbang daya yang dimiliki materi, bahkan materi
tidak akan mampu memberi kepuasan terhadap jiwa yang immateri, yang oleh
karenanya jiwa senantiasa merindukan hal-hal yang bersifat spiritual. Hal ini
semakin menguatkan bukti bahwa jiwa adalah substansi yang bukan materi.
Lebih dari itu, di
dalam jiwa terdapat daya nalar yang mampu mengetahui sesuatu yang tidak
didahului dengan pengetahuan indrawi. Dengan pengetahuan tersebut, jiwa mampu
membedakan antara yang benar dan yang salah berkaitan dengan hal-hal yang
ditangkap panca indra. Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing indra
dan membetulkan kekeliruan-kekeliruan yang dialami indra. Bahkan, karena
kempleksitas spiritualnya nampak jelas tatkala mengetahui esensi dirinya dan
mengetahui bahwa esensinya mengetahui, sehingga merupakan union antara akal, subjek, dan objek nalarnya (al-‘aql wa al-‘qil wa al-ma’qul).
Di sisi lain, hal yang
ingin ditegaskan oleh Miskawaih adalah bahwa substansi jiwa manusia, yang
dipandangnya sebagai esensi yang lebih mulia dari keseluruhan benda di alam
ini. Dengan kata lain, Ibn Miskawaih hendak mengatakan bahwa substansi jiwa
manusia lebih tinggi dan lebih mulia ketimbang benda-benda materi, karena
kemampuannya mengetahui hal-hal yang abstrak sekalipun, bahkan merupakan sumber
pertimbangan tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan.
Lebih jauh lagi, Miskawaih
menjelaskan bahwa jiwa manusia mempunyai tiga fakultas. Pertama, fakultas yang berkaitan dengan proses berpikir (al-fikr), melakukan observasi (al-nazhar), dan memberikan pertimbangan
(al-tamyiz) atas segala realitas. Kedua ,fakultas yang terepresentasikan
dalam amarah (al-ghadlab) dan
keberanian (al-iqdam) dalam menghadapi
ancaman atau bahaya, atau dalam hasrat untuk menjadi berkuasa, mengunggulkan
diri, atau mencapai berbagai penghargaan lainya. Dan ketiga, fakultas yang menjadikan seseorang memiliki dorongan
keinginan hawa nafsu (al-syahwat)
terhadap makanan, minuman, senggama, serta kenikmatan indrawi lainnya.
Ketiga fakultas jiwa
tersebut, masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan yang berbeda-beda
tergantung bagaimana seseorang menyikapinya. Fakultas-fakultas ini dapat eksis
dan dominan pada diri seseorang melalui pengaturan, pembiasaan, maupun
pendidikan, yang oleh Ibn Miskawaih disebut sebagai daya (al-quwa), dan dapat dikemukakansebagai berikut:
1)
Daya
kebinatangan (al-quwa al-bahimiyyah)
atau disebut juga dengan daya dorongan keinginan (al-quwa
al-syahwaniyyah), dan instrument dari daya ini adalah liver (al-kabid). Daya ini yang mendorong
manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmaninya, seperti makan, minum,
bersenggama, bersenang-senang, dan lainnya.
2)
Daya
kebuasan (al-quwa al-sabu’iyyah), dan
sarana utama daya ini adalah hati (al-qalb).
Daya ini yang mendorong manusia untuk berlaku adil, berani, berkuasa, dan berusaha
mencapai penghargaan-penghargaan lainnya.
3)
Daya
berpikir (al-quwa al-nathiqah), dan
instrument pokok dari daya ini adalah akal (al-dimagh).
Kekuatan inilah yang menjadikan jiwa manusia lebih tinggi dan lebih mulia dari
semua makhluk di alam semesta ini.
Ketiga
kekuatan yang dimiliki jiwa manusia tersebut saling berbeda antara satu dengan
yang lainnya, dan berlaku pasang surut tergantung watak, karakter dan mood yang ada pada diri manusia di satu
sisi. Di sisi lain tergantung pembiasaan dan pola pendidikan yang diperoleh.
Tatkala daya berpikir (al-quwa
al-nathiqah) dominan pada diri seseorang, maka akan menjadi manusia yang
paling mulia setingkat malaikat, dan dalam hidupnya cenderung mengikuti
dorongan-dorongan kebajikan untuk mencapai kesempurnaan hidup dan kebahagiaan.
Sedangkan manusia yang dirinya dikuasai dua macam daya lainnya (kebinatangan
dan kebuasan), maka turunlah derajat kemanusiaannya dan menyerupai binatang
sebagai makhluk biologis, bahkan lebih hina.
Lebih dari itu, kedua
daya kebinatangan dan kebuasan tersebut jika menguasai seseorang, akan
melahirkan sifat-sifat pengecut, pongah, sombong, pengolok-olok, penipu,
penindas, zalim, dan hina. Namun, jika diimbangi dengan daya berpikir (al-quwa al-nathiqah) akan membuahkan
sifat-sifat adil, menjaga diri, berani, pemurah, jujur, dan cinta kasih, bahkan
tatkala daya berpikir mampu mendominasi kedua daya yang lain akan melahirkan
kebijakan (al-hikmah), keberanian (al-syaja’ah) dan menjaga kehormatan diri
(al-‘iffah). Yang ketiga keutamaan
ini jika berjalan seimbang akan membuahkan sifat adil (al-‘adalah). Dan keempat sifat inilah yang disebut Miskawaih
sebagai keutamaan (al-fadlilah).
Maka, yang disebut
keutamaan adalah posisi tengah antara dua kejelekan (wasath bayna radzilatain), yakni antara sikap berlebihan (al-ifrath) dan sikap lalai (al-tafrith), karena menurut Miskawai,
sikap melampaui batas atau berlebihan adalah kesalahan, dan sebaiknya sikap
lalai atau pengabaian adalah perilaku yang tercela. Karena, kedua sikap
tersebut merupakan cermin dari dominasi kedua daya yang dimiliki jiwa, yakni
kebinatangan (al-bahimiyyah) dan
kebuasan (al-sabu’iyyah). Maka, sikap
yang moderat sajalah yang patut mendapat pujian (yastahiqq al-tsana), dan hal
ini merupakan inti dan substansi keutamaan (al-fadlilah).
Dengan demikian, keutamaan adalah keseimbangan dari ketiga daya yang dimiliki
oleh jiwa manusia. Namun keutamaan etika yang tertinggi menurut Miskawaih
adalah keutamaan filsafati, karena yang paling sesuai dengan karakter jiwa yang
immateri, yang akan mencapai kesempurnaannya tatkala melalui pengetahuan
kognitif dan bersatu dengan akal aktif, yakni Allah Sang Pencipta alam semesta.
Prinsip ini tidak lain merupakan eklektisasi pandangan Aristotle dan Islam.
3.
Kebaikan dan Kebahagiaan Tertinggi
Melalui prinsip
keutamaan (al-fadlilah), Ibn
Miskawaih berkesimpulan bahwa kebahagiaan adalah kebaikan yang sempurna. Dengan
kata lain, kebahagiaan merupakan kesempurnaan dan akhir dari kebaikan. Kebaikan
mempunyai tigkat yang beragam. Pertama,
kebaikan internal yang muncul dari esensinya, yakni kebaikan spiritual yang
dengannya manusia dapat menyamai ruh-ruh yang disebut dengan malaikat, yang
disebut Miskawaih sebagai kearifan (al-hikmah).
Kedua, kebaikan jasmani, seperti
keutamaan (al-fadlilah) yang memunculkan akhlak mulia namun tidak
sampai mencapai kearifan, dan ketiga,
kebaikan eksternal seperti harta, kedudukan, kewibawaan, yang berfungsi hanya
sebagai sarana menuju tingkatan yang lebih tinggi dan mulia. Melalui beragam
kebajikan ini manusia dapat menentukan kemana ia ingin mengelompokkan dirinya,
dan pada tingkat yang mana ia kehendaki.
Apabila manusia
menduduki maqam kesempurnaan yang
sejajar dengan malaikat, maka ia tidak memerlukan lagi kebahagiaan jasmani,
melainkan kebahagiaan ruhani (spiritual), yang dapat berupa kenikmatan
intelektual yang hakiki seperti kearifan (al-hikmah).
Menurut Miskawaih, setiap orang memiliki potensi untuk mencapai tingkatan
tertinggi itu, namun harus melalui tahapan-tahapan tertentu (al-ta’dibath), yang dengannya is harus
berhasil mencapai terlebih dahulu kebaikan jasmani maupun eksternal.
Tahapan-tahapan itu
menurut Miskawaih menggambarkan tingkatan-tingkatan manusia. Maka strata yang
paling rendah adalah mereka yang hanya mampu mencapai kebaikan jasmani, dan
mereka adalah masyarakat awam pada umumnya dan para pedagang, yang tercermin dalam
do’a mereka tatkala menjalankan ibadah sehari-hari. Kebahagiaan tertinggi
bukanlah terletak pada kenikmatan dan kebaikan strata yang pertama ini,
melainkan pada tercapainya kearifan (al-hikmah)
yang mempunyai dua aspek: Pertama,
kognitif, Yakni memiliki kecenderungan kepada berbagai macam ilmu dan pengetahuan
termasuk penguasaan terhadap ilmu-ilmu hikmah (baca: filsafat). Melalui aspek ini manusia selalu rindu pada
pengetahuan kognitif, sehingga persepsi, pandangan, wawasan, serta kerangka
pikirnya menjadi valid dan akurat; dan kedua:
praksis, yakni tercapainya kepribadian yang utama yang melahirkan akhlak mulia.
Kedua aspek tersebut menurut Miskawaih merupakan misi utama para nabi dan
risalah Islam itu sendiri. Namun yang paling utama dari kedua aspek di atas
adalah aspek pertama yang lebih bersifat spiritual intelektual, yang menurut
Miskawaih mampu memberikan ketenangan hati dan jiwa, dan yang sedemikian itu
adalah puncak kebahagiaan.
Bahkan lebih dari itu,
tatkala manusia telah sampai pada tingkat kesempurnaan dan mencapai akhir dari
alam kemanusiaannya, maka cahaya alam tertinggi akan menyinarinya, dan akan
menjadikannnya seorang filosof yang sempurna, yang mampu menerima inspirasi
melalui proses nalarnya dengan dukungan penuh dari langit, atau akan menjadi
seorang nabi. Untuk mencapai tingkatan yang paripurna itu, menurut Miskawaih
tidaklah mudah, dan memerlukan tahapan dan olah spiritual yang panjang.
4.
Pendidikan Sejak Usia Dini
Konsep ini sebenarnya
berangkat dari pandangan Miskawaih teantang fitrah manusia, yang dianggapnya
sebagai benda alam yang suci dan mulia. Namun, jika manusia tidak
mengekspresikan yang khas dari substansi dirinya, maka ia tidak ada ubahnya
dengan makhluk yang bernama keledai. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya
merekonstruksi karakter untuk mencetak tingkah lakunya agar menjadi lebih baik
dan mulia, sehingga beakhlak mulia dan terpuji.
Rekonstruksi karakter
manusia itu yang lebih tepat disebut sebagai pendidikan, menurut Miskawaih
harus dimulai sejak dini. Karena, jiwa manusia berkembang dari tingkat yang
sederhana ke tingkat yang lebih tinggi, sehingga terbentuk tiga kekuatan jiwa
yang secara hierarkis dimulai dari daya kebinatangan (al-bahimiyyah) , daya kebuasan (al-sabu’iyyah),
dan yang terakhir daya berpikir (al-nathiqah),
yang ditandai adanya rasa malu pada anak-anak.
Kehidupan yang utama
pada anak-anak memerlukan dua syarat: pertama,
kejiwaan, yang tersimpul dalam menumbuhkan watak cinta kasih kepada kebaikan,
yang dapat dilakukan dengan mdah pada anak-anak yang berperilaku baik, dan
dapat dilatih dengan pembiasaan diri untuk cenderung kepada kebaikan. Kedua, sosial, dan ini dapat dicapai
dengan cara memilihkan lingkungan pergaulan yang baik, dengan meanjauhkan dari
teman-teman yang berperangai buruk dan jahat. Maka, sangat besar faidahnya
memasukkan anak-anak ke sebuah lingkungan yang kondusif, terutama dalam
menumbuh kembangkan rasa percaya diri pada diri mereka.
Selain itu, menurut
Miskawaih anak-anak harus dididik akhlak mulia, melalui pendidikan keluarga,
dengan menyesuaikan urutan pertumbuhan daya pada jiwa anak, yakni daya
keinginan (etika makan minum, dan berpakaian), daya amarah (berani,
mengendalikan diri) dan daya berpikir (nalar), sehingga lambat laun diharapkan
daya berpikir ini dapat menguasai dan mengontrol segala tingkah laku anak.
E.
Penutup : Trend Eklektisisme
Dari
uraian singkat diatas dapat disimpulkan, bahawa pemikiran etika Ibn Miskawaih
didominasi corak eklektisisme dari beragam aliran filsafat etika, dalam sebuah
kesatuan sistem yang integrative, yang muncul sebagai satu konstruksi etika yang
khas Ibn Miskawaih. Adalah sebuah kerja yang dilandasi adanya motivasi upaya
penyelarasan beragam aliran filsafati dengan nilai-nilai syariat islam, untuk
memperoleh kearifan (al-hikmah),
keutamaan (al-fadlail), dan mencapai
kebahagiaan (al-sa’adah). Hal ini
bertolak dari pandangan Miskawaih bahwa seseorang membutuhkan doktrin agama
tidak dalam waktu-waktu tertentu, melainkan dalam semua aspek kehidupannya,
sebagai petunjuk yang mampu membawanya mencapai puncak kesempurnaan. Karena
agama, yang nota bene datang dari
Allah tidak akan mengajak kecuali kepada kebaikan dan perilaku yang terpuji,
atau hal-hal yang dapat membawanya memperoleh kebahagiaan yang hakiki.
Meskipun demikian, yang
patut dicatat disini, betapa pun Miskawaih lahir dari tradisi Islam dan sangat
komitmen terhadap agamanya, namun shibghah
tradisi pemikiran Yunani sangat kental, dan hamper seluruh item pemikiran etika
Miskawaih tidak pernah lepas dari kerangka pikir karya-karya filsafat etika
Yunani, terutama Plato, Aristotle dan Galenus. Namun uniknya, Miskawaih mampu
meramu beragam aliran itu, dan menjadikannya selaras dengan doktrin-doktrin
syariat Islam, tanpa meninggalkan corak dasar dari aliran pemikiran tersebut. Adalah
hal yang manjadikan Ibn Miskawaih bukan saja sebagai bapak filsafat etika islam
saja, melainkan juaga sebagai dasar-dasar pendidikan Islam, terutama pendidikan
etika, dan bagaimana mendidik dan menanamkan akhlak mulia kepada anak sejak
usia dini, yang dibangun di atas dasar pandangan bahwa manusia dilahirkan dalam
keadaan fitrah dan memiliki jiwa yang bersih, yang dalam pertumbuhannya
kemudian dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor lingkungan dan pendidikan yang
di perolehnya. Adalah sebuah teori yang dicetuskan jauh sebelum teori
tabularasanya John Locke di era modern.
Lebih dari itu,
sebagaimana dinyatakan T.J. De Boer, sosok filosof Miskawaih bukan saja piawai dalam persoalan
teoritis etika, melainkan juga berusaha memaparkannya dalam bentuk praksis. Hal
ini setidaknya dapat dilihat dari karya-karyanya, yang merupakan cerminan dari
pengalaman-pengalaman pribadi Miskawaih secara riil sejak usia dini samapai
muncul kesadarannya terhadap lingkungan sosial yang mengitarinya, sehingga
membuahkan kaya-karya monumental di dalam etika. Maka, sebetulnya Miskawaih
hendak mengajak oang lain untuk mampu mengambil yang positif dan membuang yang
negatif dari perjalanan hidupnya, secara detail dan apik.
Any way,
Ibn Miskawaih dan pemikiran etikanya telah memberikan kontribusi pemikiran yang
sangat besar dalam dunia pemikiran Islam, terutama khazanah filsafat Islam,
adalah hal yang menempatkannya sebagai bapak pendidri filsafat etika Islam,
bahkan dalam dunia filsafat Islam dikenal sebagi guru ketiga (al-mu’allim al-tsalits), dan tentu
setelah Aristotle sabagai guru pertama (al-mu’allim
al-awwal) dan al-Farabi sebagai guru ke dua (al-mu’allim al-tsani). [1]
[1]
Zainuddin, dkk, Pendidikan Islam Dari
Paradigm Klasik Hingga Kontemporer, (Malang:UIN Malang Press, 2009), hal
137-155
0 komentar:
Posting Komentar