Kedatangan Jepang ke Indonesia agak berbeda dengan kadatangan Belanda sebagaimana dikemukakan di atas. Jika kedatangan Belanda yang semula bertujuan dagang yang selanjutnya diikuti dengan tujuan politik dan keagamaan, maka kedatangan Jepang lebih cenderung untuk tujuan politik, yaitu mendapatkan dukungan pasokan sumber daya manusia (tentara) dan logistik yang mereka perlu untuk kemenangan perang Asia Timur Raya.
Sejarah mencatat bahwa pada saat Jepang datang ke Indonesia, keadaan dunia sedang berada dalam suasana Perang Dunia II yang didasarkan pada motif perluasan wilayah dan penguasaan terhadap sumber-sumber ekonomi. Dinamai Perang Dunia, karena seluruh bangsa di dunia terlibat dalam perang tersebut, walaupun dengan peran dan fungsi yang berbea-beda. Pada saat Perang Dunia II tersebut, keadaan negara terbagi ke dalam Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat adalah negara-negara yang berada di kawasan Eropa dan Amerika serta sekutu-sekutunya dengan komandan-komandannya antara lain Amerika, Inggris, Jerman, Perancis, Belanda, Portugis, dan sekutunya. Adapun negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam seperti India, Mesir, Turki, Persia, Malaysia, da Indonesia, justru berada dalam hegemoni blok negara yang sedang berperang tersebut.
Indonesia sebagai negara yang berada di wilayah timur yang sebelumnya dijajah oleh Belanda, bahkan juga pernah dikuasai oleh Inggris dan Portugis, berada dalam posisi yang diperebutkan oleh negara-negara tersebut. Pada saat Jepang datang, Indonesia berada dalam kekuasaan Belanda yang pada saat itu kekuasaannya sudah hampir melemah. Peperangan antara para pejuang Nusantara dan tentara Belanda kerap kali terjadi, dan pada saat itulah Jepang datang dengan menawarkan solusi terbaik, yang memberikan bantuan dan menjanjikan sebuah kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Jepang mencoba menarik simpatik bangsa Indonesia dengan menggunakan berbagai pendekatan, antara lain pendekatan kewilayahan dan kebudayaan. Jauh sebelum Jepang datang ke Indonesia, mereka telah mempelajari karakteristik ajaran Islam yang dianut masyarakat Indonesia secara umum dengan cara mengadakan festival tentang Islam di Tokyo. Sejak pertengahan tahun 1920-an dan seterusnya, lembaga-lembaga yang berbakti kepada studi Islam dan majalah yang membahas masalah Islam muncul di Jepang. Pada tahun 1933, beberapa kalangan mulai mengadakan agitasi dengan tujuan untuk membuat Jepang menjadi pelindung Islam, dan dua tahun kemudian kelompok pertama dari empat orang mahasiswa dikirim ke Arab dan Mesir untuk menyiapkan dirinya bagi pekerjaan propaganda. Pada saat itu juga, para penguasa Jepang meningkatkan jumlah mahasiswa Islam dan guru-guru, baik dari Timur Tengah maupun dari negara Asia, untuk datang ke Jepang. Sebuah langkah awal dibuat dengan menerbitkan jurnal bahsa Arab untuk disebarkan di luar negeri.
Selanjutnya pada tahun 1935, masjid pertama didirikan di Kobe, dan disusul lagi tahun 1938 oleh sebuah tempat ibadah yang lebih mengesankan di ibukota, yang dibuka dengan upacara, dihadiri oleh banyak tamu-tamu luar negeri, termasuk Pangeran Hussein dari Yaman. Selain itu, Perserikatan Islam Jepang (Dai Nippon Kaikyo Kyokai) dibentuk pada bulan Mei 1938,deangan Jenderal Senjuro Hayashi sebagai Bapak Islam Jepang, sebagai presidennya. Pada bulan September 1939, organisasi yang baru ini secara resmi mulai mengadakan aktivitasnya yang pertama dengan mengundang orang-orang Islam luar negeri untuk menghadiri Pameran Islam di Tokyo dan Osaka pada tanggal 5-29 November tahun itu juga. Untuk pertama kalinya di dalam sejarah Islam Indonesia, perhatian dialihkan dari Timur Tengah ke Negeri Matahari Terbit. Sebuah konferensi khusus diadakan oleh Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada permulaan Oktober, dimana undangan dari Tokyo disetujui dan diterima.
Dengan cara ini Jepang ingin menunjukan secara diplomatis bahwa Jepang punya perhatian yang besar terhadap Islam, sehingga memudahkan untuk masuk ke Indonesia. Selain itu, Jepang juga menganggap Indonesia sebagai Saudara Tua di Asia Timur Raya. Pendekatan ini tampak cukup efektif, sehingga ketika Jepang datang ke Indonesia, walaupun dengan penuh curiga dan tanda tanya, ternyata diterima oleh bangsa Indonesia. [1]
Jepang menjajah Indonesia setelah mengusir pemerintah Hindia Belanda dalam perang dunia ke II. Mereka menguasai Indonesia pada tahun 1942, dengan membawa semboyan : Asia Timur Raya Raya untuk Asia dan semboyan Asia Baru.
Pada babak pertamanya pemerintah Jepang menampakan diri seakan-akan membela kepentingan Islam, yang merupakan suatu siasat untuk kepentingan perang dunia ke II. Untuk mendekati umat Islam Indonesia mereka menempuh kebijakan antara lain:
1. Kantor Urusan Agama yang zaman Belnda disebut: Kantor Voor Islamistische yang dipimpin oleh orang-oramg Orientalisten Belanda, dirubah oleh Jepang menjadi kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama Islam sendiri yaitu K.H Hasyim Asy’ari dari Jombang dan di daerah-daerah dibentuk Sumuka.
2. Pondok pesantren yang besar-besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepamng.
3. Sekolah negeri diberi pelajaran Budipekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.
4. Disamping itu Pemerintah Jepang juga mengizinkan pembentukan barisan Hisbullah untuk memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam. Barisan ini dipimpin oleh K.H Zainul Arifin.
5. Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh K.H Wahid Hasyim, Kahar Muzakir dan Bung Hatta.
6. Para ulama Islam bekerjasama dengan pimpinan-pimpinan nasionalis diizinkan membentuk barisan Pembela Tanah Air (Peta). Tokoh-tokoh santri dan pemuda Islam ikut dalam latihan kader militer itu, antara lain: Sudirman, Abd.Khaliq Hasyim, Iskandar Sulaiman, Yunus Anis, Aruji Kartawinata, Kasman Singodimejo, Mulyadi Joyomartono, Wahib Wahab, Sarbini, Saiful Islam dan lain-lain. Tentara Pembela Tanah Air inilah yang menjadi TNI sekarang.
7. Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut :Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.
Maksud dari pemerintah Jepang adalah supaya kekuatan umat Islam dan nasioanalis dapat dibina untuk kepentingan perang Asia Timur Raya yang dipimpin oleh Jepang.
Perang Dunia ke II menghebat dan tekanan pihak sekutu kepada Jepang makin berat. Beberapa tahun menjelang berakhirnya perang itu tampak semakin jelas betapa beratnya Jepang menghadapi musuh dari luar dan oposisi dari rakyat Indonesia sendiri. Dari segi militer dan social politik di Indonesia Jepang menampakkan diri sebagai penjajah yang sewenang-wenang dan lebih kasar daripada penajajah Belanda. Kekayaan bumi Indonesia dikumpulkan secara paksa untuk membiayai perang Asia Timur Raya, sehingga rakyat menderita kelaparan dan hamper telanjang karena kekurangan pakaian. Disamping itu rakyat dikerahkan kerja keras (romusha) untuk kepentingan perang.
Jepang membentuk badan-badan pertahanan rakyat seperti Haihoo, Peta, Keibodan, Seinan, dan lain sebagainya, sehingga penderitaan rakyat lahir dan batin makin tak tertahankan lagi. Maka timbulah pemberontakan-pemberontakan baik dari golongan Peta di Blitar Jawa Timur dan lain-lain maupun oposisi dari para alim ulama. Banyak Kyai yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Jepang.
Dunia pendidikan secara umum terbengkalai, karena murid-murid sekolah tiap hari hanya disuruh gerak badan, baris berbaris,bekerja bakti (romusha), bernyanyi dan lain sebagainya. Yang masih agak beruntung adalah madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan pondok pesantren yang bebas dari pengawasan langsung pemerintah Jepang. Pendidikan dalam pondok pesantren masih dapat berjalan dengan agak wajar. [2]
Penjajahan Jepang atas Indonesia berlangsung sangat singkat yaitu kira-kira 3,5 tahun (Maret 1942- Agustus 1945). Sekalipun masa penjajahan ini cukup pendek, namun ditinjau dari politik zaman ini cukup berarti, khususnya bagi mematangkan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaanya 17 Agustus 1945, dan perjuangan-perjuangan mempertahankannya.
Ditinjau dari kepentingan pendidikan masa penjajahan Jepang merupakan masa berlatih baik fisik maupun mental yang akhirnya menjadi modal dasar yang akan berkembang setelah Indonesia merdeka. Misalnya dasar-dasar kemiliteran yang diletakan Jepang sejak pembentukan PETA, HEIHO, dan sebagainya, yang kemudian menjadi modal bagi pembentukan TNI (Tentara Nasioanl Indonesia). Bahkan pembinaan fisik dan olah raga (Taiso) juga diletakan dasarnya pada masa ini.
Pendidikan Islam agak terhambat akibat tekanan tentara Jepang, dibawah ancaman bayonet tiap hari seluruh bangsa Indonesia , tidak terkecuali umat Islam, harus menundukkan kepalanya dengan cara menghadap ke arah Timur Laut untuk menghormati Tenno Heika sebagai putra dewa Amaterasu Umikami. Banyak umat Islam yang menentang perlakuan Jepang ini, namun tidak berhasil, akibatnya banyak bangsa Indonesia yang patah lehernya, karena “bagero” tetapi batinnya tetap bertauhid kepada Allah SWT.
Dalam situasi demikian, Pondok Pesantren telah berfungsi sebagai dapur memasak mental santri-santri yang nanti dalam zaman Revolusi kemerdekaan sesudah 17 Agustus 1945 antara lain mereka menjadi lasykar rakyat dengan nama Hizbullah, Sabilillah. Untuk santri wanita bernama Sabil Muslimat. Kemudian laskar-laskar ini bergabung menjadi Tentara Keamanan Rakyat yang sekarang bernama Tentara Nasional Indoneisa (TNI), ikut andil besar dalam menegakan pancasila ini.[3]
Kebijakan Pemerintah Jepang
Sejalan dengan pendekatan persuasif, akomodatif, dan kultural yang diterapkan, pemerintahan jajahan Jepang mengeluarkan sejumlah kebijakan yang dinilai menguntungkan dan menyenangkan bagi bangsa Indonesia pada umumnya, dan bagi umat Islam pada khususnya. Kebijakan ini antara lain sebagai berikut.
Pertama, Jepang mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Tingkat Provinsi/Kanwil Agama), dan Shumuka (Kantor Urusan Agama Tingkat Pusat/Departemen Agama). Dengan didirikannya Shumuba dan Shumuka ini, Jepang ingin menunjukan kepada umat Islam bahwa Jepang selain memberikan perhatian dan kebebasan bagi umat Islam untuk melaksanakan ajaran agama, juga untuk mengatur dan mengurusi berbagai hal yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Keadaan ini menjadi daya tarik, kesukaan, dan kepercayaan umat Islam terhadap pemerontah Jepang.
Kedua, Jepang mendirikan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) sebagai pengganti Majelis Syuro Islam Indonesia (Masyumi) yang ada sebelumnya, yaitu sebuah federasi yang berfungsi sebagai tempat bagi umat Islam untuk menyampaikan gagasan, pemikiran dan aspirasi politiknya. Melalui lembaga ini, para ulama, pemuka, dan tokoh agama dari berbagai organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan lainnya dapat berkomunikasi, berinteraksi, bersilaturahmi, dan mendiskusikan berbagai hal yang berkaitan dengan keagamaan. Melalui wadah ini, para ulama, tokoh agama, dan pemuka umat diperkenalkan tentang tata cara bermusyawarah secara modern yang dinilai lebih efektif dan efisien.
Ketiga, Jepang memberiukan kesadaran pada elite politik Islam untuk mengambil peran dalam menentukan masa depan bangsa Indonesia dengan mendirikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) serta Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Melalui wadah ini, bangsa Indonesia makin yakin bahwa Jepang datang ke Indonesia bukan untuk menjajah sebagaimana Belanda menlainkan untuk membantu Bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan yang sesungguhnya.
Keempat, Jepang memperkenalkan kepada umat Islam tentang cara berorganisasi dan menggunakan senjata yang modern melalui pembentukan kesatuan tentara hizbullah(tentara Allah) dan Pembela Tanah Air (PETA). Dengan cara ini, umat Islam bukan hanya mampu menggunakan peralatan dn senjata pertahanan keamanan yang bersifat tradisional seperti bambu runcing, pedang, dan golok melainkan juga pistol, granat dan meriam.
Kelima, Jepang memperkenalkan kebijakan pendidikan yang demokratis, egaliter dan adil. Kebijakan pemerintah Belanda yang diskriminatif dalam bidang pendidikan, sebagaimana diuraikan pada bab sebelum ini, telah diubah dengan amat signifikan. Undang-Undang Ordonasi yang membatasi gerak-gerik para guru agama dan da’I Islam dihapuskan oleh Jepang, sehingga para guru dan da’I dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh leluasa. Dengan kebijakan ini, maka lembaga pendidikan Islam yang semula berada di pinggiran kota tersembunyi, mulai berada di kota dan berkiprah secara terang-terangan. Akibemikat keadaan ini sejumlah pesantren dan lembaga pendidikan makin bertambah.
Dengan mengemukakan berbagai kebijakan tersebut, Jepang selain telah memberikan kenangan manis (sweet memory), juga telah memberikan pencerahan dan penyadaran kepada umat Islam untuk memperjuangkan hak-hak politik dan hak-hak sosialnya. Dengan berbagai kebijakan tersebut benar-benar telah berhasil menerapkan sebuah strategi yang tepat untuk merangkul dan meminta dukungan Bangsa Indonesia.
Namun demikian, keadaan tersebut ternyata hanya sebuah taktik dan tipuan belaka. Jepang mulai menunjukkan sifat penjajah dan fasisnya kepada bangsa Indonesia. Sebgai akibat kekalahan bertubi-tubi dalam peperangan dengan tentara sekutu (Amerika, Inggris, Perancis dan Australia), Jepang amat membutuhkan dukungan sumber daya manusia dan logistik untuk keperluan perangnya. Untuk keperluan ini, Jepang mulai menuntut rakyat Indonesia menyatakan kepatuhan kepada pemerintah Jepang antara lain dengan menghormati Kaisar Jepang setiap pagi, dengan cara menyembah matahari sebagai lambang Kaisar Jepang. Pada setiap pagi setiap anak sekolah selain harus menyanyikan lagu kimigayo juga harus membungkukkan badan ke arah matahari. Selain itu, Jepang juga menerapkan kebijakan tanam paksa atau kerja rodi kepada rakyat Indonesia, dengan tujuan agar mendapatkan bahan makanan yang mencukupi kebutuhan mereka. Kepada siapa saja yang tidak mematuhi perintahnya, Jepang tidak segan-segan untuk menghukum dan menyiksanya sampai mati. Selain itu, Jepang juga membutuhkan tenaga sukarelawan untuk berjuang bagi kepentingan Jepang. Untuk ini, Jepang menerapkan program wajib militer kepada setiap rakyat Indonesia. Guna memenuhi kebutuhan hasrat seksual biologis bagi prajuritnya, Jepang juga memaksa kaum wanita untuk dijadikan wanita pemuas hawa nafsu. Demikian pula kemerdekaan yang dijanjikan Jepang, ternyata hanya isapan jempol belaka alias, janji palsu.
Kebijakan yang demikian itu ternyata semakin membawa penderitaan lahir batin bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi umat Islam. Keadaan tersebut baru berakhir ketika Jepang harus pulang dan menyeleamatkan tanah air Hirosima dan Nagasaki, dua kota terbesar di Jepang, dihancurkan oleh Amerika dengan dijatuhkan bom atom di kedua kota ini. Jepang harus pulang ke negerinya dan bertekuk lutut kepada Amerika.
Dalam situasi ketiadaan Belanda dan Jepang di Indonesia itu, rakyat Indonesia yang dipimpin oleh para tokoh pergerakan seperti Soekarno, hatta, Syahrir dan lain-lain memanfaatkan kesempatan untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri.
Selanjutnya dalam usai kemerdekaan yang masih bayi, dan kekuatan komponen bangsa yang belum terkonsolidasikan dengan mantap, dengan membonceng tentara Sekutu, Belanda untuk kedua kalinya ingin kembali menjajah Indonesia. Dalam situasi yang demikian itu tidak ada alternative lain kecuali mempertahankan kemerdekaan tersebut dengan segenap jiwa, raga dan kemampuan yang ada. Bangsa Indonesia harus mencegah kembali penjajah Belanda ke Indonesia. Dan daalam situasi yang demikian itu, bangsa Indonesia harus menghadapi Belanda dan tentara Sekutu yang baru saja menang dalam Perang Dunia II.
Pasukan Hizbullah dan PETA bikinan Jepang serta kader-kader pejuang yang siap berjihad dilatih oleh para kiyai di Pesantren, akhirnya terjun ke medan perang dengan hanya mengandalkan peralatan perang seadanya. Akhirnya dengan tekad dan semnagat yang kuat serta atas pertolongan dan izin Allah SWT akhirnya peperangan dimenangkan oleh bangsa Indonesia. Dan setelah melalui berbagai perjuangan diplomasi yang dilakukan para tokoh pejuang Indonesia akhirnya Indonesia diakui sebagai negara merdeka dan berdaulat. Mesir misalnya adalah salah satu negara yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia.
Keadaan Pendidikan Islam Zaman Jepang
Walaupun Jepang menjajah Indonesia yakni hanya 3,5 tahun bukan berarti Jepang tidak memberikan pengaruh terhadap perkembangan pendidikan Islam. Pengaruh Pendidikan Islam sebagai berikut :
Pertama, umat Islam merasa lebih leluasa dalam mengembangkan pendidikannya, karena berbagai undang-undang dan peraturan yang dibuat pemerintah Belanda yang sangat diskriminatif dan membatasi itu sudah tidak diberlakukan lagi.Jadi umat Islam di Indonesia dapat berkiprah secara leluasa dalam bidang pendidikan.
Kedua, sistem pendidikan Islam yang terdapat pada zaman Jepang pada dasarnya masih sama dengan sistem pendidikan Islam pada zaman Belanda, yakni disamping pendidikan pesantren yang didirikan kaum ulama tradisional, juga terdapat sistem pendidikan klasikal sebagaimana yang terlihat pada madrasah yaitu sistem pendidikan Belanda yang muatannya terdapat pelajaran Agama.[4]
[1]Abudin Natta.Sejarah Pendidikan Islam.
[2]Maksum Umar, dkk.Sejarah Pendidikan Islam.Jakarta:1986. Hal 149-151
[3]Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam .Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.Jakarta:1986. Hal 20
[4]Abudin Natta.Sejarah Pendidikan Islam