Juni 2016 ~ Sejarah Islam

Bismillah Semoga Bermanfaat

Sejarah Pendidikan Islam.

Islamisasi di Nusantara

Makalah Peran Kerajaan Islam dalam Proses Islamisasi.

Metode Belajar Az-Zarnuji

Makalah Tentang Metode Belajar Menurut Az-Zarnuji.

Belanda Tiba

Makalah Pendidikan Pada Zaman Penajajahan Belanda.

Jepang Datang

Pendidikan Pada Zaman Jepang.

Pendidikan Islam Zaman Penjajahan Jepang


    Kedatangan Jepang ke Indonesia agak berbeda dengan kadatangan Belanda sebagaimana dikemukakan di atas. Jika kedatangan Belanda yang semula bertujuan dagang yang selanjutnya diikuti dengan tujuan politik dan keagamaan, maka kedatangan Jepang lebih cenderung untuk tujuan politik, yaitu mendapatkan dukungan pasokan sumber daya manusia (tentara) dan logistik yang mereka perlu untuk kemenangan perang Asia Timur Raya.
       Sejarah mencatat bahwa pada saat Jepang datang ke Indonesia, keadaan dunia sedang berada dalam suasana Perang Dunia II yang didasarkan pada motif perluasan wilayah dan penguasaan terhadap sumber-sumber ekonomi. Dinamai Perang Dunia, karena seluruh bangsa di dunia terlibat  dalam perang tersebut, walaupun dengan peran dan fungsi yang berbea-beda. Pada saat Perang Dunia II tersebut, keadaan negara terbagi ke dalam Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat adalah negara-negara yang berada di kawasan Eropa dan Amerika serta sekutu-sekutunya dengan komandan-komandannya antara lain Amerika, Inggris, Jerman, Perancis, Belanda, Portugis, dan sekutunya. Adapun negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam seperti India, Mesir, Turki, Persia, Malaysia, da Indonesia, justru berada dalam hegemoni blok negara yang sedang berperang tersebut.
     Indonesia sebagai negara yang berada di wilayah timur yang sebelumnya dijajah oleh Belanda, bahkan juga pernah dikuasai oleh Inggris dan Portugis, berada dalam posisi yang diperebutkan oleh negara-negara tersebut. Pada saat Jepang datang, Indonesia berada dalam  kekuasaan Belanda yang pada saat itu kekuasaannya sudah hampir melemah.  Peperangan antara para pejuang Nusantara dan tentara Belanda kerap kali terjadi, dan pada saat itulah Jepang datang dengan menawarkan solusi terbaik, yang memberikan bantuan dan menjanjikan sebuah kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Jepang mencoba menarik simpatik bangsa Indonesia dengan menggunakan berbagai pendekatan, antara lain pendekatan kewilayahan dan kebudayaan. Jauh sebelum Jepang datang ke Indonesia, mereka telah  mempelajari karakteristik ajaran Islam yang dianut masyarakat Indonesia secara umum dengan cara mengadakan festival tentang Islam di Tokyo. Sejak pertengahan tahun 1920-an dan seterusnya, lembaga-lembaga yang berbakti kepada studi Islam dan majalah yang membahas masalah Islam muncul di Jepang. Pada tahun 1933, beberapa kalangan mulai mengadakan agitasi dengan tujuan untuk membuat Jepang menjadi pelindung Islam, dan dua tahun kemudian kelompok pertama dari empat orang mahasiswa  dikirim ke Arab dan Mesir untuk menyiapkan dirinya bagi pekerjaan propaganda. Pada saat itu juga, para penguasa Jepang meningkatkan jumlah mahasiswa Islam dan guru-guru, baik dari Timur Tengah maupun dari negara Asia, untuk datang ke Jepang. Sebuah langkah awal dibuat dengan menerbitkan jurnal bahsa Arab untuk disebarkan di luar negeri.
     Selanjutnya pada tahun 1935, masjid pertama didirikan di Kobe, dan disusul lagi tahun 1938 oleh sebuah tempat ibadah yang lebih mengesankan di ibukota, yang dibuka dengan upacara, dihadiri oleh banyak tamu-tamu luar negeri, termasuk Pangeran Hussein dari Yaman. Selain itu, Perserikatan Islam Jepang (Dai Nippon Kaikyo Kyokai) dibentuk pada bulan Mei 1938,deangan Jenderal Senjuro Hayashi sebagai Bapak Islam Jepang, sebagai presidennya. Pada bulan September 1939, organisasi yang baru ini secara resmi mulai mengadakan aktivitasnya yang pertama dengan mengundang orang-orang Islam luar negeri untuk menghadiri Pameran Islam di Tokyo dan Osaka pada tanggal 5-29 November tahun itu juga. Untuk pertama kalinya di dalam sejarah Islam Indonesia, perhatian dialihkan dari Timur Tengah ke Negeri Matahari Terbit. Sebuah konferensi khusus diadakan oleh Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada permulaan Oktober, dimana undangan dari Tokyo disetujui dan diterima.
     Dengan cara ini Jepang ingin menunjukan secara diplomatis bahwa Jepang punya perhatian yang besar terhadap Islam, sehingga memudahkan untuk masuk ke Indonesia. Selain itu, Jepang juga menganggap Indonesia sebagai Saudara Tua di Asia Timur Raya. Pendekatan ini tampak cukup efektif, sehingga ketika Jepang datang ke Indonesia, walaupun dengan penuh curiga dan tanda tanya, ternyata diterima oleh bangsa Indonesia. [1]
     Jepang menjajah Indonesia setelah mengusir pemerintah Hindia Belanda dalam perang dunia ke II. Mereka menguasai Indonesia pada tahun 1942, dengan membawa semboyan : Asia Timur Raya Raya untuk Asia dan semboyan Asia Baru.
     Pada babak pertamanya pemerintah Jepang menampakan diri seakan-akan membela kepentingan Islam, yang merupakan suatu siasat untuk kepentingan perang dunia ke II. Untuk mendekati umat Islam Indonesia mereka menempuh kebijakan antara lain:

1.    Kantor Urusan Agama yang zaman Belnda disebut: Kantor Voor Islamistische yang dipimpin oleh orang-oramg Orientalisten Belanda, dirubah oleh Jepang menjadi kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama Islam sendiri yaitu K.H Hasyim Asy’ari dari Jombang dan di daerah-daerah dibentuk Sumuka.
2.  Pondok pesantren yang besar-besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepamng.
3.     Sekolah negeri diberi pelajaran Budipekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.
4.  Disamping itu Pemerintah Jepang juga mengizinkan pembentukan barisan Hisbullah untuk memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam. Barisan ini dipimpin oleh K.H Zainul Arifin.
5.   Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh K.H Wahid Hasyim, Kahar Muzakir dan Bung Hatta.
6.    Para ulama Islam bekerjasama dengan pimpinan-pimpinan nasionalis diizinkan membentuk barisan Pembela Tanah Air (Peta). Tokoh-tokoh santri dan pemuda Islam ikut dalam latihan kader militer itu, antara lain: Sudirman, Abd.Khaliq Hasyim, Iskandar Sulaiman, Yunus Anis, Aruji Kartawinata, Kasman Singodimejo, Mulyadi Joyomartono, Wahib Wahab, Sarbini, Saiful Islam dan lain-lain. Tentara Pembela Tanah Air inilah yang menjadi TNI sekarang.
7.      Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut :Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.
     Maksud dari pemerintah Jepang adalah supaya kekuatan umat Islam dan nasioanalis dapat dibina untuk kepentingan perang Asia Timur Raya yang dipimpin oleh Jepang.
Perang Dunia ke II menghebat dan tekanan pihak sekutu kepada Jepang makin berat. Beberapa tahun menjelang berakhirnya perang itu tampak semakin jelas betapa beratnya Jepang menghadapi musuh dari luar dan oposisi dari rakyat Indonesia sendiri. Dari segi militer dan social politik di Indonesia Jepang menampakkan diri sebagai penjajah yang sewenang-wenang dan lebih kasar daripada penajajah Belanda. Kekayaan bumi Indonesia dikumpulkan secara paksa untuk membiayai perang Asia Timur Raya, sehingga rakyat menderita kelaparan dan hamper telanjang karena kekurangan pakaian. Disamping itu rakyat dikerahkan kerja keras (romusha) untuk kepentingan perang.
     Jepang membentuk badan-badan pertahanan rakyat seperti Haihoo, Peta, Keibodan, Seinan, dan lain sebagainya, sehingga penderitaan rakyat lahir dan batin makin tak tertahankan lagi. Maka timbulah pemberontakan-pemberontakan baik dari golongan Peta di Blitar Jawa Timur dan lain-lain maupun oposisi dari para alim ulama. Banyak Kyai yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Jepang.
Dunia pendidikan secara umum terbengkalai, karena murid-murid sekolah tiap hari hanya disuruh gerak badan, baris berbaris,bekerja bakti (romusha), bernyanyi dan lain sebagainya. Yang masih agak beruntung adalah madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan pondok pesantren yang bebas dari pengawasan langsung pemerintah Jepang. Pendidikan dalam pondok pesantren masih dapat berjalan dengan agak wajar. [2]
     Penjajahan Jepang atas Indonesia berlangsung sangat singkat yaitu kira-kira 3,5 tahun (Maret 1942- Agustus 1945). Sekalipun masa penjajahan ini cukup pendek, namun ditinjau dari politik zaman ini cukup berarti, khususnya bagi mematangkan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaanya 17 Agustus 1945, dan perjuangan-perjuangan mempertahankannya.
Ditinjau dari kepentingan pendidikan masa penjajahan Jepang merupakan masa berlatih baik fisik maupun mental yang akhirnya menjadi modal dasar yang akan berkembang setelah Indonesia merdeka. Misalnya dasar-dasar kemiliteran yang diletakan Jepang sejak pembentukan PETA, HEIHO, dan sebagainya, yang kemudian menjadi modal bagi pembentukan TNI (Tentara Nasioanl Indonesia). Bahkan pembinaan fisik dan olah raga (Taiso) juga diletakan dasarnya pada masa ini.
Pendidikan Islam agak terhambat akibat tekanan tentara Jepang, dibawah ancaman bayonet tiap hari seluruh bangsa Indonesia , tidak terkecuali umat Islam, harus menundukkan kepalanya dengan cara menghadap ke arah Timur Laut untuk menghormati Tenno Heika sebagai putra dewa Amaterasu Umikami. Banyak umat Islam yang menentang perlakuan Jepang ini, namun tidak berhasil, akibatnya banyak bangsa Indonesia yang patah lehernya, karena “bagero” tetapi batinnya tetap bertauhid kepada Allah SWT.
     Dalam situasi demikian, Pondok Pesantren telah berfungsi sebagai dapur memasak mental santri-santri yang nanti dalam zaman Revolusi kemerdekaan  sesudah 17 Agustus  1945 antara lain mereka menjadi lasykar rakyat dengan nama Hizbullah, Sabilillah. Untuk santri wanita bernama Sabil Muslimat. Kemudian laskar-laskar ini bergabung menjadi Tentara Keamanan Rakyat yang sekarang bernama Tentara Nasional Indoneisa (TNI), ikut andil besar dalam menegakan pancasila ini.[3]

 Kebijakan Pemerintah Jepang
     Sejalan dengan pendekatan persuasif, akomodatif, dan kultural yang diterapkan, pemerintahan jajahan Jepang mengeluarkan sejumlah kebijakan yang dinilai menguntungkan dan menyenangkan bagi bangsa Indonesia pada umumnya, dan bagi umat Islam pada khususnya. Kebijakan ini antara lain sebagai berikut.
     Pertama, Jepang mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Tingkat Provinsi/Kanwil Agama), dan Shumuka (Kantor Urusan Agama Tingkat  Pusat/Departemen Agama). Dengan didirikannya Shumuba dan Shumuka ini, Jepang ingin menunjukan kepada umat Islam bahwa Jepang selain memberikan perhatian dan  kebebasan bagi umat Islam untuk melaksanakan ajaran agama, juga untuk mengatur dan  mengurusi berbagai hal yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Keadaan ini menjadi daya tarik, kesukaan, dan kepercayaan umat Islam terhadap pemerontah Jepang.
     Kedua, Jepang mendirikan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) sebagai pengganti Majelis Syuro Islam Indonesia (Masyumi) yang ada sebelumnya, yaitu sebuah federasi yang berfungsi sebagai tempat bagi umat Islam untuk menyampaikan gagasan, pemikiran dan aspirasi politiknya. Melalui lembaga ini, para ulama, pemuka, dan tokoh agama dari berbagai organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan lainnya dapat berkomunikasi, berinteraksi, bersilaturahmi, dan mendiskusikan berbagai hal yang berkaitan dengan keagamaan. Melalui wadah ini, para ulama, tokoh agama, dan pemuka umat diperkenalkan tentang tata cara bermusyawarah secara modern  yang dinilai lebih efektif dan efisien.
     Ketiga, Jepang memberiukan kesadaran pada elite politik Islam untuk mengambil peran dalam menentukan masa depan bangsa Indonesia dengan mendirikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) serta Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Melalui wadah ini, bangsa Indonesia makin yakin bahwa Jepang datang ke Indonesia bukan untuk menjajah sebagaimana Belanda menlainkan untuk membantu Bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan yang sesungguhnya.
Keempat, Jepang memperkenalkan kepada umat Islam tentang cara berorganisasi dan menggunakan senjata yang modern melalui pembentukan kesatuan tentara hizbullah(tentara Allah) dan Pembela Tanah Air (PETA). Dengan cara ini, umat Islam bukan hanya mampu menggunakan peralatan dn senjata pertahanan keamanan yang bersifat tradisional seperti bambu runcing, pedang, dan golok melainkan juga pistol, granat dan meriam.
     Kelima, Jepang memperkenalkan kebijakan pendidikan yang demokratis, egaliter dan adil. Kebijakan pemerintah Belanda yang diskriminatif dalam bidang pendidikan, sebagaimana diuraikan pada bab sebelum ini, telah diubah dengan amat signifikan. Undang-Undang Ordonasi yang membatasi gerak-gerik para guru agama dan da’I Islam dihapuskan oleh Jepang, sehingga para guru dan da’I dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh leluasa. Dengan kebijakan ini, maka lembaga pendidikan Islam yang semula berada di pinggiran kota tersembunyi, mulai berada di kota dan berkiprah secara terang-terangan. Akibemikat keadaan ini sejumlah pesantren dan lembaga pendidikan makin bertambah.
     Dengan mengemukakan berbagai kebijakan tersebut, Jepang selain telah memberikan kenangan manis (sweet memory), juga telah memberikan pencerahan dan penyadaran kepada umat Islam untuk memperjuangkan hak-hak politik dan hak-hak sosialnya. Dengan berbagai kebijakan tersebut benar-benar telah berhasil menerapkan sebuah strategi yang tepat untuk merangkul dan meminta dukungan Bangsa Indonesia.
     Namun demikian, keadaan tersebut ternyata hanya sebuah taktik dan tipuan belaka. Jepang mulai menunjukkan sifat penjajah dan fasisnya kepada bangsa Indonesia. Sebgai akibat kekalahan bertubi-tubi dalam peperangan dengan tentara sekutu (Amerika, Inggris, Perancis dan Australia), Jepang amat membutuhkan dukungan sumber daya manusia dan logistik untuk keperluan perangnya. Untuk keperluan ini, Jepang mulai menuntut rakyat Indonesia menyatakan kepatuhan kepada pemerintah Jepang antara lain dengan menghormati Kaisar Jepang setiap pagi, dengan cara menyembah matahari sebagai lambang Kaisar Jepang. Pada setiap pagi setiap anak sekolah selain harus menyanyikan lagu kimigayo juga harus membungkukkan badan ke arah matahari. Selain itu, Jepang juga menerapkan kebijakan tanam paksa atau kerja rodi kepada rakyat Indonesia, dengan tujuan agar mendapatkan bahan makanan yang mencukupi kebutuhan mereka. Kepada siapa saja yang tidak mematuhi perintahnya, Jepang tidak segan-segan untuk menghukum dan menyiksanya sampai mati. Selain itu, Jepang juga membutuhkan tenaga sukarelawan untuk berjuang bagi kepentingan Jepang. Untuk ini, Jepang menerapkan program wajib militer kepada setiap rakyat Indonesia. Guna memenuhi kebutuhan hasrat seksual biologis bagi prajuritnya, Jepang juga memaksa kaum wanita untuk dijadikan wanita pemuas hawa nafsu. Demikian pula kemerdekaan yang dijanjikan Jepang, ternyata hanya isapan jempol belaka alias, janji palsu.
     Kebijakan yang demikian itu ternyata semakin membawa penderitaan lahir batin bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi umat Islam. Keadaan tersebut baru berakhir ketika Jepang harus pulang dan menyeleamatkan tanah air Hirosima dan Nagasaki, dua kota terbesar di Jepang, dihancurkan oleh Amerika dengan dijatuhkan bom atom di kedua kota ini. Jepang harus pulang ke negerinya dan bertekuk lutut kepada Amerika.
     Dalam situasi ketiadaan Belanda dan Jepang di Indonesia itu, rakyat Indonesia yang dipimpin oleh para tokoh pergerakan seperti Soekarno, hatta, Syahrir dan lain-lain memanfaatkan kesempatan untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri.
Selanjutnya dalam usai kemerdekaan yang masih bayi, dan kekuatan komponen bangsa yang belum terkonsolidasikan dengan mantap, dengan membonceng tentara Sekutu, Belanda untuk kedua kalinya ingin kembali menjajah Indonesia. Dalam situasi yang demikian itu tidak ada alternative lain kecuali mempertahankan kemerdekaan tersebut dengan segenap jiwa, raga dan kemampuan yang ada. Bangsa Indonesia harus mencegah kembali penjajah Belanda ke Indonesia. Dan daalam situasi yang demikian itu, bangsa Indonesia harus menghadapi Belanda dan tentara Sekutu yang baru saja menang dalam Perang Dunia II.
      Pasukan Hizbullah dan PETA bikinan Jepang serta kader-kader pejuang yang siap berjihad dilatih oleh para kiyai di Pesantren, akhirnya terjun ke medan perang dengan hanya mengandalkan peralatan perang seadanya. Akhirnya dengan tekad dan semnagat yang kuat serta atas pertolongan dan izin Allah SWT akhirnya peperangan dimenangkan oleh bangsa Indonesia. Dan setelah melalui berbagai perjuangan diplomasi yang dilakukan para tokoh pejuang Indonesia akhirnya Indonesia diakui sebagai negara merdeka dan berdaulat. Mesir misalnya adalah salah satu negara yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia.

 Keadaan Pendidikan Islam Zaman Jepang
Walaupun Jepang menjajah Indonesia yakni hanya 3,5 tahun bukan berarti Jepang tidak memberikan pengaruh terhadap perkembangan pendidikan Islam. Pengaruh Pendidikan Islam sebagai berikut :
Pertama, umat Islam merasa lebih leluasa dalam mengembangkan pendidikannya, karena berbagai undang-undang dan peraturan yang dibuat pemerintah Belanda yang sangat diskriminatif dan membatasi itu sudah tidak diberlakukan lagi.Jadi umat Islam di Indonesia dapat berkiprah secara leluasa dalam bidang pendidikan.
     Kedua, sistem pendidikan Islam yang terdapat pada zaman Jepang pada dasarnya masih sama dengan sistem pendidikan Islam pada zaman Belanda, yakni disamping pendidikan pesantren yang didirikan kaum ulama tradisional, juga terdapat sistem pendidikan klasikal sebagaimana yang terlihat pada madrasah yaitu sistem pendidikan Belanda yang muatannya terdapat pelajaran Agama.[4]



[1]Abudin Natta.Sejarah  Pendidikan Islam.
[2]Maksum Umar, dkk.Sejarah Pendidikan Islam.Jakarta:1986. Hal 149-151
[3]Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam .Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.Jakarta:1986. Hal 20
[4]Abudin Natta.Sejarah  Pendidikan Islam

PENDIDIKAN MENURUT IBNU KHALDUN


PENDIDIKAN MENURUT IBNU KHALDUN















DISUSUN OLEH:
EDWAN BAGUS SANTOSA
12410036



PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA





A.    PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Pemikiran tokoh dalam dunia pendidikan sangat banyak dan beragam. Masing-masing tokoh memiliki pendapatnya masing-masing. Seperti yang akan penulis bahas pada kesempatan kali ini. Penulis akan menguraikan salah satu pemikiran seorang tokoh muslim yang sangat terkenal dengan karyanya, “Mukaddimah”Abu Zayd 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami atau yang akrab dipanggil Ibnu Khaldun adalah seorang tokoh muslim yang banyak berkecimpung di dunia pendidikan.     Berbicara mengenai Pendidikan merupakan topik yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Mengingat betapa urgen atau penting pendidikan membangun sebuah negara. Maju mundurnya sebuah negara tergantung pada warga negaranya. Memang seorang guru mustahil merubah negara. Tetapi guru mampu merubah muridnya sebagai warga negara. Otomatis negara akan berubah menjadi maju bila warga negara yang menempatinya berubah menjadi lebih baik.
Selain itu sejarah juga mempunyai peran penting dalam kemajuan suatu bangsa. Negara-negara besar saat ini bisa maju karena mereka tidak melupakan sejarah. Apalagi Islam sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin (Rahmat bagi Alam Semesta) yang juga mempunyai sejarah yang amat tinggi.
Oleh karena itu, penulis mencoba mengupas pemikiran Ibnu Khaldun sebagai salah satu kazanah keilmuan Islam yang sangat berharga. Apa saja pemikiran beliau yang sampai saat ini masih relevan dengan pemikiran pendidikan modern. Dan juga sedikit penulis paparkan mengenai biografi beliau yang patut kita ketahui bersama.
2.      Rumusan Masalah
a.       Bagaimanakah Latar Belakang Ibnu Khaldun?
b.      Apa saja Pemikiran Ibnu Khaldun dalam Dunia Pendidikan?
3.      Tujuan dan Manfaat
a.       Mengetahui Latar Belakang Ibnu Khaldun.
b.      Mengetahui Pemikiran Ibnu Khaldun dalam Dunia Pendidikan.

B.     PEMBAHASAN

1.      Gambaran Umum tentang Kehidupan Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun, nama lengkap: Abu Zayd 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami (عبد الرحمن بن محمد بن خلدون الحضرمي) (lahir 7 Mei 1332 -  meninggal 25 Maret 1406  pada umur 73 tahun) adalah seorang sejarawan muslim dari Tunisia dan sering disebut sebagai bapak pendiri ilmu historiografi, sosiologi, dan ekonomi.  Karyanya yang terkenal adalah Mukoddimah (Pendahuluan).[1]
Ibnu Khaldun hidup pada akhir masa Dinasti Mamluk di Baghdad yang pada saat itu sedang mengalami kekalahan dari bangsa Tartar pada tahun 656 H s/d 923 H. pada periode ini Dinasti Usmani menaklukan Mesir. Maka, kekuasaan Islam mulai saat itu berpindah dari Baghdad ke Mesir.
Selama pemerintahan Dinasti Mamalik di bawah kekuasaan Sultan Mamalik, bangsa Mesir mendapatkan perlakuan yang istimewa terutama para ulama Mesir. Walaupun Bangsa Mamalik tidak fasih berbahasa Arab tetapi Sultan Mamalik menyambut baik pengajaran Bahasa Arab di kerajaannya. Bahkan Sultan Mamalik akan memberikan hadiah bagi ulama-ulama yang mampu menyusun kitab. Selain itu Sultan Mamalik juga menaruh perhatian besar pada bidang pendidikan. Sebagai contoh: beliau membangun masjid-masjid dan madrasah-madrasah yang mencapai sekitar 45 buah.
Ibnu Khaldun mula-mula tinggal di Isbilih, yang masih merupakan bagian dari Andalusia di Spanyol. Pada masa itu kebebasan berfikir ditindas dan difitnah. Tetapi Ibnu Khaldun tumbuh menjadi seorang yang dewasa akalnya dan kreatif. Walaupun pada masa itu terjadi ketidakstabilan dalam tubuh masyarakat. Selain itu beliau juga mendalami kebijakan-kebijakan keilmuan di masanya dan ajaran-ajaran agama serta ilmu-ilmu ‘aqliyah menurut faham Andalusia.

a.       Sejarah Perkembangan Hidupnya
Ibnu Khaldun berasal dari keluarga yang terhormat. Beliau mempunyai garis keturunan sampai pada Wail bin Hajar bin Kindah, dari qabilah Yamani. Qabilah Yamani adalah tergolong qabilah yang terkenal/ yang dihormati banyak orang yang mendorong keinginan (sesuai tabiatnya) merebut kekuasaan dan pemerintahan agar bangsa Arab dapat menguasai bumi Andalusia.

b.      Sifat-sifat dan Akhlaknya
Menurut pendapat Lisanuddin bin al-Khatib. Ibnu Khaldun adalah pria yang baik akhlaknya, penuh dengan keutamaan, besar rasa malu (wira’i), memiliki gaya hidup yang khas, hati-gati dalam bertindak agar tidak salah, sulit untuk dipimpin, pandai berbicara yang penuh dengan nasihat, maju dalam ilmu-ilmu ‘aqliyah dan naqliyah, teliti dalam pembahasan (analisa), banyak hafalan, penulis khat yang cemerlang, memiliki daya tarik untuk dihormati orang lain, terutama dalam pergaulan /diplomasi.[2]

c.       Pembelaan terhadap Pendapat Ibnu Khaldun
Sekarang marilah kita bahas mengenai dua segi penting dari sikap pandang Ibnu Khaldun yakni kedalaman agama dan sikap cinta tanah airnya.[3]
Pertama, kedalaman agama Ibnu Khaldun sesuai dengan gambaran akhlak beliau yang disampaikan oleh Ibnu al-Khatib, antara lain berakhlak baik, ia berakal sehat dan selalu berpegang pada hal-hal yang baik (kalau tidak), maka beliau tidak akan beribadah Haji ke Baitullah adalah benar adanya.
Kedua, sikap cinta tanah air Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun memandang masalah tanah air ini dalam pengertian sempit, tetapi seluruh negara Islam adalah merupakan tanah air yang satu bagi umat Islam yang wajib dikhidmati sampai pada seluruh bagian-bagiannya.

d.      Karya-karya Tulis Ibnu Khaldun
Karya tulis Ibnu Khaldun: Ilmu mantiq, Ringkasan filsafat Ibnu Rusyd, Fiqih, Matematika, Kesusastraan Arab, Sejarah, dan Ilmu hitung. Tetapi yang sampai kepada kita adalah “Perjalanan Ibnu Khaldun di negara-negara Maghrabi dan di Timur”, yang pada juz pertama dari kitab ini dikenal dengan “Muqaddimah”.
Beliau membagi “Muqaddimah”nya yang terkenal itu menjadi bagian yang membahas tentang ilmu sejarah, yaitu:
1)      Kehidupan manusia menurut jumlah, dan jenis-jenis serta penyebarannya di bumi;
2)      Kehidupan orang Baduwi dan kabilah-kabilahnya dan bangsa-bangsa primitif;
3)      Negara dan kerajaan serta tingkat-tingkat kekuasannya;
4)      Kehidupan peradaban, kota-kota, dan tempat-tempat tinggal;
5)      Pekerjaan, penghidupan, karya hasil usaha beserta segi-segi; dan
6)      Ilmu pengetahuan dan cara-cara memperolehnya.

2.      Pandangan Ibnu Khaldun tentang Pendidikan
a.       Tinjauan secara Umum
Mengetahui teknik mengajar adalah suatu keharusan yang diterapkan dalam praktik kependidikan, yang mencakup:[4]
1)      Mengaitkan antara metode dengan materi pelajaran.
2)      Metode bukanlah bagian dari ilmu atau materi pelajaran yang telah ditetapkan.
3)      Mempelajari kejiwaan anak dan tingkat-tingkat kematangan dan bakat-bakat

b.      Klasifikasi Ilmu
Sebelum membicarakan masalah pembelajaran, Ibn Khaldun memulai dengan klasifikasi ilmu. Menurut Ibn Khaldun, ilmu pengetahuan itu ada dua macam, yaitu ilmu yang menjadi tujuan (al-ulum al maqshudah bizatiha) dan ilmu alat untuk memahami ilmu-ilmu yang menjadi tujuan tersebut. Ilmu-ilmu yang menjadi tujuan itu menurut Ibn Khaldun adalah: ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqih, ilmu kalam, ilmu fisika, teologi dan filsafat. Sedangkan yang termasuk dalam kategori ilmu alat adalah: ilmu bahasa, ilmu hitung, ilmu ushul al-fiqh, ilmu manthiq, dan lain-lain.[5]
Menurut Azyumardi Azra[6], para ilmuwan dulu memang mengklasifikasi ilmu dalam berbagai macam jenis, Ibn Khaldun misalnya mengklasifikasi ilmu dalam dua jenis ilmu pokok: naqliyah dan aqliyah. Ilmu naqliyah adalah ilmu yang berdasarkan wahyu dan ilmu aqliyah adalah ilmu yang berdasarkan rasio. Tetapi klasifikasi ilmu tersebut menurut Azra bukan dimaksud mendikotomi ilmu antara satu dengan yang lain, melainkan klasifikasi tersebut menunjukkan betapa ilmu tersebut berkembang dalam peradaban islam. Dalam konteks ini, ilmu agama islam merupakan salah satu saja dari berbagai cabang ilmu secara keseluruhan.
Seperti halnya al-Ghazali, Ibn Khaldun juga mengklasifikasi ilmu dalam dua kategori, yaitu ilmu yang perlu diperluas (ekstensif) atau didalami, dan ilmu yang hanya diketahui secara global. Ilmu yang perlu diperluas dan didalami adalah ilmu syariat, sementara yang cukup dikaji secara global adalah ilmu-ilmu alat, seperti bahasa arab, mantiq dan semacamnya. 

c.       Tujuan Pendidikan
Menurut Ibn Khaldun, tujuan pendidikan islam adalah untuk menanaman keimanan dalam hati anak didik, menginternalisasikan nilai-nilai moral sehingga mampu memberikan pencerahan jiwa dan perilaku yang baik. Secara rinci Ibn Khaldun membagi tujuan pendidikan dalam beberapa hal: a) memberi peluang kepada anak didik untuk mampu berfikir dan berbuat dengan benar. b) memberikan peluang untuk hidup yang berkualitas dalam masyarakat maju. c) memberikan kemampuan untuk mendapatkan pekerjaan sebagai sumber penghasilan. d) dapat mengembangkan perilaku terpuji dalam kehidupan sehari-hari[7]
Disini jelas, bahwa Ibn Khaldun tidak hanya memandang pendidikan sebagai sarana perolehan ilmu an sich, melainkan pendidikan dipandang sebagai investasi masa depan dan memiliki keterkaitan dengan pekerjaan (promise of job), disamping tentu saja pembentukan kepribadian dan pembimbing  menuju berfikir dan berbuat yang benar.
Manusia dianugerahi akal oleh Allah SWT yang bisa membedakan antara yang baik dan buruk, yang haq dan yang bathil, dan akal inilah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Dengan akal manusia mampu menaklukkan alam dan mampu menciptakan kreasi spektakuler yang berupa teknologi modern. Menurut Ibn Khaldun sebagaimana filosof lain mengklasifikasikannya ada beberapa tingkatan akal, yaitu : a) Akal pembeda (al-‘aql al-tamyizi). Akal ini hanya berfungsi sederhana, yaitu hanya mampu membedakan masalah-masalah sederhana dalam kehidupan sehari hari, seperti membedakan antara makanan yang layak dimakan dan yang tidak. b) Akal Empirik (al-aql al-tajriby), yaitu akal yang mampu memahami suatu masalah yang terjadi secara empirik dalam masyarakat, seperti memahami mengapa perkembangan ilmu berkaitan dengan kemakmuran, mengapa sikap emosional dapat memicu konflik dan tindak kekerasan yang tidak terkendali. c) Akal teoritik (al-aql al-nadhary) yaitu akal yang dapat mengetahui melalui hipotesis dan pengujian, sehingga mampu menemukan suatu teori.[8]

d.      Ibnu Khaldun tidak Menyetujui Mengajar dengan Cara Verbalistis (Teks Books Croten)
Ibnu Khaldun menentang metode verbalisme dalam pengajaran, dan menghindari dari hapalan yang tidak memahami sesuatu yang dapat dibuktikan melalui panca indra dari bahan pelajaran yang dihapalkan anak. Guru dihimbau menggunakan metode ilmiah modern dalam membahas problem ilmu pengetahuan, dengan pendapatnya beliau: “….. dan cara yang paling gampang dalam menumbuhkan kekmampuan memahami ilmu adalah kelancaran berbicara dalam diskusi dan pembahasan tentang problema ilmiyyah, maka ia akan dapat mendekati seluk beluk yang terkandung dalam problema dana dapat memperoleh pengetahuan tentang maksud tujuan yang sebenarnya.”

e.       Pandangan Ibnu Khaldun terhadap Perkembangan Akal Pikiran Peserta Didik
Ibnu Khaldun berpendapat : “Kita telah menyaksikan kebanyakan guru pada masa itu tidak mengetahui metoda pengajaran dan cara penggunaannya, sehingga mereka hadir di depan murid-muridnya dengan mengajarkan permasalahan yang sulit dipahami, dan mereka menyuruh agar memecahkan (menganalisisnya) dan mereka menduga bahwa cara demikian akan memperkembang pengajaran dan mengandung kebenaran, padahal kemampuan menerima pengetahuan di kalangan murid dan kematangannya, berkembang secara bertahap. Itulah sebabnya murid mula-mula lemah pemahamannya terhadap keseluruhan ilmu, kecuali dengna jalan mendekati dan memperbaiki dengan menggunakan contoh-contoh yang dapat diamati dengan pancaindera. Kesiapan dan kematangan murid tersebut berkembang setingkat demi setingkat, bertentangan dengan problema ilmu yang dihadapkan kepadanya. Dan proses pengalihan ilmu untuk mendekati, dengan cara menganalisis problema tersebut, sehingga kemampuan untuk menyiapkan diri mereka ilmu itu benar-benar sempurna, kemudian baru mendapatkan hasilnya. “

f.       Metode Mengajar dan Gaya yang Harus Dipelihara oleh Guru
1)      Metode Pentahapan dan Pengulangan (Tadarruj wat Tikraari)
Langkah-langkah:
a)      Mengajarkan materi secara global
b)      Dilakukan secara bertahap
c)      Memperinci materi-materi
d)     Menyampaikan materi dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kemampuan berfikir siswa
e)      Mengulangi materi yang dipelajari melalui uraian dan pembuktian yang jelas
f)       Mengajarkan materi secara menyeluruh sampai tercapai tujuan akhirnya
g)      Mengulangi materi secara keseluruhan

2)      Menggunakan Sarana Tertentu untuk Menjabarkan Pelajaran)
Dalam penggunaan sarana tertentu untuk menjabarkan pelajaran, Ibnu Khaldun lebih memilih menggunakan alat peraga agar siswa dapat memanfaatkan pancaindranya dalam proses penyusunan pengalamannya.

3)      Widya-wisata Merupakan Alat untuk Mendapatkan Pengalaman yang Langsung
Salah satu metode mengajar adalah dengan melakukan widya-wisata atau biasa dikenal studytour. Metode ini sangat bagus mengingat sifat anak yang suka mengeksplorasi berbagai hal dan melakukan observasi lewat pengamatan indrawi. Metode ini dilakukan dengan cara mengadakan rihlah/ perjalanan untuk menemui guru-guru yang mempunyai keahlian khusus, dan belajar kepada para tokoh ulama dan ilmuan terkenal.

4)      Tidak Memberikan Presentasi yang Rumit kepada Anak yang Baru Belajar Permulaan
Lankah-langkah: Memulai pelajaran dengan memberikan contoh-contoh yang mudah dan membahas nas-nas serta mengistimbatkan (mengambil kesimpulan) yang khusus.

5)      Harus Ada Keterkaitan dalam Disiplin Ilmu
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa guru dalam mengajarkan materi tidak boleh terpisah-pisah. Artinya guru menyampaikan secara utuh dan mengaitkan materi satu dengan yang lainnya. Supaya murid tidak mudah lupa dengan ilmu yang baru dipelajari.
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu adalah penguasaan dan penguasaan ilmu itu tidaklah tetap keadaannya kuat dkemampuannya kecuali dengan mempraktikkan terus menerus atau mengulang-ulangnya. Jika dalam waktu lama tidak dipraktikkan maka penalaran akan terlupakan dan guru juga melupakannya, serta kemampuan murid untuk menguasai mata pelajaran tersebut juga mengalami kepunahaan (lenyap).

6)      Tidak Mencampuradukkan antara Dua Ilmu Pengetahuan dalam Satu Waktu
Ibnu Khaldun menganjurkan kepada guru untuk tidak mengajarkan dua ilmu dalam satu waktu. Beliau berpendapat bahwa mengajarkan murid dengan banyak ilmu dalam satu waktu akan memecah konsentrasi anak didik. Ada baiknya bila murid dibolehkan untuk mempelajari ilmu selanjutnya setelah menuntaskan ilmu sebelumnya.

7)      Hendaknya Jangan Mengajarkan Al-Qur’an kepada Anak kecuali Setelah sampai pada Tingkat Kemampuan Berfikir Tertentu
Metoda ini muncul berkenaan dengan sikap masyarakat pada waktu itu yang menuntut anaknya untuk menghafal Al-Qur’an tanpa mengetahui maknanya. Mereka beralasan bahwa dengan anak menghafalkan Al-Qur’an menjadikan anak sedari mungkin mengembangkan kemampuan belajar bahasa. Pendapat ini kurang tepat karena Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan yang tidak ada pengaruhnya terhadap bahasa , sebelum anak memahami gaya-gaya bahasanya, juga Al-Qur’an tidak punya pengaruh lughawi dan maknawi kecuali setelah anak mencapai tingkat tertentu dari kematangan berfikir (yang memungkinkan ia memahami maknanya. Oleh karena itu, beliau lebih memilih mengakhirkan (menunda) menghafal Al-Qur’an tetapi tidak mengakhirkan pendidikan akhak.

8)      Menghindari dari Mengajarkan Ilmu dengan Ikhtisarnya
Yang dimaksud dengan menghindari dari mengajarkan ilmu dengan ikhtisarnya adalah mengajarkan ilmu dengan mukhtashar atau ringkasannya saja. Metoda ini menuntut murid untuk menghafalkan ringkasan-ringkasan dan mengurangi kreativitas. Metoda ini penerapannya seperti di Al-Azhar yang lebih dahulu menghafal matan – matan baru disusul uraian terperinci.

9)      Sangsi terhadap Murid merupakan Salah Satu Motivasi Dorongan Semangat Belajar (Bagi Murid yang Tidak Disiplin)
Dalam hal ini Ibnu Khaldun sangat menganjurkan untuk bersikap lemah lembut dan kasih sayang serta menentang keras kekerasan kepada murid karena dapat menyebabkan kesempitan dalam hati murid dan hilangnya kecerdasan. Bahkan bisa membuat anak berdusta, malas, dan berbuat kotor, serta anak akan sulit menyampaikan isi hatinya.

g.      Alat yang Dipergunakan dalam Pendidikan Islam
Harun Al-Rasyid (memberi wasiat) kepada Al-Kissai-pendidik putranya Al-Amin-: yang kurang lebih ringkasnya adalah Amirul Mukminin menyuruh untuk membacakan Al-Qur’an, mengajarkan kisah-kisah, dll sebagaimana didikan seorang calon raja. Beliau Amirul Mukminin juga melarang untuk memberi kelonggaran sehingga merasakan nikmat waktu senggang.

h.      Pandangan Ibnu Khaldun tentang Penerjemahan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Non-Arab
Ibnu Khaldun tidak sependapat dengan penerjemahan Al-Qur’an dalam bahasa selaian bahasa Arab. Seperti yang tercantum dalam Al-Qur’an yang artinya:”……… Kami turunkan (Al-Qur’an) sebagai bacaan dalam bahasa Arab”. Oleh karena itu, beliau sangat menganjurkan bagi para murid dan penuntut ilmu untuk mempelajari bahasa Arab. Dan sebaiknya kaum muslimin seluruhnya menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Internasional.

i.        Pandangan Ibn Khaldun Tentang Karakteristik Masyarakat
Seperti yang diungkap oleh A. A. Wafi,[9] bahwa Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya memiliki pemikiran yang jelas dan rinci mengenai fenomena sosial. Pada sebagian bab pertama diuraikan panjang lebar mengenai fenomena sosial yang berhubungan dengan metode dan sistem kolektivitas manusia (tajammu’ al-insan). Pada bab pertama Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya itu telah mengurai pengaruh posisis geografis atau iklim terhadap gejala dan masalah-masalah sosial dengan istiilah ilm binyat al-ijtimaiyyah, ilmu struktur masyarakat yang oleh Durkheim diistilahkan dengan la morphologie sociale. 
Dalam mengkaji perbedaan sifat-sifat manusia kota (hadharah) dengan manusia desa (nomaden, badawah)-seperti adanya kecenderungan ilmiah, keterampilan dan kerendahan diri, kebuasan dan kebanggaan diri mereka-Ibn Khaldun sampai kepada kesimpulan, bahwa masyarakat kota sama sekali tidak lebih baik dari masyarakat desa (nomad). Orang-orang Badui lebih moralis ketimbang orang-orang yang menetap (memiliki tepat tinggal). Orang-orang gurun (Badui) lebih mudah dibentuk daripada orang-orang yang sudah memiliki tempat tinggal (menetap). Orang-orang yang sudah menetap susah dikendalikan dengan peraturan karena kebiasaan jelek mereka. Sementara orang-orang gurun belum kena pengaruh kehidupan artifisial kota besar yang ini menjadikan mereka secara mudah dapat diberi pendidikan moral.[10]
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Baali,[11] bahwa deskripsi Ibn Khaldun tentang ‘ashabiyah, nomaden ternyata sangat mirip dengan deskripsi Durkheim tentang solidaritas mekanika.[12] Dan menurut Ibn Khaldun, bahwa lemahnya ‘ashabiyah di kalangan masyarakat kota menunjukkan tindakan bunuh diri yang bakal terjadi pada masyarakat secara keseluruhan. Bagi Ibn Khaldun, orang-orang nomad memiliki moral yang kuat dan lebih mendekati semangat agama ketimbang masyarakat kota. Distruksi sosial, dishumanisme yang meningkat dalam masyarakat kota jarang terjadi pada masyarakat nomad. Distruksi sosial dalam masyarakat kota diakibatkan oleh penggunaan kekuatan dalam kontrol sosial.
Ibn Khaldun nampaknya lebih mengutamakan nomadisme berdasarkan nilai-nilai yang ada pada dirinya. Menurutnya manusia bisa baik dan jahat pada saat yang sama. Manusia jahat karena adanya sifat dasar kebinatangan, dan sebaliknya, manusia itu baik karena keterlibatannya dengan manusia lain.[13] Oleh sebab itu, menurut Ibn Khaldun, semakin kuat keterikatan manusia dalam suatu kelompok akan semakin baik baginya, karena sifat sosialnya akan kuat dan dapat memperkecil sifat kebinatangannya. Disini jelas Ibn Khaldun memberi tekanan pada pergaulan penting sesama manusia.[14]
Ibn Khaldun juga mencatat, bahwa peradaban biasanya dekat dengan kemewahan yang pada gilirannya menimbulkan penipuan, pencurian, perjudian, perzinaan dan segala macam praktk destruktif lainnya. Masyarakat desa sudah terbiasa dengan kehidupan yang sederhana dan jauh dari kemewahan, hedonisme.[15]
Teori perkembangan masyarakat bagi Ibn Khaldun adalah bahwa faktor perkembangan masyarakat disebabkan karena adanya perbedaan tata pemerintahan. Penguasa memiliki peran besar dalam membentuk perkembangan masyarakat, sampai kepada masalah mereka lebih cenderung mengikuti kepada penguasa/ rajanya, al-Nas ‘ala Dini Mulukihim.[16] Teori ini mirip dengan apa yang dipakai oleh psikolog dan sosiolog modern seperti Magdodal dari Inggris dan Tard dari Perancis yang mengatakan, bahwa faktor yang menyebabkan timbulnya perkembangan dalam masyarakat berasal dari hasil kerja/rekayasa para pemimpinnya, para pembaharu dan ahli pikir.[17]
Ibn Khaldun memandang, bahwa kehidupan umat (jama’ah) adalah berubah dan berevolusi dalam bentuk yang berbeda-beda, misalnya dari kehidupan badawah, badui membentuk kabilah-kabilah dan suku, bangsa dan pada akhirnya membentuk negara dalam suatu kota. Kemewahan mendorong manusia untuk melenyapkan keperwiraan yang sebelumnya mereka miliki dan pada gilirannya menghancurkan spiritualitas dan solidaritas kelompok mereka.[18]
Demikianlah pengamatan Ibn Khaldun begitu jeli terhadap perkembangan masyarakat yang senantiasa berubah dan dinamis itu. Pengamatan Ibn Khaldun tersebut sebagian besar tetap dan berlaku bagi masyarakat sekarang yang sudah modern.
Teori perubahan sosial Ibn Khaldun termasuk teori evolusi yang memandang fenomena sosial sebagai dinamis dan progresif, berbeda-beda dari bangsa satu dengan bangsa yang lain, berbeda pula menurut generasi satu ke generasi yang lain. Kenyataan ini juga berlaku dibidang-bidang sosial, ekonomi maupun politik, bahkan soal etika. Sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat dulu mungkin jelek bagi masyarakat sekarang dan sebaliknya, begitu juga mengenai norma-norma. Sesuatu yang dianggap tabu sekarang menjadi hal yang biasa, lumrah. Tetapi sebagaimana pengamatan Masturi,[19] teori evolusi Ibn Khaldun tidak sama dengan aliran evolusionisme modern yang cenderung matrealistik. Ibn Khaldun mengakui faktor ekstern yang mempengaruhi sejarah, tetapi faktor itu bersifat transenden sekaligus imanen. Hal ini bisa dilihat dari ungkapan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya sebagaimana yang dikutip oleh Charles Issawi:
“…Apa saja yang ada didunia yang diciptakan ini, baik berupa benda maupun perbuatan (dari manusia maupun binatang) menunjukkan kepada adanya sebab-sebab yang mendahului yang membawa semua itu kepada wujud. Sebaliknya, setiap satu dari sebab-sebab itu adalah suatu kejadian yang menunjukkan adanya sebab-sebab yang mendahuluinya. Karena itu susunan sebab-sebab itu akan terus meningkat hingga sampai kepada (yang seharusnya) dari pada segala sebab. Yang mengadakan dan menciptakan semua ini-segala puji bagi-Nya yang tiada Tuhan melainkan Dia.”
Inilah kelebihan Ibn Khaldun, sosok intelektual muslim (sejarawan dan sosiolog) yang memiliki teori perubahan sosial yang banyak diikuti oleh para pemerhati sejarah dan sosiolog modern hingga sekarang. Tetapi sayang, dikalangan Muslim sendiri, pemikiran Ibn Khaldun ini kurang mendapat perhatian besar. Lantaran, menurut Amin Abdullah,[20] umat Islam telah terlanjur tertutun oleh pemikiran keagamaan yang dogmatis.













C.    PENUTUP

Kesimpulan
Pemikiran Ibnu Khaldun merupakan pemikiran yang sangat monumental pada saat itu. Bahkan sampai saat ini pemikiran beliau masih sangat relevan dengan pendidikan modern. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa beliau sangat menganjurkan pengulangan dalam proses belajar-mengajar. Jangan sampai murid melupakan apa yang sudah dipelajari karena membiarkan murid istirahat pada saat pelajaran berlangsung tanpa mengaitakannya dengan topik yang lain. Sehingga diharapkan akan timbul dalam pikiran murid bahwa ada keterkaitan antara masalah yang satu dengan yang lain dan agar murid selalu ingat pelajaran yang telah dipelajarinya. Dan masih banyak lagi pemikiran beliau yang sudah penulis jelaskan secara singkat pada bab pembahasan. Semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat lebih-lebih bagi penulis pribadi.


















DAFTAR PUSTAKA

Al-Jumbulati, Ali & Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, penerjemah: H.M. Arifin, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994
http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_khaldun
Hasan, Tholchah, Dinamika Pemikiran Pendidikan Islam,  (Jakarta: Lantaburo, 2006)
Amin Abdullah. 1995. Falsafah Kalam di Era Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wafi, Ali Abdul Wahid, Ibn Khaldun: Riwayat Hidup dan Karyanya, terj. Ahmad Toha, Jakarta: Grafiti
De-Boer, 1961, The History of Philosophy in Islam, terjemahan. E. R. Jones, New York: Dover publication, INC
Banabilah, Hussein Abdullah, 1984, Ibn Khaldun Turatsuhu al-Tarbawy,Dar al-Kitab al-Arabi
Basri, M..2000, “Ibn Khaldun’s Social and Historical Concepts as Compared with Hegel and Marx” dalam Jurnal Ulul Albab STAIN MalangVol.2. No.2, Th.
Fuad Baali Dan Ali Wardi. 1981, Ibn Khaldun and Islamic Thought A Social Perspective, Hall & Co, Boston, Massachussette, dan terjemahan Ahmad Toha, 1989, Jakarta: Pustaka
Giddens, Anthony. 1986, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Jakarta: UI Press
Khaldun, Ibn. tt. Muqaddimah, Mesir: Maktabah Musthafa Muhamad
Mastury,Moh. 1984. “Filsafat Manusia Menurut Ibn Khaldun” dalam Majalah al-Jami’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Hasan, Tholchah. 2006.Dinamika Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Lantaburo
The Encyclopedia of Philosophy





[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_khaldunDiakses pada tanggal 29 Maret 2016, pukul 07.26 WIB.
[2] Ali Al-Jumbulati & Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, penerjemah: H.M. Arifin, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), hal. 185-186.
[3] Ibid, hal. 187.
[4] Ibid, hal. 195. 

[5] Tholchah Hasan, Dinamika Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Lantaburo, 2006, hlm. 142
[6] Majalah Perta, 2002, hlm.16
                [7] Tholchah, Op.Cit, hlm. 144
[8] Tholchah, Ibid, hlm. 145
[9] Ali Abdul Wahid Wafi, Ibn Khaldun: Riwayat Hidup dan Karyanya, terj. Ahmad Toha, Jakarta: Grafiti, hlm. 87
[10] Basri, M.. “Ibn Khaldun’s Social and Historical Concepts as Compared with Hegel and Marx” dalam Jurnal Ulul Albab STAIN Malang, Vol.2. No.2, Th.2000, hlm. 13
[11] Fuad Baali Dan Ali Wardi. Ibn Khaldun and Islamic Thought A Social Perspective, Hall & Co, Boston, Massachussette, 1981 dan terjemahan Ahmad Toha, Jakarta Pustaka, 1989, hlm. 160
[12] Lihat Giddens, Anthony. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Jakarta:, UI Press, 1986, hlm. 130
[13] Lihat Muqaddimah:127, hlm. 42, 143
[14] Lihat pula Ilyas Ba Yunus & Farid Ahmad, 1988. Hlm. 41
[15] Fuad Baali dan Ali Wardi, Op. Cit, hlm. 162
[16] Lihat Muqaddimah, hlm. 29
[17] A. A. Wafi, 1985. Hlm. 135
[18] De-Boer, The History of Philosophy in Islam, terjemahan. E. R. Jones, New York, Dover publication, INC, 1961, hlm. 21
[19] Moh. Mastury. 1984. “Filsafat Manusia Menurut Ibn Khaldun” dalam Majalah al-Jami’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm.21
[20] Amin Abdullah. 1995. Falsafah Kalam di Era Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 42